Selasa, 23 Desember 2014

Bantuan Hukum Salah Urus


Oleh: Jecky Tengens, SH*) 
 
Dalam rapat evaluasi bersama bulan Oktober 2014 yang lalu, ada OBH yang menggambarkan bahwa dana BPHN ini bagaikan dana siluman, tidak ada yang tahu pertanggungjawabannya.

Bantuan Hukum Salah Urus Oleh: Jecky Tengens, SH*)
Jecky Tengens. Foto: Koleksi Pribadi
Permasalahan birokrasi dan ego sektoral sudah lama membelenggu gerak institusi negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan yang berbeda-beda terkadang menjadi penghalang dalam memberikan pelayanan publik yang cepat dan efisien. Banyaknya regulasi yang dihasilkan malah menjadi penyumbat kerja yang efektif karena inkonsistensi dari aturan-aturan yang kerap tidak diharmonisasikan tersebut. Belum lagi kultur berbelit-belit birokrasi yang belum bisa ditinggalkan sebagai warisan pemerintahan dari setiap periode.
Lihatlah contoh pengelolaan dana program bantuan hukum di Indonesia, pada tahun 2013 dimana wakil Presiden ketika itu menyentil dana bantuan hukum yang tidak terserap secara maksimal, hanya sekitar 30 persen anggaran yang terserap. Ini adalah rapor merah tentunya bagi pihak Kementerian Hukum & HAM cq BPHN sebagai institusi yang diberikan tanggung jawab untuk menjalankan program bantuan hukum.
Setelah evaluasi tahunan tentang proses pemberian bantuan hukum serta rapor merah penyerapan anggaran tahun 2013 yang lalu, bagaimana dengan gambaran perkembangan bantuan hukum tahun 2014 ini?
Disharmonisasi Regulasi
Menjelang penghujung bulan Oktober 2014 yang lalu, sejumlah 45 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang telah diakreditasi dan diverifikasi diundang untuk menghadiri rapat evaluasi perkembangan bantuan hukum di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data yang diberikan oleh pihak BPHN dan Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta ternyata sungguh sangat mencengangkan, hanya ada 5 OBH yang melaporkan tentang kegiatan bantuan hukum dan reimbursenya sampai dengan akhir Oktober.
Ini artinya menjelang satu bulan sebelum tutup masa kontrak, terdapat 40 OBH yang tidak melakukan penagihan reimburse dana bantuan hukum kepada negara, sudah bisa dibayangkan kembali gambaran kegagalan penyerapan anggaran di tahun 2014 ini akan terulang kembali. Lantas apa sebenarnya yang membuat kegagalan penyerapan anggaran ini terulang kembali?
Dari pengalaman penulis sendiri, persoalan utama ternyata terletak pada birokrasi pemerintah yang sangat berbelit dan kegagalan pihak penyelenggara dalam hal ini Kementerian Hukum dan Ham cq BPHN dalam menggandeng maupun melakukan sosialisasi atas peraturan yang berbeda di dalam rezim Kementerian Keuangan dan rezim Kementerian Hukum dan HAM.
Dua rezim yang  bebeda ini memiliki regulasi yang berbeda pula sehingga laporan pengelolaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh OBH dan diserahkan ke BPHN untuk kemudian dilakukan reimburse melalui Kementerian Keuangan sebagai kasir negara, seringkali ditolak oleh pihak Kementerian Keuangan dengan alasan-alasan yang tidak disosialisasikan sejak awal kepada OBH, sehingga tentu saja ini menimbulkan kegeraman di antara OBH, setidaknya itulah gambaran pertemuan 45 OBH se-DKI Jakarta dengan pihak Kanwil Kemenkumham dan BPHN pada akhir Oktober yang lalu.
Dalam pelaporan perkara litigasi misalnya, sudah diatur oleh Pasal 15 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP No. 42/2013), yang berbunyi:
“pemberian bantuan hukum secara litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan dengan cara:
  1. Pendampingan dan atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan;
  2. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau
  3. Pendampingan dan/atau menjalankan nkuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan tata Usaha Negara.”
Kemudian di BAB II Standar Bantuan Hukum Litigasi Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 22 tahun 2013 ttg Peraturan Pelaksana PP No. 42/2013 (Permenham No. 22/2013), disebutkan bahwa:
1) Penerima Bantuan Hukum dalam perkara pidana terdiri atas:
a. Tersangka; dan/atau

b. Terdakwa.
2) Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan Bantuan Hukum untuk perkara pidana dimulai dari tahapan;
a.    Penyidikan;
b.   
Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan/atau
c.    Upaya hukum.
Aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa perkara yang masih berada pada tingkat penyidikan dan penuntutan sudah dapat dikatakan sebagai sebuah perkara litigasi. Namun, anehnya pihak BPHN sendiri menolak laporan perkara litigasi yang dilaporkan apabila perkara tersebut belum sampai di persidangan dan memiliki nomor persidangan, kilah BPHN ialah bahwa Kementerian Keuangan hanya akan mencairkan dana yang telah memiiki nomor register sidang.
Inilah yang menjadi salah satu hambatan, ketentuan dari Kementerian Keuangan tersebut tidak pernah disosialisasikan kepada para OBH, apalagi jika ketentuan tersebut sendiri bertentangan dengan ketentuan yang telah dibuat oleh Pemerintah serta Kementrian Hukum dan HAM melalui Pasal 15 PP No 42/2013 jo. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Permenkumham No. 22/2013, tidak ada adanya harmonisasi dari ketentuan-ketentuan yang bertentangan tersebut merugikan kepentingan para stakeholder yang terkait dengan hal ini.
Apalagi Jika memakai logika berpikir seperti demikian maka akan sangat berbahaya dan semakin kontraproduktif dengan metode pendekatan dan penyelesaian masalah yang seirama dengan kultur budaya lokal kita sendiri, mental pemberian bantuan hukum seakan diarahkan untuk selalu menyelesaikan perkara lewat jalur persidangan.
Pertanyaannya sekarang, apakah semua perkara yang memasuki proses penyidikan wajib untuk digulirkan terus sampai dengan proses persidangan? Terlalu banyak contoh-contoh kasus kecil yang dialami rakyat miskin yang menyeret mereka tersebut sampai di meja hijau. Contohnya, kasus nenek Rasmiah atau kasus nenek Minah yang diadili karena 2 biji kakao.
Kasus-kasus seperti inilah yang sebenarnya tidak perlu sampai diajukan ke depan persidangan, para pembela bisa melakukan tindakan hukum di tahap penyidikan untuk menyelesaikan perkara ini baik melalui pendekatan restorative justice atau lainnya. Semangat inilah yang akan mendegradasi pola berpikir kita dalam memberikan bantuan hukum, apalagi pola penanganan perkara secara konvensional yang legalistik harus diselesaikan di muka sidang akan tidak sejalan dengan semangat diversi di dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang baru.
Bertolak sekali dengan ketentuan tidak tertulis BPHN (atau lebih tepat dikatakan –ketentuan Kementerian Keuangan yang tidak pernah disosialisasikan) yang menolak laporan litigasi jika belum memiliki nomor register persidangan. Jika ini diterapkan kembali maka semangat restorative justice yang mulai muncul terutama dalam perkara anak melalui UU SPPA lewat diversi, atau sebuah SP3 tidak akan bisa dihitung sebagai sebuah perkara yang dapat dilaporkan ke BPHN. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh kepada kinerja akreditasi OBH yang bersangkutan, sebagai catatan, semua OBH wajib memenuhi kuota perkara sebanyak 60 perkara untuk akreditasi A, 30 perkara untuk akreditasi B & 15 perkara untuk akreditasi C.
Pengelolaan Tidak Transparan
Selain itu, mekanisme pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel pun harus disorot dalam kinerja penyaluran dana bantuan hukum ini, misal contoh laporan yang telah diajukan kepada BPHN dengan dilengkapi dengan dokumen-dokumen asli periode tahun 2013 yang lalu. Dokumen-dokumen asli plus kwitansi yang telah ditandatangani oleh OBH  tersebut tidak semuanya disetujui untuk dicairkan oleh BPHN.
Kita semua tentunya setuju bahwa laporan yang tidak memenuhi persyaratan reimburse tentu tidak akan dicairkan dananya, namun tidak ada keterbukaan mengenai laporan mana yang ditolak dan apa alasan penolakannya yang menjadi pangkal persoalan di sini. Ini menjadi titik masuk potensi penyalahgunaan anggaran negara karena laporan yang dimasukan oleh OBH semuanya telah diberi kwitansi yang ditandatangani pengeluarannya.
Tentu saja harus disampaikan alasan penolakan yang dimaksud dan dokumen-dokumen asli tersebut wajib untuk dikembalikan untuk menghindari potensi-potensi buruk tadi. Sayangnya selama ini tidak pernah ada keterbukaan seperti ini, jangka waktu penyampaian jawaban dari pihak pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dan ayat (5) Permenkumham No. 22/2013 pun tidak dilaksanakan :
“4) kepala kantor wilayah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan dan dokumen yang diisyaratkan secara lengkap, wajib memberikan jawaban atas hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pemberi bantuan hukum.
5). Kepala kantor wilayah menyampaikan permintaan pencairan anggaran kepada Menteri melalui kepala badan pembinaan hukum nasional dengan tembusan kepada pemberi bantuan hukum berdasarkan jawab hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal penyampaian jawaban atas hasil pemeriksaan.”
Laporan tahun 2013 yang lalu pun tidak ada pertanggungjawabannya kepada OBH mengenai laporan yang ditolak dan alasan penolakannya tersebut. Makanya, dalam rapat evaluasi bersama bulan Oktober 2014 yang lalu, ada OBH yang menggambarkan bahwa dana BPHN ini bagaikan dana siluman, tidak ada yang tahu pertanggungjawabannya.
Gambaran kegeraman itu pun semakin bertambah ketika diadakan pertemuan bersama OBH se-DKI di Kanwil pada akhir Oktober 2014 tersebut, pihak BPHN malah kembali memperkenalkan suatu mekanisme baru bernama SID (Sistem Informasi database) bantuan hukum, dalam hal ini setiap OBH yang hendak melaporkan kegiatan bantuan hukumnya ke BPHN diwajibkan untuk mengisi aplikasi ini dengan data-data yang akan dilaporkan.
Kebijakan yang baru disosialisasikan dengan tenggang waktu hanya satu bulan menjelang tutup kontrak ini tentu saja mendapat resistensi dari para OBH yang ada. Bisa dibayangkan betapa repotnya kembali OBH yang sebelumnya telah dirumitkan dengan mekanisme yang tidak jelas dari BPHN kini malah diwajibkan kembali untuk melaksanakan kebijakan yang telat sosialisasi ini.
Bayangkan hanya jangka waktu satu bulan yang diberikan oleh pihak BPHN kepada OBH untuk mengisi laporan-laporan mereka melalui sistem SID ini, jika tidak disertakan dengan SID maka laporan dari OBH terancam ditolak. Apabila hal ini yang tetap dipertahankan maka tentu  saja pihak BPHN telah melanggar kontrak perjanjian bantuan hukum yang telah ditanda tangani bersama, sebab tidak ada satu klausul pun di perjanjian maupun di PP No. 42/2013 serta Permenkumham No. 22/2013 yang mewajibkan adanya laporan dengan menggunakan SID tersebut. Di sisi ini, potensi BPHN sebagai pihak yang menutup kontrak dalam menuai gugatan hukum pun menjadi terbuka lebar.
Perlunya Harmonisasi
Kinerja yang tidak maksimal ini tidak boleh terus berulang dari tahun ke tahun, realitas kinerja dan pelaksanaan program bantuan hukum tahun 2013 dan 2014 ini seharusnya sudah menjadi cambuk bagi pihak BPHN sebagai penyelenggara. Regulasi yang tersebar dan berbeda antara rezim Kementerian keuangan dan Kemenkumham perlu disinkronisasi agar bukan ego sektoral Kementerian lagi yang harus ditonjolkan.
Program sosialisasi kepada para stakeholders harus dilakukan menyeluruh kepada OBH, juga kepada instansi penegak hukum lainnya yang dirasakan masih sulit mematuhi ketentuan UU Bankum. Jangan dilupakan juga pihak kelurahan sebagai jalan masuk penentu formalitas yang selama ini tampaknya masih sulit mengeluarkan SKTM bagi para pencari keadilan walaupun sudah diperintah berdasarkan Pasal 8 ayat (2) serta Pasal 9 ayat (2) PP No. 42/2013.
Ibarat bayi yang baru dilahirkan, program dan birokrasi bantuan hukum ini memang masih merangkak untuk menemukan pola pengasuhan yang benar. Oleh karena itu, khususnya bagi pihak penyelenggara sebagai yang melahirkan program ini tidak boleh langsung lepas tangan dan hanya membuat regulasi yang sulit untuk diaplikasikan oleh para OBH ini. Tanpa adanya “pengasuh” yang selalu mengawasi perkembangan program ini maka dapat dipastikan program ini tidak akan bisa berkembang sesuai dengan yang dicita-citakan secara ideal
Diperlukan pengawasan yang lebih kuat dan teratur agar renggang pemahaman dan resistensi para OBH kepada penyelenggara dapat dikurangi. Ketentuan Pasal 36 PP 42/2013 tentang panitia pengawas daerah selama ini sangat tidak terasa pengaruhnya, persoalan telatnya sosialisasi beberapa ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh BPHN kepada para OBH menjadi indikasi bahwa memang fungsi ini tidak berjalan secara baik. 
Contohnya di wilayah DKI Jakarta yang terdapat 45 OBH, bisa dipikirkan mungkin bagaimana untuk mengawasi dan mengontrol kinerja OBH ini dengan menempatkan 1 orang SDM sebagai pengawas 5 OBH misalnya. Artinya tugas dari pengawas ini yang akan tetap berkoordinasi dengan OBH yang diawasi setiap bulannya untuk mensosialisasikan regulasi serta fungsi koreksi dari program bantuan hukum tersebut. Jika memang hal ini bisa dilakukan dengan efektif masalah-masalah yang muncul pastinya dapat dijembatani dengan baik, renggang pemahaman menjadi semakin kecil, keikutsertaan OBH dalam evaluasi semakin terasa dan pada akhirnya daya serap anggaran bantuan hukum meningkat.
Dengan demikian tidak lagi menjadi simalakama bagi BPHN sebagai penyelenggara, OBH sebagai Pemberi dan masyarakat miskin sebagai penerima bantuan hukum, sehingga pada intinya jangan sampai program bantuan hukum ini menjadi bantuan hukum yang salah urus. (www.hukumonline.com)
*Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar