Oleh: Jecky Tengens, SH*)
Dalam rapat evaluasi bersama bulan Oktober 2014
yang lalu, ada OBH yang menggambarkan bahwa dana BPHN ini bagaikan dana
siluman, tidak ada yang tahu pertanggungjawabannya.
Permasalahan birokrasi dan ego sektoral sudah lama membelenggu gerak institusi negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan yang berbeda-beda terkadang menjadi penghalang dalam memberikan pelayanan publik yang cepat dan efisien. Banyaknya regulasi yang dihasilkan malah menjadi penyumbat kerja yang efektif karena inkonsistensi dari aturan-aturan yang kerap tidak diharmonisasikan tersebut. Belum lagi kultur berbelit-belit birokrasi yang belum bisa ditinggalkan sebagai warisan pemerintahan dari setiap periode.
Lihatlah contoh pengelolaan dana program bantuan hukum di Indonesia,
pada tahun 2013 dimana wakil Presiden ketika itu menyentil dana bantuan
hukum yang tidak terserap secara maksimal, hanya sekitar 30 persen
anggaran yang terserap. Ini adalah rapor merah tentunya bagi pihak
Kementerian Hukum & HAM cq BPHN sebagai institusi yang diberikan
tanggung jawab untuk menjalankan program bantuan hukum.
Setelah evaluasi tahunan tentang proses pemberian bantuan hukum serta
rapor merah penyerapan anggaran tahun 2013 yang lalu, bagaimana dengan
gambaran perkembangan bantuan hukum tahun 2014 ini?
Disharmonisasi Regulasi
Menjelang penghujung bulan Oktober 2014 yang lalu, sejumlah 45 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang telah diakreditasi dan diverifikasi diundang untuk menghadiri rapat evaluasi perkembangan bantuan hukum di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data yang diberikan oleh pihak BPHN dan Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta ternyata sungguh sangat mencengangkan, hanya ada 5 OBH yang melaporkan tentang kegiatan bantuan hukum dan reimbursenya sampai dengan akhir Oktober.
Menjelang penghujung bulan Oktober 2014 yang lalu, sejumlah 45 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang telah diakreditasi dan diverifikasi diundang untuk menghadiri rapat evaluasi perkembangan bantuan hukum di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data yang diberikan oleh pihak BPHN dan Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta ternyata sungguh sangat mencengangkan, hanya ada 5 OBH yang melaporkan tentang kegiatan bantuan hukum dan reimbursenya sampai dengan akhir Oktober.
Ini artinya menjelang satu bulan sebelum tutup masa kontrak, terdapat 40 OBH yang tidak melakukan penagihan reimburse
dana bantuan hukum kepada negara, sudah bisa dibayangkan kembali
gambaran kegagalan penyerapan anggaran di tahun 2014 ini akan terulang
kembali. Lantas apa sebenarnya yang membuat kegagalan penyerapan
anggaran ini terulang kembali?
Dari pengalaman penulis sendiri, persoalan utama ternyata terletak pada
birokrasi pemerintah yang sangat berbelit dan kegagalan pihak
penyelenggara dalam hal ini Kementerian Hukum dan Ham cq BPHN dalam
menggandeng maupun melakukan sosialisasi atas peraturan yang berbeda di
dalam rezim Kementerian Keuangan dan rezim Kementerian Hukum dan HAM.
Dua rezim yang bebeda ini memiliki regulasi yang berbeda pula sehingga
laporan pengelolaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh OBH dan
diserahkan ke BPHN untuk kemudian dilakukan reimburse melalui
Kementerian Keuangan sebagai kasir negara, seringkali ditolak oleh pihak
Kementerian Keuangan dengan alasan-alasan yang tidak disosialisasikan
sejak awal kepada OBH, sehingga tentu saja ini menimbulkan kegeraman di
antara OBH, setidaknya itulah gambaran pertemuan 45 OBH se-DKI Jakarta
dengan pihak Kanwil Kemenkumham dan BPHN pada akhir Oktober yang lalu.
Dalam pelaporan perkara litigasi misalnya, sudah diatur oleh Pasal 15 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP No. 42/2013), yang berbunyi:
“pemberian bantuan hukum secara litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan dengan cara:
- Pendampingan dan atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan;
- Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau
- Pendampingan dan/atau menjalankan nkuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan tata Usaha Negara.”
Kemudian di BAB II Standar Bantuan Hukum Litigasi Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 22 tahun 2013 ttg
Peraturan Pelaksana PP No. 42/2013 (Permenham No. 22/2013), disebutkan
bahwa:
1) Penerima Bantuan Hukum dalam perkara pidana terdiri atas:
a. Tersangka; dan/atau
b. Terdakwa.
2) Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan Bantuan Hukum untuk perkara pidana dimulai dari tahapan;
a. Penyidikan;
b. Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan/atau
c. Upaya hukum.
a. Tersangka; dan/atau
b. Terdakwa.
2) Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan Bantuan Hukum untuk perkara pidana dimulai dari tahapan;
a. Penyidikan;
b. Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan/atau
c. Upaya hukum.
Aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa perkara yang masih
berada pada tingkat penyidikan dan penuntutan sudah dapat dikatakan
sebagai sebuah perkara litigasi. Namun, anehnya pihak BPHN sendiri
menolak laporan perkara litigasi yang dilaporkan apabila perkara
tersebut belum sampai di persidangan dan memiliki nomor persidangan,
kilah BPHN ialah bahwa Kementerian Keuangan hanya akan mencairkan dana
yang telah memiiki nomor register sidang.
Inilah yang menjadi salah satu hambatan, ketentuan dari Kementerian
Keuangan tersebut tidak pernah disosialisasikan kepada para OBH, apalagi
jika ketentuan tersebut sendiri bertentangan dengan ketentuan yang
telah dibuat oleh Pemerintah serta Kementrian Hukum dan HAM melalui
Pasal 15 PP No 42/2013 jo. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Permenkumham
No. 22/2013, tidak ada adanya harmonisasi dari ketentuan-ketentuan yang bertentangan tersebut merugikan kepentingan para stakeholder yang terkait dengan hal ini.
Apalagi Jika memakai logika berpikir seperti demikian maka akan sangat
berbahaya dan semakin kontraproduktif dengan metode pendekatan dan
penyelesaian masalah yang seirama dengan kultur budaya lokal kita
sendiri, mental pemberian bantuan hukum seakan diarahkan untuk selalu
menyelesaikan perkara lewat jalur persidangan.
Pertanyaannya sekarang, apakah semua perkara yang memasuki proses
penyidikan wajib untuk digulirkan terus sampai dengan proses
persidangan? Terlalu banyak contoh-contoh kasus kecil yang dialami
rakyat miskin yang menyeret mereka tersebut sampai di meja hijau.
Contohnya, kasus nenek Rasmiah atau kasus nenek Minah yang diadili
karena 2 biji kakao.
Kasus-kasus seperti inilah yang sebenarnya tidak perlu sampai diajukan
ke depan persidangan, para pembela bisa melakukan tindakan hukum di
tahap penyidikan untuk menyelesaikan perkara ini baik melalui pendekatan
restorative justice atau lainnya. Semangat inilah yang akan
mendegradasi pola berpikir kita dalam memberikan bantuan hukum, apalagi
pola penanganan perkara secara konvensional yang legalistik harus
diselesaikan di muka sidang akan tidak sejalan dengan semangat diversi
di dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang baru.
Bertolak sekali dengan ketentuan tidak tertulis BPHN (atau lebih tepat dikatakan –ketentuan Kementerian Keuangan yang tidak pernah disosialisasikan) yang menolak laporan litigasi jika belum memiliki nomor register persidangan. Jika ini diterapkan kembali maka semangat restorative justice
yang mulai muncul terutama dalam perkara anak melalui UU SPPA lewat
diversi, atau sebuah SP3 tidak akan bisa dihitung sebagai sebuah perkara
yang dapat dilaporkan ke BPHN. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh
kepada kinerja akreditasi OBH yang bersangkutan, sebagai catatan, semua
OBH wajib memenuhi kuota perkara sebanyak 60 perkara untuk akreditasi A,
30 perkara untuk akreditasi B & 15 perkara untuk akreditasi C.
Pengelolaan Tidak Transparan
Selain itu, mekanisme pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel pun harus disorot dalam kinerja penyaluran dana bantuan hukum ini, misal contoh laporan yang telah diajukan kepada BPHN dengan dilengkapi dengan dokumen-dokumen asli periode tahun 2013 yang lalu. Dokumen-dokumen asli plus kwitansi yang telah ditandatangani oleh OBH tersebut tidak semuanya disetujui untuk dicairkan oleh BPHN.
Selain itu, mekanisme pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel pun harus disorot dalam kinerja penyaluran dana bantuan hukum ini, misal contoh laporan yang telah diajukan kepada BPHN dengan dilengkapi dengan dokumen-dokumen asli periode tahun 2013 yang lalu. Dokumen-dokumen asli plus kwitansi yang telah ditandatangani oleh OBH tersebut tidak semuanya disetujui untuk dicairkan oleh BPHN.
Kita semua tentunya setuju bahwa laporan yang tidak memenuhi persyaratan reimburse
tentu tidak akan dicairkan dananya, namun tidak ada keterbukaan
mengenai laporan mana yang ditolak dan apa alasan penolakannya yang
menjadi pangkal persoalan di sini. Ini menjadi titik masuk potensi
penyalahgunaan anggaran negara karena laporan yang dimasukan oleh OBH
semuanya telah diberi kwitansi yang ditandatangani pengeluarannya.
Tentu saja harus disampaikan alasan penolakan yang dimaksud dan
dokumen-dokumen asli tersebut wajib untuk dikembalikan untuk menghindari
potensi-potensi buruk tadi. Sayangnya selama ini tidak pernah ada
keterbukaan seperti ini, jangka waktu penyampaian jawaban dari pihak
pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dan ayat
(5) Permenkumham No. 22/2013 pun tidak dilaksanakan :
“4) kepala kantor wilayah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan dan
dokumen yang diisyaratkan secara lengkap, wajib memberikan jawaban atas
hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pemberi
bantuan hukum.
5). Kepala kantor wilayah menyampaikan permintaan pencairan anggaran kepada Menteri melalui kepala badan pembinaan hukum nasional dengan tembusan kepada pemberi bantuan hukum berdasarkan jawab hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal penyampaian jawaban atas hasil pemeriksaan.”
5). Kepala kantor wilayah menyampaikan permintaan pencairan anggaran kepada Menteri melalui kepala badan pembinaan hukum nasional dengan tembusan kepada pemberi bantuan hukum berdasarkan jawab hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal penyampaian jawaban atas hasil pemeriksaan.”
Laporan tahun 2013 yang lalu pun tidak ada pertanggungjawabannya kepada
OBH mengenai laporan yang ditolak dan alasan penolakannya tersebut.
Makanya, dalam rapat evaluasi bersama bulan Oktober 2014 yang lalu, ada
OBH yang menggambarkan bahwa dana BPHN ini bagaikan dana siluman, tidak
ada yang tahu pertanggungjawabannya.
Gambaran kegeraman itu pun semakin bertambah ketika diadakan pertemuan
bersama OBH se-DKI di Kanwil pada akhir Oktober 2014 tersebut, pihak
BPHN malah kembali memperkenalkan suatu mekanisme baru bernama SID
(Sistem Informasi database) bantuan hukum, dalam hal ini setiap OBH yang
hendak melaporkan kegiatan bantuan hukumnya ke BPHN diwajibkan untuk
mengisi aplikasi ini dengan data-data yang akan dilaporkan.
Kebijakan yang baru disosialisasikan dengan tenggang waktu hanya satu
bulan menjelang tutup kontrak ini tentu saja mendapat resistensi dari
para OBH yang ada. Bisa dibayangkan betapa repotnya kembali OBH yang
sebelumnya telah dirumitkan dengan mekanisme yang tidak jelas dari BPHN
kini malah diwajibkan kembali untuk melaksanakan kebijakan yang telat
sosialisasi ini.
Bayangkan hanya jangka waktu satu bulan yang diberikan oleh pihak BPHN
kepada OBH untuk mengisi laporan-laporan mereka melalui sistem SID ini,
jika tidak disertakan dengan SID maka laporan dari OBH terancam ditolak.
Apabila hal ini yang tetap dipertahankan maka tentu saja pihak BPHN
telah melanggar kontrak perjanjian bantuan hukum yang telah ditanda
tangani bersama, sebab tidak ada satu klausul pun di perjanjian maupun
di PP No. 42/2013 serta Permenkumham No. 22/2013 yang mewajibkan adanya
laporan dengan menggunakan SID tersebut. Di sisi ini, potensi BPHN
sebagai pihak yang menutup kontrak dalam menuai gugatan hukum pun
menjadi terbuka lebar.
Perlunya Harmonisasi
Kinerja yang tidak maksimal ini tidak boleh terus berulang dari tahun ke tahun, realitas kinerja dan pelaksanaan program bantuan hukum tahun 2013 dan 2014 ini seharusnya sudah menjadi cambuk bagi pihak BPHN sebagai penyelenggara. Regulasi yang tersebar dan berbeda antara rezim Kementerian keuangan dan Kemenkumham perlu disinkronisasi agar bukan ego sektoral Kementerian lagi yang harus ditonjolkan.
Kinerja yang tidak maksimal ini tidak boleh terus berulang dari tahun ke tahun, realitas kinerja dan pelaksanaan program bantuan hukum tahun 2013 dan 2014 ini seharusnya sudah menjadi cambuk bagi pihak BPHN sebagai penyelenggara. Regulasi yang tersebar dan berbeda antara rezim Kementerian keuangan dan Kemenkumham perlu disinkronisasi agar bukan ego sektoral Kementerian lagi yang harus ditonjolkan.
Program sosialisasi kepada para stakeholders harus dilakukan
menyeluruh kepada OBH, juga kepada instansi penegak hukum lainnya yang
dirasakan masih sulit mematuhi ketentuan UU Bankum. Jangan dilupakan
juga pihak kelurahan sebagai jalan masuk penentu formalitas yang selama
ini tampaknya masih sulit mengeluarkan SKTM bagi para pencari keadilan
walaupun sudah diperintah berdasarkan Pasal 8 ayat (2) serta Pasal 9
ayat (2) PP No. 42/2013.
Ibarat bayi yang baru dilahirkan, program dan birokrasi bantuan hukum
ini memang masih merangkak untuk menemukan pola pengasuhan yang benar.
Oleh karena itu, khususnya bagi pihak penyelenggara sebagai yang
melahirkan program ini tidak boleh langsung lepas tangan dan hanya
membuat regulasi yang sulit untuk diaplikasikan oleh para OBH ini. Tanpa
adanya “pengasuh” yang selalu mengawasi perkembangan program ini maka
dapat dipastikan program ini tidak akan bisa berkembang sesuai dengan
yang dicita-citakan secara ideal
Diperlukan pengawasan yang lebih kuat dan teratur agar renggang
pemahaman dan resistensi para OBH kepada penyelenggara dapat dikurangi.
Ketentuan Pasal 36 PP 42/2013 tentang panitia pengawas daerah selama ini
sangat tidak terasa pengaruhnya, persoalan telatnya sosialisasi
beberapa ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh BPHN kepada para OBH
menjadi indikasi bahwa memang fungsi ini tidak berjalan secara baik.
Contohnya di wilayah DKI Jakarta yang terdapat 45 OBH, bisa dipikirkan
mungkin bagaimana untuk mengawasi dan mengontrol kinerja OBH ini dengan
menempatkan 1 orang SDM sebagai pengawas 5 OBH misalnya. Artinya tugas
dari pengawas ini yang akan tetap berkoordinasi dengan OBH yang diawasi
setiap bulannya untuk mensosialisasikan regulasi serta fungsi koreksi
dari program bantuan hukum tersebut. Jika memang hal ini bisa dilakukan
dengan efektif masalah-masalah yang muncul pastinya dapat dijembatani
dengan baik, renggang pemahaman menjadi semakin kecil, keikutsertaan OBH
dalam evaluasi semakin terasa dan pada akhirnya daya serap anggaran
bantuan hukum meningkat.
Dengan demikian tidak lagi menjadi simalakama bagi BPHN sebagai
penyelenggara, OBH sebagai Pemberi dan masyarakat miskin sebagai
penerima bantuan hukum, sehingga pada intinya jangan sampai program
bantuan hukum ini menjadi bantuan hukum yang salah urus. (www.hukumonline.com)
*Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar