Minggu, 31 Juli 2016

Bantuan Hukum Bagi Anak Masih Terabaikan


Persoalan anak tidak pernah penat mewarnai berbagai pemberitaan media. Belum selesai tentang kekerasan seksual, masyarakat digegarkan dengan hal ihwal vaksin palsu. Kekhawatirannya satu. Sama-sama risau jika tumbuh kembang anak dan masa depan anak terganggu. Kegelisahan publik terwakilkan dengan ungkapan yang disampaikan John F Kennedy pada pidatonya di Perserikatan Bangsa-bangsa “anak-anak adalah sumber daya dunia yang paling bernilai, dan mereka harapan terbaik untuk masa depan.
Sayangnya, belum semua orang berpikir demikian.

Sepanjang semester pertama di tahun 2016, LBH Jakarta menangani 6 kasus Anak Berhadapan dengan Hukum. Keseluruhan kasus yang datang memiliki keluhan yang sama: anak mengalami masalah hukum dan proses telah berjalan tanpa pendampingan hukum. Tidak jarang kasusnya telah dilimpahkan ke pengadilan dan akan segera menjalani sidang, para pengadu baru datang ke LBH Jakarta. Saat ditanya, “apakah pernah ditawarkan bantuan hukum oleh penyidik?” Mereka umumnya menjawab, “tidak.”
Padahal, Anak Berhadapan dengan Hukum tak lain adalah anak pula. Ia berhak untuk dikasihi, untuk mengenyam pendidikan, untuk bermain, termasuk perlindungan dalam peradilan. Salah satu yang tidak kalah penting yaitu hak untuk bantuan hukum. Jika menengok Konvensi Hak Anak yang telah disahkan negara-negara pada tahun 1989, anak berhak didampingi oleh penasihat hukum dalam pembelaannya. Ketentuan ini telah diamini juga oleh Indonesia.
Bahkan lebih lanjut pemerintah telah mengesahkan UU tentang Perlindungan Anak [1] serta UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak [2] yang mewajibkan pemberian bantuan hukum pada Anak Berhadapan dengan Hukum. Apabila diproses tanpa memberitahukan haknya atas bantuan hukum, bahkan proses tersebut dianggap batal demi hukum—proses tersebut dianggap tidak pernah ada. Mestinya anak bebas atau setidaknya proses harus diulang dengan cara yang semestinya.
Dari kasus-kasus yang ditangani LBH Jakarta kecenderungan anak yang berhadapan dengan hukum tidak ditawarkan bantuan hukum bahkan sejak proses awal penangkapan, termasuk juga dalam proses penahanan apalagi pemeriksaan. Di lain kesempatan, seorang anak tidak ditawarkan hak atas bantuan hukum, namun dipaksa menandatangani surat yang menyatakan dirinya tidak ingin didampingi. Si anak dan keluarga tidak berdaya untuk menolak, sehingga mau tidak mau ikut saja. Tidak hanya itu, seringkali anak diperiksa tanpa penasihat hukum juga tanpa orang tua. Orang tua diminta menandatangani Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh Penyidik setelah proses BAP selesai.
Usai pemeriksaan, sang anak barulah menyampaikan pada orang tuanya bahwa ia dipukul selama diperiksa. Malahan, ada anak yang dipukul pakai palu hingga kakinya berdarah dan terluka. Ia merasa tidak berdaya. Setelah kejadian-kejadian itulah orang tua menganggap perlu mencari bantuan dan terpikir untuk ke lembaga bantuan hukum. Tak ayal hampir seluruh kasus anak yang datang ke LBH Jakarta sudah melewati proses-proses tersebut. LBH Jakarta menjadi seperti menjadi seperti pemadam api yang sudah terlanjur membakar.
Tidak hanya potensi penyiksaan, tanpa bantuan hukum anak dan keluarga pun menjadi kesulitan memahami hak-haknya. Berhadapan dengan penegak hukum tanpa pemahaman hukum tentunya membuat anak dan keluarga menjadi tidak berdaya dan cenderung mengikuti arahan aparat penegak hukum yang tidak jarang berbelok dari fakta yang sebenarnya. Praktik-praktik mengintimidasi anak untuk memberikan keterangan atau mengikuti arahan demi janji “agar cepat selesai” pun akhirnya diikuti oleh orang tua dan anak. Wajar saja, orang tua mana yang ingin anaknya berlama-lama mengalami penderitaan?
Fenomena absennya bantuan hukum terhadap anak menunjukkan belum mawasnya aparat penegak hukum terhadap tumbuh kembang anak dan masa depan anak. Aparat harus melihat anak bukan semata-mata pelaku kejahatan namun juga korban sistem perlindungan yang belum dijalankan dengan semestinya, yang sejalan dengan prinsip Keadilan Restoratif. Anak yang berhadapan dengan hukum pun tidak beda dengan anak lainnya yang membutuhkan perlindungan. Bukan untuk menghindar dari jerat hukum, tetapi untuk belajar menjadi lebih baik demi masa depan anak yang cerah.
Proses peradilan yang tidak adil bagi anak tentunya dapat memberikan trauma dan berdampak buruk bagi masa depan anak. Tentunya kita tidak ingin itu terjadi. Oleh karenanya LBH Jakarta mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memahami hak anak termasuk jika berhadapan dengan hukum. Selain itu, LBH Jakarta juga mendorong aparat penegak hukum untukmengindahkan aturan demi kepentingan terbaik anak. Jika ini masih terjadi, anak bukannya menjadi harapan, anak malah menjadi beban. Untuk itu, mari berjuang demi hak anak yang lebih adil karena anak adalah aset dan masa depan bangsa ini.
Ayo pahami dan berikan hak anak untuk memperolah Bantuan Hukum.
Selamat Hari Anak Nasional 2016!
Jakarta, 22 Juli 2016
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
Bunga Siagian (08567028934 / 085210544512)
Arif Maulana (0817256167)

  1. Pasal 17 dan Pasal 64 UU Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
  2. Pasal 23 dan Pasal 40 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar