Di dunia dikenal beberapa bentuk bar association untuk Advokat yaitu :
- Single bar association yaitu hanya ada satu organisasi Advokat dalam suatu yurisdiksi ( wilayah hukum dalam suatu negara )
- Multi bar association yaitu terdapat beberapa organisasi advokat yang masing-masing berdiri sendiri
- federation of bar associations yaitu organisasi-organisasi advokat yang ada bergabung dalam federasi di tingkat nasional, dalam hal ini sifat keanggotaannya adalah ganda, yaitu pada tingkat lokal dan nasional.
Pada awalnya yaitu sejak masa kemerdekaan, Indonesia menganut multi bar association, hal ini ditandai dengan terbentuknya beberapa organisasi advokat :
- Persatuan Advokat Indonesia ( PAl ) pada tanggal 14 Maret 1963, dan kemudian digantikan oleh
- Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) pada tanggal 30 Agustus 1964 di Solo
- Pusat Bantuan Dan Pengabdi Hukum Indonesia ( PUSBADHI ) dan lain-lain.
Sejarah dan Kiprah Peradin
Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, PERADIN konsisten mengawal
konstitusi, sehingga semua Keppres, Inpres, PP ( Peraturan Pemerintah )
dan Undang-Undang ( UU) yang bertentangan dengan konstitusi diprotes
keberadaannya dan karena kiprahnya dianggap sebagai l'enfant terrible
( si anak nakal) karena protes-protesnya menentang penyimpangan atas
UUD 1945 oleh pemerintah dan MPR/DPR waktu itu. Bahkan pernah dianggap
sebagai disiden.
Bukan itu saja, badan extra judicial seperti Kopkamtib diprotes keberadaannya, belum lagi masalah Petrus ( penembak misterius ) yang membunuh para pelaku kejahatan ( underworld) , juga diprotes oleh PERADIN karena dianggap melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup ( right to life ).
Pembelaan
PERADIN terhadap perkara politik anggota PKI ( Partai Komunis
Indonesia) dan orang-orang yang dituduh mau mendirikan negara Islam,
dianggap sebagai perwujudan sikap non politik yang membela siapa pun
yang membutuhkan pembelaan ( legal counsel )
Terlepas
dari latar belakang ideologi politik yang dianut, ras, agama, warna
kulit, gender, strata sosial, ekonomi, budaya, suku dan lain-lain.
Justice for all
itulah sikap PERADIN waktu itu. Keberadaan moral dan konsistensi yang
diemban PERADIN inilah yang menjanjikan organisasi advokat ini begitu
harum namanya di forum internasional, sebagai organisasi yang
independen.
Dalam upaya membungkam organisasi advokat yang vokal ini, pemerintah orde baru ( ORBA ) memprakarsai
pembentukan wadah tunggal para advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia
(IKADIN). Kongres advokat pertama atau musyawarah nasional ( munas )
ini diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1985.
Dari
kongres yang diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1985 tersebut
bergabung 10 organisasi advokat dan bantuan hukum ke dalam wadah
tunggal yang akhirnya kandas karena tidak bottom up, melainkan top down, dalam arti segala hal diatur dari atas c.q. pemerintah, dan bukan aspirasi para advokat sendiri.
Dengan
berdirinya AAI ( Asosiasi Advokat Indonesia ) tahun 1991, lengkaplah
kegagalan inisiatif untuk membentuk organisasi tunggal profesi hukum,
terlebih lagi kemudian berdiri organisasi advokat baru seperti :
* AAI ( Asosiasi Advokat indonesia )
* SPI ( Serikat Pengacara Indonesia )
* HKHPM ( Himpunan Konsultan Hukum Pasar Moda l )
* HAPI ( Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia )
* APSI ( Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia )
* AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia )
Pembentukan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
Pada tanggal 5 April 2003, Pemerintah Republik Indonesia telah mensahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dimana Undang-undang Advokat mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat sebagaimana yang tercantum
dalam :
Pasal 28 Undang-Undang Advokat, dan organisasi advokat tersebut paling lambat terbentuk pada tahun 2005
Dengan kata lain 2 tahun setelah Undang-Undang Advokat diundangkan yaitu pada tahun 2003.
Oleh
karena itu, guna memenuhi ketentuan dalam Undang_Undang Advokat
tersebut, maka pada 21 Desember 2004 dideklarasikan Perhimpunan Advokat
Indonesia ( PERADI ) yang merupakan perwujudan dari single bar association
dan juga merupakan sinyal positif akan bersatunya profesi advokat
Indonesia dalam suatu organisasi tunggal profesi advokat sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat.
Akan
tetapi, sekali lagi pembentukan PERADI tersebut menimbulkan polemik di
beberapa anggota organisasi advokat, dimana lantaran pembentukannya
tidak transparan, tidak mengindahkan hak-hak anggota untuk memilih
pengurusnya secara bebas, tidak adil dan tidak akuntabel.
Alhasil tidak memenuhi syarat pembentukan national bar association yang demokratis.
Salah satu bentuk dari ketidak puasan itu akhirnya ditampung dalam bentuk deklarasi Kongres Advokat Indonesia (KAI).
KAI
muncul sebagai akumulasi kekecewaan advokat terhadap PERADI. Seperti
diketahui, KAI lahir dari empat organisasi advokat yaitu :
1. IPHI ( Ikatan Penasihat Hukum Indonesia )
2. Ikadin ( Ikatan Advokat Indonesia )
3. HAPI ( Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia )
4. APSI ( Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia )
Dengan
dibentuknya KAI tersebut menimbulkan sengketa antara pengurus PERADI
dengan pengurus KAI, dimana keduanya mengklaim sebagai national bar association sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat.
Sengketa
tersebut hingga kini tidak kunjung usai, yang mana baik pengurus
PERADI maupun pengurus KAI selain masing-masing mengklaim sebagai national bar association yang sah, juga menganggap rivalnya sebagai national bar association yang tidak sah.
Hal
tersebut dapat diketahui bahwa KAI menganggap pembentukan PERADI tidak
sah karena pengangkatan pengurusnya dilakukan secara tidak transparan,
tidak mengindahkan hak-hak anggota untuk memilih pengurusnya secara
bebas, tidak adil dan tidak akuntabel.
Sedangkan di sisi lain, pengurus PERADI menganggap keberadaan KAI bukanlah national bar association
yang sah karena KAI dibentuk melampaui jangka waktu pembentukan
organisasi tunggal advokat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU
Advokat.
Adanya konflik antar pengurus organisasi advokat ini patut disesalkan, karena bukan sekali ini saja organisasi advokat menjadi ajang konflik bagi para advokat.
Menanggapi perkembangan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Ketua Mahkamah Agung No.: 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 perihal
Sikap Mahkamah Agung terhadap Organisasi Advokat, yang pada intinya
menyatakan perselisihan mengenai organisasi advokat mana yang sah harus
diselesaikan secara internal advokat dan untuk itu hingga perselisihan
a quo belum terselesaikan,
Mahkamah
Agung meminta kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat baik
secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap perselisihan
tersebut, diantaranya Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah
advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Advokat. Hal tersebut tentunya menimbulkan efek negatif terhadap
organisasi advokat sendiri, khususnya para calon advokat yang sedang
menanti untuk diambil sumpahnya menjadi advokat.
Efek
negatif tersebut secara tidak langsung juga berdampak negatif kepada
para pencari keadilan dan masyarakat. Yang pasti perseteruan antar
pengurus 2 organisasi advokat tersebut menyebabkan pengawasan dan
pendisiplinan profesi advokat menjadi terlantar, yang berakibat
pelanggaran kode etik advokat tidak dapat ditindak dan dikenakan sanksi
sebagaimana mestinya.
Melihat
sejarah pembentukan organisasi advokat di Indonesia yang selalu
mengalami masalah jika ingin disatukan dalam wadah tunggal organisasi
advokat (single bar association), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya secara alamiah (naturally created condition)
Indonesia menganut multi bar association
yang mana dapat terlihat dari banyaknya jumlah organisasi advokat yang
ada, sehingga solusi terbaik dalam mengatasi kisruh mengenai wadah
tunggal organisasi advokat (single bar association) adalah dengan mengakui bahwa sistem multi bar association adalah yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dan tidak memaksakan dibentuk sistem single bar association.
Selama
era IKADIN dan PERADI ternyata organisasi-organisasi advokat yang
bergabung tetap saja berfungsi dan tidak meleburkan diri ke dalam single bar association. Selain sistem multi bar association, sistem organisasi advokat lain yang cocok diterapkan di Indonesia adalah federation of bar association sebagai alternatif lain.
Dalam sistem federation of bar association,
organisasi-organisasi advokat yang ada akan memilih Dewan Pengurus
Federasi di tingkat pusat untuk menjadi perwakilan mereka diantaranya
dalam hubungan internasional dan mempunyai wewenang atas penyelenggaraan
Pendidikan Khusus Profesi Advokat ( PKPA ) atau bar examination.
Sedangkan
penyelenggaraan ujian advokat dan kursus advokat dapat diselenggarakan
oleh suatu lembaga independen yang khusus ditunjuk untuk itu, dimana
hal tersebut bertujuan agar bar association tidak terperangkap dalam komersialisasi jabatan dan komersialisasi dalam mengurus kursus dan ujian advokat.
Berdasarkan
uraian di atas, maka sebaiknya Undang-Undang Advokat diamandemen
mengikuti aspirasi advokat dan karakteristik dari tatanan organisasi
advokat yang ada dengan memilih multi bar association atau federation of bar associations, dimana merupakan suatu hal yang tidak realistis apabila bentuk single bar association
masih saja dipaksakan untuk diberlakukan di Indonesia karena secara
alamiah, bentuk organisasi advokat yang dianut oleh Indonesia adalah multi bar association atau federation of bar association.
Dengan
demikian diharapkan konflik antar pengurus organisasi advokat yang
berkepanjangan di Indonesia dapat diselesaikan, sehingga organisasi
advokat dapat berperan secara maksimal dalam menjalankan fungsi dan
perannya sebagai organisasi advokat demi terwujudnya hukum yang dapat
memberikan keadilan bagi para pencari keadilan ( justitiabele ).
*) Penulis adalah advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
*) Hukum on line artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar