Ketua Mahkamah Konstitusi
Hamdan Zoelva akan mengakhiri jabatannya sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah
untuk periode lima tahun pertamanya (2010-2015) pada 6 Januari 2015 dan bisa
diajukan kembali.
Namun Presiden Joko Widodo tidak langsung memperpanjang masa jabatan Hamdan Zoelva secara otomatis seperti yang dilakukan oleh presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono yang memperpanjang jabatan Maria Farida Indrati untuk jabatan hakim konstitusi periode keduanya 2014-2019.
Presiden Joko Widodo langsung membentuk Tim Panitia Seleksi (Pansel) yang diketuai pakar hukum tata negara dan guru besar ilmu hukum Universitas Andalas Padang, Salsi Isra.
Saldi Isra sebagai ketua dibantu oleh anggota yang terdiri dari Refly Harun, Haryono, Mulya Lubis, Satya Ariananto, Widodo dan Maruarar Siahaan.
Pembentukan Tim Pansel seleksi calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah ini justru menimbulkan hiruk pikuk komentar para pihak yang setuju dan yang tidak setuju.
Ketua MK yang akan habis masa baktinya ini juga menanggapi dingin dan masih mempertimbangkan apakah dirinya akan kembali mendaftar sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah.
Hamdan mengaku masih akan melihat terlebih dulu mengenai mekanisme dan proses seleksinya seperti apa.
"Ya saya akan melihat dulu proses seleksi dan rekrutmen yang dilakukan pansel seperti apa, karena kan pembukaan pendaftarannya baru," katanya.
Ketua Pansel Calon Hakim MK Saldi Isra menjelaskan proses seleksi akan dilakukan sejak awal Desember 2014 dan diharapkan pada 6 Januari 2015, Presiden Joko Widodo sudah menetapkan calon dan pada 7 Januari 2015 sudah dilantik menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi.
"Agenda itu menyangkut tahapan seleksi, kami sudah atur hitung mundur, kami perkirakan nama-nama calon dari panitia seleksi ini sampai di tangan presiden pada 5 Januari, kemudian pada 6 Januari keluar Keppres dan 7 Januari bisa dilantik," paparnya.
Saldi Isra dalam penjelasannya mengatakan tahapan seleksi diawali dengan pengumuman penerimaan calon hakim konstitusi, kemudian wawancara tahap pertama, tes kesehatan dan kemudian wawancara tahap kedua yang melibatkan para tokoh senior di bidang tata negara dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam tahapan tersebut, kata Saldi dimungkinkan komponen masyarakat dapat mengajukan pertanyaan saat wawancara terbuka tersebut.
Pembentukan Tim Pansel Calon Hakim Konstitusi ini dinilai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sebagai langkah maju dan layak mendapat apresiasi, karena lebih terjamin kualitasnya.
"Sangat tepat dan bagus ada tim pansel yang mencari dan menjaring calon hakim konstitusi," kata Mahfud MD.
Dia mengatakan bahwa adanya tim pansel merupakan kemajuan signifikan dalam proses perekrutan hakim dibandingkan pemerintahan periode sebelumnya yang tidak membentuk tim khusus.
"Sekarang diuji tim dan ada proses wawancara terbuka di hadapan publik untuk semua calon hakim. Ini permulaan bagus dari seorang Presiden Joko Widodo," ucapnya.
Namun upaya pemerintah melakukan seleksi calon hakim konstitusi ini langsung diprotes oleh para hakim MK yang keberatan keberadaan Todung Mulya Lubis dan Refly Harun sebagai anggota panitia seleksi (Pansel).
"Todung dan Refly yang masing-masing diketahui adalah advokat dan konsultan hukum yang selama ini aktif berperkara di MK," kata Sekretaris Jenderal MK Janedjri Gaffar.
Janedjri mengungkapkan atas dasar itu, Rapat Permusyawaratan Hakim pada Kamis (11/12) meminta ketua MK untuk berkirim surat kepada presiden yang isinya untuk menjaga objektivitas seleksi hakim MK dari unsur pemerintah.
"Kiranya presiden dapat mempertimbangkan kembali, dengan harapan hakim konstitusi yang terpilih dapat menjaga independensi dan imparsial dalam menjalankan wewenang konstitusi MK," kata Janedjri.
Hal yang sama juga diungkapkan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) yang juga menolak masuknya dua anggota Pansel Refly Harun dan Todung Mulya Lubis.
"Kami melihat Todung dan Refly tidak tepat masuk pansel hakim MK," kata Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan di Jakarta, Senin.
Otto mengatakan pihaknya segera mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta peninjauan ulang penetapan tersebut demi masa depan MK, tranparansi, menghindarkan kepentingan dan menjaga MK.
Dia menambahkan keberadaan Todung dan Refly menjadi tim seleksi dikhawatirkan keduanya akan memilih hakim-hakim yang akan mendukung kasus yang ditangani oleh kedua advokat tersebut.
"Bagaimanapun, ada hal yang membuat mereka (hakim) tidak independen, atas seleksi Todung Mulya Lubis dan Refly. Pasti dia menjadi hakim yang tidak mandiri, tidak independen, ewuh pakewuh, sungkan, kalau ada nanti perkara yang timbul, langsung atau tidak yang ditangani Todung dan Refly, itu pasti benturan," paparnya.
Otto menyatakan pihak sependapat dengan MK, keberadaan Refly dan Todung tidak tepat. "Tidak ada pikiran-pikiran kami yang lain, hanya objektivitas demi masa depan MK," katanya.
"Ada hal yang membuat mereka tidak independen, hakim yang terpilih akan sungkan kalau nanti perkara ditangani Todung dan Refly, itu pasti ada benturan kepentingan," katanya.
Bahkan Otto memberikan penilaian khusus pada Todung yang telah dijatuhi sanksi karena melanggar etik oleh Peradi, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
"Jadi bagaimana mungkin diterima akal sehat kita, seorang yang dihukum oleh tiga organisasi advokat karena melanggar kode etik, tapi diberikan kewenangan memilih hakim yang nota bene tidak boleh melanggar etika," katanya.
Keberatan para hakim MK ini juga dipahami oleh Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri karena keberadaan advokat akan menimbulkan kesan tidak independen.
Namun Taufiq menyayangkan penyampaian keberatan tersebut dilakukan oleh para hakim konstitusi.
"Sayang (penyampaian keberatan) tidak proporsional, seharusnya yang tepat menyuarakan itu dewan etik sebagai pengawal etik hakim MK," katanya.
Sedangkan Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyebutkan bahwa sikap MK yang keberatan terhadap dua anggota Pansel tersebut terlalu berlebihan.
Menurut dia, keberatan tersebut bukan wewnang para hakim MK dan tindakan tersebut merupakan bentuk ancaman dari MK kepada Presiden. "Itu tentu tidak pantas," ucap Erwin.
Refly Harun menanggapi santai terkait keberatan yang diajukan oleh MK tersebut dan menyebut sikap MK tidak berdasar karena satu atau dua nama rasanya dinilai tidak mungkin memiliki peran yang signifikan terhadap hasil keseluruhan pansel.
Ketua Pansel CHK Saldi Isra mengatakan, peran Refly dan Todung dibutuhkan karena untuk memilih sosok hakim konstitusi, dibutuhkan orang-orang yang memahami MK.
Tim Pansel seleksi calon hakim konstitusi ini mengabaikan keberatan para hakim MK dan tetap melanjutkan proses seleksi dengan membuka pendaftaran.
Saldi Isra menyebut ada 16 orang mendaftar sejak dibuka pendaftaran calon hakim konstitusi periode 11 Desember hingga 17 Desember 2014.
Jumlah tersebut, lanjutnya, terdiri atas 14 orang yang mendaftarkan sendiri, dan empat orang yang direkomendasikan atau diusulkan oleh organisasi/perseorangan, termasuk diantaranya Hamdan Zoelva yang direkomendasikan oleh Setara Institute, Direktur Eksekutif imparsial, HRWG, dan Presidium Constitutional Democracy Forum.
Namanya masuk dalam peserta seleksi calon hakim konstitusi ini, Hamdan langsung menyatakan tidak ikut seleksi selanjutnya.
"Rasanya kurang tepat bagi saya untuk mengikuti wawancara dalam rangka ’fit and proper test’ untuk menjadi Hakim Konstitusi yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi," kata Hamdan.
Hamdan mengatakan bahwa dia merasa tes wawancara tersebut tidak tepat dia ikuti mengingat dirinya pada saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi.
Hamdan kemudian menambahkan bahwa sebelumnya pada 2010, dia telah mengikuti wawancara serupa yang dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan tiga kementerian terkait yaitu; Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
"Ketika itu saya dinyatakan lolos dan layak sebagai hakim konstitusi dan saya saat ini masih menduduki jabatan sebagai hakim konstitusi," ujar Hamdan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hamdan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo dan Panitia Seleksi untuk mengajukan atau bahkan tidak mengajukan dirinya sebagai hakim konstitusi untuk masa jabatan selanjutnya, berdasarkan dengan rekam jejak dan kinerja dia sebagai Hakim Konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi.
"Bukan karena saya merasa sangat pintar, sangat hebat, atau sangat berintegritas. Tapi sekali lagi, karena sepenuhnya saya merasa kurang tepat untuk mengikuti kembali tes wawancara," tegas Hamdan.
Dengan sikap Hamdan tersebut, Tim Pansel tidak mencantumkan nama Hamdan dalam lima peserta yang lolos seleksi tahap pertama dan akan menjalani tes kesehatan.
Kelima nama calon hakim konstitusi tersebut masing-masing I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum yang merupakan dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Imam Anshori Saleh, SH, M.Hum yang merupakan komisioner Komisi Yudisial, Prof. Dr. Yuliandri SH, MH, guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Dr. Indra Perwira, SH, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjdjaran Bandung.
Sikap Hamdan yang tidak mau ikut seleksi ini diapresiasi oleh pakar Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin.
"Sikap Hamdan Zoelva patut diapresiasi karena sudah berhasil membuktikan seorang negarawan," kata Irman.
Irman menyebutkan bahwa satu satunya jabatan di Republik ini yang diharuskan oleh konstitusi seorang negarawan hanyalah hakim konstitusi.
"Sebagai seorang Ketua MK dan hakim MK, beliau sudah membutikan untuk tidak mempertaruhkan kehormatan dan martabat MK di hadapan Pansel dengan mengikuti wawancara yang justru semakin memperlihatkan dirinya ’mengejar’ jabatan yang tentunya bukan denyut nadi seorang negarawan," katanya.
Irman berharap ke depan sebaiknya Presiden langsung menentukan sendiri hakim konstitusi yang akan diajukannya sebab konstitusi sudah menentukan bahwa itu hak eksklusif presiden.
"Presiden tidak boleh menciptakan lembaga ad hoc yang mereduksi kekuasaannya sendiri dalam menentukan hakim MK yang akan dinominasikannya, karena proses pendaftaran dan seleksi adalah proses aneh dalam mencari negarawan hakim konstitusi," kata Irmanputra Sidin. [www.beritasatu.com]
Namun Presiden Joko Widodo tidak langsung memperpanjang masa jabatan Hamdan Zoelva secara otomatis seperti yang dilakukan oleh presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono yang memperpanjang jabatan Maria Farida Indrati untuk jabatan hakim konstitusi periode keduanya 2014-2019.
Presiden Joko Widodo langsung membentuk Tim Panitia Seleksi (Pansel) yang diketuai pakar hukum tata negara dan guru besar ilmu hukum Universitas Andalas Padang, Salsi Isra.
Saldi Isra sebagai ketua dibantu oleh anggota yang terdiri dari Refly Harun, Haryono, Mulya Lubis, Satya Ariananto, Widodo dan Maruarar Siahaan.
Pembentukan Tim Pansel seleksi calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah ini justru menimbulkan hiruk pikuk komentar para pihak yang setuju dan yang tidak setuju.
Ketua MK yang akan habis masa baktinya ini juga menanggapi dingin dan masih mempertimbangkan apakah dirinya akan kembali mendaftar sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah.
Hamdan mengaku masih akan melihat terlebih dulu mengenai mekanisme dan proses seleksinya seperti apa.
"Ya saya akan melihat dulu proses seleksi dan rekrutmen yang dilakukan pansel seperti apa, karena kan pembukaan pendaftarannya baru," katanya.
Ketua Pansel Calon Hakim MK Saldi Isra menjelaskan proses seleksi akan dilakukan sejak awal Desember 2014 dan diharapkan pada 6 Januari 2015, Presiden Joko Widodo sudah menetapkan calon dan pada 7 Januari 2015 sudah dilantik menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi.
"Agenda itu menyangkut tahapan seleksi, kami sudah atur hitung mundur, kami perkirakan nama-nama calon dari panitia seleksi ini sampai di tangan presiden pada 5 Januari, kemudian pada 6 Januari keluar Keppres dan 7 Januari bisa dilantik," paparnya.
Saldi Isra dalam penjelasannya mengatakan tahapan seleksi diawali dengan pengumuman penerimaan calon hakim konstitusi, kemudian wawancara tahap pertama, tes kesehatan dan kemudian wawancara tahap kedua yang melibatkan para tokoh senior di bidang tata negara dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam tahapan tersebut, kata Saldi dimungkinkan komponen masyarakat dapat mengajukan pertanyaan saat wawancara terbuka tersebut.
Pembentukan Tim Pansel Calon Hakim Konstitusi ini dinilai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sebagai langkah maju dan layak mendapat apresiasi, karena lebih terjamin kualitasnya.
"Sangat tepat dan bagus ada tim pansel yang mencari dan menjaring calon hakim konstitusi," kata Mahfud MD.
Dia mengatakan bahwa adanya tim pansel merupakan kemajuan signifikan dalam proses perekrutan hakim dibandingkan pemerintahan periode sebelumnya yang tidak membentuk tim khusus.
"Sekarang diuji tim dan ada proses wawancara terbuka di hadapan publik untuk semua calon hakim. Ini permulaan bagus dari seorang Presiden Joko Widodo," ucapnya.
Namun upaya pemerintah melakukan seleksi calon hakim konstitusi ini langsung diprotes oleh para hakim MK yang keberatan keberadaan Todung Mulya Lubis dan Refly Harun sebagai anggota panitia seleksi (Pansel).
"Todung dan Refly yang masing-masing diketahui adalah advokat dan konsultan hukum yang selama ini aktif berperkara di MK," kata Sekretaris Jenderal MK Janedjri Gaffar.
Janedjri mengungkapkan atas dasar itu, Rapat Permusyawaratan Hakim pada Kamis (11/12) meminta ketua MK untuk berkirim surat kepada presiden yang isinya untuk menjaga objektivitas seleksi hakim MK dari unsur pemerintah.
"Kiranya presiden dapat mempertimbangkan kembali, dengan harapan hakim konstitusi yang terpilih dapat menjaga independensi dan imparsial dalam menjalankan wewenang konstitusi MK," kata Janedjri.
Hal yang sama juga diungkapkan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) yang juga menolak masuknya dua anggota Pansel Refly Harun dan Todung Mulya Lubis.
"Kami melihat Todung dan Refly tidak tepat masuk pansel hakim MK," kata Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan di Jakarta, Senin.
Otto mengatakan pihaknya segera mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta peninjauan ulang penetapan tersebut demi masa depan MK, tranparansi, menghindarkan kepentingan dan menjaga MK.
Dia menambahkan keberadaan Todung dan Refly menjadi tim seleksi dikhawatirkan keduanya akan memilih hakim-hakim yang akan mendukung kasus yang ditangani oleh kedua advokat tersebut.
"Bagaimanapun, ada hal yang membuat mereka (hakim) tidak independen, atas seleksi Todung Mulya Lubis dan Refly. Pasti dia menjadi hakim yang tidak mandiri, tidak independen, ewuh pakewuh, sungkan, kalau ada nanti perkara yang timbul, langsung atau tidak yang ditangani Todung dan Refly, itu pasti benturan," paparnya.
Otto menyatakan pihak sependapat dengan MK, keberadaan Refly dan Todung tidak tepat. "Tidak ada pikiran-pikiran kami yang lain, hanya objektivitas demi masa depan MK," katanya.
"Ada hal yang membuat mereka tidak independen, hakim yang terpilih akan sungkan kalau nanti perkara ditangani Todung dan Refly, itu pasti ada benturan kepentingan," katanya.
Bahkan Otto memberikan penilaian khusus pada Todung yang telah dijatuhi sanksi karena melanggar etik oleh Peradi, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
"Jadi bagaimana mungkin diterima akal sehat kita, seorang yang dihukum oleh tiga organisasi advokat karena melanggar kode etik, tapi diberikan kewenangan memilih hakim yang nota bene tidak boleh melanggar etika," katanya.
Keberatan para hakim MK ini juga dipahami oleh Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri karena keberadaan advokat akan menimbulkan kesan tidak independen.
Namun Taufiq menyayangkan penyampaian keberatan tersebut dilakukan oleh para hakim konstitusi.
"Sayang (penyampaian keberatan) tidak proporsional, seharusnya yang tepat menyuarakan itu dewan etik sebagai pengawal etik hakim MK," katanya.
Sedangkan Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyebutkan bahwa sikap MK yang keberatan terhadap dua anggota Pansel tersebut terlalu berlebihan.
Menurut dia, keberatan tersebut bukan wewnang para hakim MK dan tindakan tersebut merupakan bentuk ancaman dari MK kepada Presiden. "Itu tentu tidak pantas," ucap Erwin.
Refly Harun menanggapi santai terkait keberatan yang diajukan oleh MK tersebut dan menyebut sikap MK tidak berdasar karena satu atau dua nama rasanya dinilai tidak mungkin memiliki peran yang signifikan terhadap hasil keseluruhan pansel.
Ketua Pansel CHK Saldi Isra mengatakan, peran Refly dan Todung dibutuhkan karena untuk memilih sosok hakim konstitusi, dibutuhkan orang-orang yang memahami MK.
Tim Pansel seleksi calon hakim konstitusi ini mengabaikan keberatan para hakim MK dan tetap melanjutkan proses seleksi dengan membuka pendaftaran.
Saldi Isra menyebut ada 16 orang mendaftar sejak dibuka pendaftaran calon hakim konstitusi periode 11 Desember hingga 17 Desember 2014.
Jumlah tersebut, lanjutnya, terdiri atas 14 orang yang mendaftarkan sendiri, dan empat orang yang direkomendasikan atau diusulkan oleh organisasi/perseorangan, termasuk diantaranya Hamdan Zoelva yang direkomendasikan oleh Setara Institute, Direktur Eksekutif imparsial, HRWG, dan Presidium Constitutional Democracy Forum.
Namanya masuk dalam peserta seleksi calon hakim konstitusi ini, Hamdan langsung menyatakan tidak ikut seleksi selanjutnya.
"Rasanya kurang tepat bagi saya untuk mengikuti wawancara dalam rangka ’fit and proper test’ untuk menjadi Hakim Konstitusi yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi," kata Hamdan.
Hamdan mengatakan bahwa dia merasa tes wawancara tersebut tidak tepat dia ikuti mengingat dirinya pada saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi.
Hamdan kemudian menambahkan bahwa sebelumnya pada 2010, dia telah mengikuti wawancara serupa yang dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan tiga kementerian terkait yaitu; Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
"Ketika itu saya dinyatakan lolos dan layak sebagai hakim konstitusi dan saya saat ini masih menduduki jabatan sebagai hakim konstitusi," ujar Hamdan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hamdan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo dan Panitia Seleksi untuk mengajukan atau bahkan tidak mengajukan dirinya sebagai hakim konstitusi untuk masa jabatan selanjutnya, berdasarkan dengan rekam jejak dan kinerja dia sebagai Hakim Konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi.
"Bukan karena saya merasa sangat pintar, sangat hebat, atau sangat berintegritas. Tapi sekali lagi, karena sepenuhnya saya merasa kurang tepat untuk mengikuti kembali tes wawancara," tegas Hamdan.
Dengan sikap Hamdan tersebut, Tim Pansel tidak mencantumkan nama Hamdan dalam lima peserta yang lolos seleksi tahap pertama dan akan menjalani tes kesehatan.
Kelima nama calon hakim konstitusi tersebut masing-masing I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum yang merupakan dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Imam Anshori Saleh, SH, M.Hum yang merupakan komisioner Komisi Yudisial, Prof. Dr. Yuliandri SH, MH, guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Dr. Indra Perwira, SH, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjdjaran Bandung.
Sikap Hamdan yang tidak mau ikut seleksi ini diapresiasi oleh pakar Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin.
"Sikap Hamdan Zoelva patut diapresiasi karena sudah berhasil membuktikan seorang negarawan," kata Irman.
Irman menyebutkan bahwa satu satunya jabatan di Republik ini yang diharuskan oleh konstitusi seorang negarawan hanyalah hakim konstitusi.
"Sebagai seorang Ketua MK dan hakim MK, beliau sudah membutikan untuk tidak mempertaruhkan kehormatan dan martabat MK di hadapan Pansel dengan mengikuti wawancara yang justru semakin memperlihatkan dirinya ’mengejar’ jabatan yang tentunya bukan denyut nadi seorang negarawan," katanya.
Irman berharap ke depan sebaiknya Presiden langsung menentukan sendiri hakim konstitusi yang akan diajukannya sebab konstitusi sudah menentukan bahwa itu hak eksklusif presiden.
"Presiden tidak boleh menciptakan lembaga ad hoc yang mereduksi kekuasaannya sendiri dalam menentukan hakim MK yang akan dinominasikannya, karena proses pendaftaran dan seleksi adalah proses aneh dalam mencari negarawan hakim konstitusi," kata Irmanputra Sidin. [www.beritasatu.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar