Minggu, 29 November 2015

Selamatkan Pegunungan Kendeng, Wariskan Mata Air


Hasil gambar untuk pegunungan kendeng utara
Pemerintah daerah tampaknya masih menafikan fungsi karst di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Padahal daerah CAT (Cekungan Air Tanah) Watu Putih saja mempengaruhi lebih 600 ribu jiwa di 14 kecamatan di sekitarnya. Hilangnya fungsi resapan menyebabkan hilangnya jeda waktu air tersimpan dan memperbesar peluang terjadinya bencana banjir.
=================
Sejumlah warga kawasan lereng Pegunungan Kendeng tampak bersuka cita menyambut putusan hakim di PTUN Semarang. Hari itu warga Pegunungan Kendeng memenangkan gugatan atas penolakan pembangunan pabrik semen di wilayah mereka, melalui sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, yang pembacaan putusannya lebih dari tujuh jam, Selasa (17/11).Putusan dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim yang diketuai Elfi Ery Ritonga.
Sebelum putusan selesai, warga dari Pegunungan Kendeng menggelar aksi di depan PTUN Semarang dan menyampaikan dukungan terhadap gugatan mereka atas penolakan pembangunan pabarik semen, serta perjuangan mereka atas pelestarian lingkungan tempat tinggal mereka.
Sebagaimana dilansir Kantor Berita Antara, warga empat desa di Kabupaten Pati yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng mengajukan gugatan di PTUN Kota Semarang terhadap Bupati Pati tentang penerbitan izin lingkungan atas rencana pembangunan pabrik semen di wilayah tersebut. Pembangunan pabrik senilai Rp7 triliun tersebut diprakarsai oleh PT Sahabat Mulia Sakti --anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa.
Seperti diberitakan sebelumnya, penolakan warga terhadap pembangunan pabrik semen tersebut untuk menjaga kelestarian alam tempat tinggal mereka. Pegunungan Kendeng Utara merupakan hamparan perbukitan karst yang terbentang luas dari Kabupaten Grobogan di bagian selatan, Rembang, Blora, hingga Kabupaten Pati di bagian utara.
Hamparan bentang alam karst Kendeng Utara meliputi hamparan bukit-bukit kapur kerucut, ribuan mata air pada rekahan batuan dan sungai-sungai bawah tanah dalam gua serta candi dan fosil bersejarah. Warga merasa khawatir pembangunan pabrik semen akan memakan lahan pertanian dan menyusutkan sumber mata air, mengganggu ekosistem dan membawa polusi.
"Karst pasti berada di batu gamping dan batu gamping itu satu-satunya bahan baku semen. Jadi kalau membangun pabrik semen pasti merusak karst. Padahal karst, dalam peraturan tata ruang, harusnya dilindungi," kata Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Muhnur Satyahaprabu, sebagaimana dikutip Antara.
Lebih jauh Muhnur (yang juga Kuasa Hukum Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng/JMPPK untuk kasus konflik warga Pati vs PT. Indocement dan kasus konflik warga Rembang vs PT Semen Indonesia) memaparkan sejumlah hal penting yang terjadi di Rembang selama kasus penolakan terhadap kehadiran PT Semen Indonesia ini berlangsung.  Dia menilai pemerintah daerah masih menafikan fungsi karst di Pegunungan Kendeng. Padahal daerah CAT (Cekungan Air Tanah) Watu Putih yang terdapat di Rembang saja diandalkan lebih dari 600 ribu jiwa di 14 kecamatan di Kabupaten Rembang untuk memenuhi kebutuhan air.
Dalam konteks bencana, hilangnya fungsi resapan CAT menyebabkan hilangnya jeda waktu air tersimpan sehingga pada saat musim hujan, air langsung terbuang dan besar kemungkinan menyebabkan banjir. “Pegunungan Kendeng membentang dari Rembang, Pati hingga Blora, namun sangat disayangkan bahwa masih banyak wilayah di pegunungan tersebut yang belum ditetapkan sebagai kawasan karst yang harus dilindungi oleh pemerintah,” terang Muhnur.
Kehadiran pabrik semen bukan hanya memecah belah warga menjadi dua kubu, tetapi juga memecah belah keharmonisan rumah tangga. Joko Prianto, seorang pejuang lingkungan yang ingin mempertahankan kelestarian dan mata air di Pegunungan Kendeng ditinggalkan oleh istrinya yang menganggap kehadiran pabrik semen akan memberi manfaat bagi ekonomi warga. Namun, masih kata Muhnur, pekerjaan yang dijanjikan oleh PT Semen adalah pekerjaan pembangunan pabrik (kuli bangunan) yang akan berakhir apabila pabrik sudah berdiri, sementara tenaga kerja ahli tetap mengambil dari luar Rembang. Selain Joko Prianto, banyak pula keluarga lainnya yang mengalami perpecahan dalam rumah-tangganya.
Aksi-aksi intimidasi juga terjadi pada warga yang menolak pendirian pabrik semen. Muhnur mengatakan, telah terjadi aksi premanisme berupa kekerasan verbal dan fisik, yang merupakan kepanjangan tangan pihak perusahaan swasta dan pemerintah daerah, di luar tangan-tangan formalnya, untuk membungkam aksi penolakan terhadap pabrik semen di Rembang. Dia mencontohkan, tenda-tenda darurat yang dihuni ibu-ibu petani Rembang selama 522 hari di lokasi pembangunan pabrik, yang merupakan bentuk aksi penolakan terhadap pabrik semen di Rembang, ditutup portal dan dijaga oleh aparat Brimob. Dia berpendapat, ini jelas merupakan bentuk intimidasi dan keberadaan Brimob di sana menunjukkan jelas keberpihakan polres. Tidak ada akses secara langsung bagi masyarakat untuk masuk dan mengunjungi ibu-ibu petani yang kondisi kehidupan mereka di tenda sangat memprihatinkan tersebut.
Intimidasi dilakukan pula oleh pihak perusahaan. Muhnur menerangkan, tak jarang pihak perusahaan mendatangi Joko Prianto, penggugat I PT SI untuk mengingatkan agar ia berhati-hati dalam kasus ini. Meski tak ada gertakan fisik tapi jelas ini merupakan bentuk intimidasi, tegas Muhnur. Sementara itu, aksi pemukulan yang dilakukan pada Juni 2014 terhadap tiga orang ibu-ibu yang menolak pabrik semen, sampai hari ini tidak menemui kejelasan kasusnya.
Bagaimana kepedulian Gubernur Jawa Tengah dalam menghadapi konflik petani versus pabrik semen ini? Muhnur menyatakan bahwa gubernur memiliki kewenangan yang cukup tinggi, apalagi berdasarkan UU No 23 tahun 2014 yaitu izin (amdal) bisa dibatalkan oleh gubernur. Gubernur bisa merevisi atau mengaudit, itu kewenangannya, sebab gubernur yang menerbitkan izin itu. Namun, kata dia, tampaknya Gubernur tidak rela mencabut izin yang diterbitkannya.
Yang terjadi, menurut Munhur, Gubernur menyuruh menyelesaikan persoalan ini di pengadilan yang berarti membiarkan masyarakatnya bertarung sendirian secara hukum melawan pemerintah daerah dan perusahaan besar yang mapan secara ekonomi, secara pendidikan dan mapan segalanya.
Pembangunan pabrik semen juga akan mengancam keberagaman flora di kawasan Pegunungan Kendeng. Pegunungan Kendeng Utara adalah surga bagi beragam fauna seperti bangsa burung. Di sini ada sekitar 45 spesies burung.
Secara legal formal, dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Nasional menyatakan bahwa kawasan karst masuk dalam areal Kawasan Lindung Nasional. Walaupun sangat kering di permukaannya, namun di bagian bawah kawasan ini banyak ditemukan sumber-sumber mata air.
Repotnya, Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009–2029 mengatakan hal yang berbeda, di mana pada pasal 80 tertulis bahwa, Kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan dan batubara terletak di Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus.
Kekayaan alam berupa bentang alam karst yang merupakan bahan baku utama semen menjadi incaran untuk ditambang. Pada tahun 2010, Pemerintah Jawa Tengah menyelesaikan Perda Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009–2029. Perda itu selaras dengan instruksi Presiden SBY, yaitu Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Berdasarkan instruksi itu, hingga akhir tahun 2010 seluruh provinsi dan kabupaten/kota harus sudah menyelesaikan RTRW dan memperdayakannya.
JMPPK secara intensif menolak Perda RTRW ini, sejak masih berbentuk rancangan perda. JMPPK mendasarkan penolakan pada, pertama, perda ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga menempatkan pemodal pada posisi yang kelewat strategis. Kedua, perda ini tidak mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan karena tidak disertai KLHS dan Naskah Akademik. Ketiga, perda ini tidak memperhatikan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan minimnya ruang partisipasi masyarakat. Keempat, perda ini mengatur Kawasan pertambangan mineral dan batubara di kawasan Pegunungan Kendeng di Kabupaten Kudus, Pati, Rembang, Blora, dan Grobogan.
“Perda ini yang menetapkan kawasan Pegunungan Kendeng sebagai kawasan industri dan pertambangan. Hal ini mengancam kelestarian air yang menjadi kebutuhan pokok petani,” ujar Zainal Arifin, dari LBH Semarang, kepada Mongabay Indonesia.
Perjuangan menyelamatkan sumber air di karst Pegunungan Kendeng belum usai. Karena,  kasus ini dalam proses banding. (BN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar