Minggu, 25 Januari 2015

Antara Kasus yang Digunakan Polri untuk Jerat BW dan UU Advokat

 
 
Bambang Widjajanto dijerat polisi dengan pasal 424 KUHP juncto pasal 55 KUHP dengan sangkaan mengarahkan saksi memberikan kesaksian palsu. Polisi menjerat Bambang atas kasus yang terjadi pada 2010, saat Bambang berprofesi sebagai advokat. Sementara itu, UU Advokat mengatur tentang bagaimana seorang pengacara bekerja. Terutama terkait imunitas yang dimiliki seorang pengacara ketika ia bekerja membela kliennya.

Adalah Pasal 16 UU Advokat yang menyatakan advokat tidak dapat dipidana atau dituntut perdata dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien. Namun pasal ini pun terbagi menjadi 2 pemahaman, pertama hanya berlaku saat pengadilan dan yang kedua berlaku juga di luar pengadilan.

"Tapi saya kira urusan advokasi itu tidak hanya di pengadilan, banyak urusan di KPK, PPATK dan sebagainya. Jadi penafsirannya harus dibuat lebih luas," kata praktisi hukum Todung Mulya Lubis di Jakarta, Minggu (25/1/2015).

Menurut Todung, seorang advokat selama bekerja untuk kliennya di pengadilan atau di luar pengadilan seharusnya memiliki imunitas profesi. Kecuali advokat tersebut melakukan hal-hal di luar pekerjaannya mengadvokasi klien dan masuk dalam ranah pidana atau perdata.

"Kecuali ada bukti-bukti tindak pidana, itu tidak dilindungi. Contoh, penyuapan hakim atau polisi tertangkap tangan dengan bukti. Itu tidak ada imunitas profesi karena sudah pidana. Lalu misalnya kalau dia melakukan tindak kekerasan atau pembunuhan. Jadi harus dilihat secara kasuistik," ujar Todung.

Mantan pansel Mahkamah Konstitusi ini menambahkan, kasus yang digunakan untuk menjerat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) yakni pengarahan agar saksi memberikan keterangan palsu bersifat materiil substansial. Menurut Todung, jika pengarahannya hanya memberitahukan saksi bahwa ia akan disumpah dan harus memberikan kesaksian sesuai yang ia ketahui, maka pengarahan normatif itu tidak masuk unsur pidana atau perdata.

"Yang saya baca juga keterangan di media bahwa sebetulnya tidak ada itu (pengarahan keterangan palsu). Yang ada, mengatakan apa yang Anda ketahui, Anda lihat dan disumpah. Itu normatif, tidak ada masalah. Jadi ya kita harus melihat secara cerdas dan teliti. Apa sih objek yang dituduhkan? Apa ada bukti-buktinya?" pungkas Todung.

Tak hanya UU Advokat, dalam MoU Peradi-Polri 2012 juga menyebutkan advokat yang diduga menyalahgunakan profesi dilaporkan ke DPN Peradi untuk sidang etik. "Kalau misalnya dia (saksi) di-brief untuk mengatakan sesuatu tidak benar, ya itu salah. Tapi kalau bertemu (saksi) mengatakan, Anda kalau bersaksi akan disumpah dan diminta untuk memberikan keterangan sebenarnya, itu normatif," tutup Todung.

Kasus yang digunakan untuk menjerat BW adalah dugaan pengarahan saksi membuat keterangan palsu dalam sidang sengketa hasil Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat pada 2010 lalu di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hal itu baru dilaporkan politisi PDIP Sugianto Sabran pada 19 Januari 2015, tak lama setelah calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. (http://news.detik.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar