Sabtu, 10 Januari 2015

Empati dan Pencapaian Seorang Sahala Siahaan





Advokat adalah profesi mulia, officium nobile. Namun, tak mudah mencapai tahapan ini. Bahkan oleh seorang advokat yang sudah lama menekuni profesinya sekali pun. Dia harus memiliki empati yang terus diasah. Sehingga memiliki kepedulian terhadap orang lain. Khususnya para pencari keadilan miskin. Sahala beruntung. Cita-citanya menjadi advokat dimulai dari Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang didirikan para pengacara senior seperti Yan Apul, SH. Di sinilah dia mengasah empatinya. Hal yang membuat Sahala mencapai tahapan officium nobile sebagai seorang advokat.



Menjadi seorang lawyer sudah menjadi impian Sahala Siahaan, SH sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Pria berperawakan tinggi ini menyukai ilmu-ilmu sosial.

Berdiskusi adalah salah satu yang paling disukai saat  ia sekolah. Sahala melewati masa SMA di tiga tempat yaitu di Ambon, Medan dan Jakarta. Mungkin itu juga yang membuat pria ramah ini gampang bersosialisasi.

Sahala suka berorganisasi. Baginya dengan berorganisasi ia memiliki banyak teman dan dapat berbagi dan mendapatkan ilmu.

Setelah menamatkan sekolah menengah atasnya, Sahala sudah mempunyai tujuan yang jelas, sesuai dengan cita-citanya. Masuk sekolah hukum. Berbeda dengan kebanyakan teman-teman seusianya yang bimbang memilih jurusan ketika hendak masuk perguruan tinggi.

Saat menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Univeritas Trisakti, keinginanya semakin kuat untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang lawyer. Padahal ibunya ingin dia  menjadi seorang hakim. Tetapi dengan alasan yang tepat, Sahala bisa meyakinkan orangtuanya bahwa pilihannya sudah benar. Menjadi seorang advokat.

“Saya katakana pada ibu, kalau menjadi hakim, maka kehidupan saya harus sudah kaya, sudah mapan. Sehingga pikiran hanya bekerja dan mengabdi, dan saya akan menjadi hakim yang lempeng,” kata Sahala.

Argumen Sahala tersebut membuat sang ibu akhirnya setuju dengan pilihannya. Menjadi seorang advokat.


Dimulai dari Posbakum

Mungkin karena cita-citanya begitu kuat menjadi seorang advokat, sehingga kuliahnya lancar-lancar saja ketika menuntut ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta.

Namun, ketika dia telah menyelesaikan skripsinya, Sahala telat mendaftar sidang skripsi. Akibatnya Sahala harus menunggu selama enam bulan agar bisa maju sidang.

Untuk mengisi waktu, Sahala menimba ilmu secara langsung bagaimana menjadi seorang lawyer, dengan bekerja  pada dosennya. Di situlah Sahala mulai keluar masuk sidang pengadilan mengikuti sang dosen. Diamerasa bersyukur karena bisa mendapatkan ilmu yang cukup  selama masih kuliah.

Di tahun 1996 barulah Sahala menamatkan kuliahnya. Ketika itu dia aktif di Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Menurutnya Posbakum memberikan banyak pelajaran berharga. Di sana ia benar-benar ditempa untuk menjadi seorang lawyer yang memiliki hati. Memiliki empati.

“Kita banyak menangani kasus-kasus masyarakat bawah. Sehingga nurani kita benar-benar diuji dan membuat kita tidak materialistis,” ungkapnya.

Saat di Posbakum, dalam setahun begitu banyak perkara yang ditanganinya. Bisa mencapai 40-50 kasus. Tapi semua dilakukan Sahala dengan senang. Banyak ilmu yang ia peroleh saat di Posbakum. Banyaknya kasus yang bermacam-macam, banyak pula ilmu yang dia peroleh. Karena itu, dia tidak mempermasalahkan sudah berapa tenaga dan pikiran yang dia kerahkan untuk aktif di Posbakum.
Sahala yakin, bila pekerjaan dilakukan dengan hati, maka akan datang balasannya dari Tuhan.

“Saya senang melakukan semua pekerjaan itu, meski tidak mendapatkan materi. Karena bagi saya ini adalah bagian dari pengabdian,” kata Sahala. (http://kronosnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar