Advokat adalah profesi mulia, officium nobile. Namun, tak mudah
mencapai tahapan ini. Bahkan oleh seorang advokat yang sudah lama menekuni
profesinya sekali pun. Dia harus memiliki empati yang terus diasah. Sehingga memiliki
kepedulian terhadap orang lain. Khususnya para pencari keadilan miskin. Sahala
beruntung. Cita-citanya menjadi advokat dimulai dari Pos Bantuan Hukum
(Posbakum) yang didirikan para pengacara senior seperti Yan Apul, SH. Di
sinilah dia mengasah empatinya. Hal yang membuat Sahala mencapai tahapan
officium nobile sebagai seorang advokat.
Menjadi seorang lawyer sudah menjadi impian Sahala
Siahaan, SH sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Pria
berperawakan tinggi ini menyukai ilmu-ilmu sosial.
Berdiskusi
adalah salah satu yang paling disukai saat ia sekolah. Sahala melewati
masa SMA di tiga tempat yaitu di Ambon, Medan dan Jakarta. Mungkin itu juga
yang membuat pria ramah ini gampang bersosialisasi.
Sahala suka
berorganisasi. Baginya dengan berorganisasi ia memiliki banyak teman dan dapat
berbagi dan mendapatkan ilmu.
Setelah menamatkan
sekolah menengah atasnya, Sahala sudah mempunyai tujuan yang jelas, sesuai
dengan cita-citanya. Masuk sekolah hukum. Berbeda dengan kebanyakan teman-teman
seusianya yang bimbang memilih jurusan ketika hendak masuk perguruan tinggi.
Saat
menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Univeritas Trisakti, keinginanya semakin
kuat untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang lawyer. Padahal
ibunya ingin dia menjadi seorang hakim. Tetapi dengan
alasan yang tepat, Sahala bisa meyakinkan orangtuanya bahwa pilihannya sudah
benar. Menjadi seorang advokat.
“Saya
katakana pada ibu, kalau menjadi hakim, maka kehidupan saya harus sudah
kaya, sudah mapan. Sehingga pikiran hanya bekerja dan
mengabdi, dan saya akan menjadi hakim yang lempeng,” kata
Sahala.
Argumen
Sahala tersebut membuat sang ibu akhirnya setuju dengan
pilihannya. Menjadi seorang advokat.
Dimulai dari
Posbakum
Mungkin karena
cita-citanya begitu kuat menjadi seorang advokat, sehingga kuliahnya
lancar-lancar saja ketika menuntut ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Trisakti Jakarta.
Namun,
ketika dia telah menyelesaikan skripsinya, Sahala telat mendaftar sidang
skripsi. Akibatnya Sahala harus menunggu selama enam bulan agar
bisa maju sidang.
Untuk
mengisi waktu, Sahala menimba ilmu secara langsung bagaimana menjadi
seorang lawyer, dengan bekerja pada dosennya. Di situlah
Sahala mulai keluar masuk sidang pengadilan mengikuti sang dosen. Diamerasa
bersyukur karena bisa mendapatkan ilmu yang cukup selama masih kuliah.
Di tahun
1996 barulah Sahala menamatkan kuliahnya. Ketika itu dia aktif di Pos
Bantuan Hukum (Posbakum). Menurutnya Posbakum memberikan banyak
pelajaran berharga. Di sana ia benar-benar ditempa untuk menjadi seorang lawyer yang
memiliki hati. Memiliki empati.
“Kita banyak
menangani kasus-kasus masyarakat bawah. Sehingga nurani kita benar-benar diuji
dan membuat kita tidak materialistis,” ungkapnya.
Saat di
Posbakum, dalam setahun begitu banyak perkara yang ditanganinya. Bisa mencapai
40-50 kasus. Tapi semua dilakukan Sahala dengan senang. Banyak ilmu yang ia
peroleh saat di Posbakum. Banyaknya kasus yang bermacam-macam, banyak pula
ilmu yang dia peroleh. Karena itu, dia tidak mempermasalahkan sudah berapa
tenaga dan pikiran yang dia kerahkan untuk aktif di Posbakum.
Sahala
yakin, bila pekerjaan dilakukan dengan hati, maka akan datang balasannya dari
Tuhan.
“Saya senang
melakukan semua pekerjaan itu, meski tidak mendapatkan materi. Karena bagi
saya ini adalah bagian dari pengabdian,” kata Sahala. (http://kronosnews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar