Senin, 04 Mei 2015

Organisasi Internasional Minta Bantuan PBH PERADI


Untuk tangani korban TPPO di Kepulauan Aru. PBH PERADI Pusat berkoordinasi dengan PBH PERADI Ambon. 
 
Organisasi Internasional Minta Bantuan PBH PERADI
Ketua PBH PERADI Rivai Kusumanegara. Foto: Istimewa
Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH PERADI) merupakan unit khusus dalam tubuh PERADI yang sengaja dibentuk untuk memastikan kewajiban pro bono yang melekat pada profesi advokat benar-benar dijalankan. Pada praktiknya, pro bono hadir tidak hanya untuk membantu warga negara Indonesia yang tidak mampu, tetapi juga warga negara asing.

Hal itulah yang tengah dijalani PBH PERADI. Memenuhi permintaan International Organization for Migration (IOM), PBH PERADI akan memberikan bantuan hukum pro bono kepada 367 warga negara asing yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Permintaan IOM kepada PBH PERADI dituangkan dalam surat nomor CT-LM/IOM/IND/IV/2015/111 tertanggal 20 April 2015. Ditujukan kepada Ketua PBH PERADI Rivai Kusumanegara, IOM menjelaskan kasus ini berawal dari informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang nasib 301 warga negara Myanmar, 58 warga negara Kamboja, dan 8 warga negara Laos yang mengalami eksploitasi.

Merespon informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, IOM langsung mengambil langkah perlindungan yakni memindahkan mereka dari Benjina ke Pulau Tual, Maluku. Selain relokasi, IOM memandang upaya penuntutan secara hukum terhadap pelaku juga perlu dilakukan. Makanya, IOM berharap pada bantuan PBH PERADI.

Sebagai langkah awal, IOM meminta PBH PERADI mengirimkan dua anggota untuk melakukan observasi situasi di Pulau Tual, sekaligus meminta surat kuasa dari para korban. IOM berkomitmen memfasilitasi keberangkatan anggota PBH PERADI ke Pulau Tual. IOM bahkan menyediakan biaya tunjangan sehari-hari sebesar AS$96 permalam atau setara dengan Rp1.255.200.

Merespon permintaan IOM, Ketua PBH PERADI Rivai Kusumanegara mengatakan pihaknya telah menerjunkan tim investigasi untuk melakukan observasi awal kondisi para korban. “Pagi ini (Selasa, 21 April 2015) tim investigasi sudah tiba di Tual tempat penampungan korban Benjina untuk melakukan observasi, wawancara dan pengumpulan bukti,” paparnya dalam siaran pers, Selasa (21/4).

PBH PERADI Pusat, kata Rivai, juga telah berkoordinasi dengan PBH PERADI Ambon yang diwujudkan dengan membentuk tim gabungan yang akan memberi bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono kepada 367 korban TPPO tersebut.

“Kami juga sudah melaporkan penanganan kasus ini kepada Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan dan beliau meminta penanganannya dilakukan secara maksimal. Bahkan, beliau bergabung dalam tim penasihat hukum sebagai contoh bahwa setiap advokat wajib menjalankan kewajiban pro bono,” tambahnya.

Dikatakan Rivai, ini adalah pertama kalinya PBH PERADI memberikan bantuan hukum pro bono untuk warga negara asing. Menurut Rivai, PBH PERADI tergerak membantu 367 WNA tersebut karena kasus Benjina adalah suatu bentuk perbudakan yang berarti memiliki dimensi kemiskinan dan kemanusiaan sehingga termasuk dalam kategori pro bono.  

“Semoga hal ini bisa diikuti oleh organisasi advokat di negara lain untuk juga mau melakukan bantuan hukum cuma-cuma bagi TKI yang mengalami perbudakan di negara lain,” tutur Rivai kepada hukumonline, Rabu malam (22/4).

Meskipun yang didampingi WNA, kata Rivai, tim PBH PERADI relatif tidak menemui kendala bahasa. Menurut dia, sebagian WNA yang didampingi PBH PERADI memiliki ketrampilan berbahasa Indonesia yang cukup. Bagi WNA yang tidak bisa bahasa Indonesia, PBH PERADI dibantu oleh penerjemah atau anak buah kapal (ABK) yang bisa bahasa Indonesia.

Mengingat latar belakang negaranya yang beragam, Rivai mengatakan PBH PERADI merasa perlu berkoordinasi dengan kedutaan besar negara terkait. Menurut dia, koordinasi dengan kedutaan besar perlu dilakukan karena sebagian korban TPPO itu masih di bawah umur, sehingga PBH PERADI perlu surat kuasa dari orang tua mereka masing-masing.

“Kami berharap pihak kedutaan membantu perolehan surat kuasa dari orang tua di negara asal,” ujarnya.

Koordinasi, lanjut Rivai, juga perlu dilakukan agar kedutaan besar negara terkait dapat terus memantau proses hukum kasus ini meskipun ABK yang menjadi korban TPPO itu telah dipulangkan ke negara asalnya. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar