Banyak
orang merasa berat saat dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, lalu
banding dan kasasi. Dengan asa hukuman semakin ringan.
====================
Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak permohonan kasasi dan
memperberat hukuman mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih dari
enam tahun penjara menjadi 12 tahun penjara. Sebuah keputusan yang tidak diduga
sebelumnya oleh Rina Iriani. Saat mengajukan kasasi Mei lalu, ia berharap MA
memberikan keputusan seadil-adilnya bagi dirinya.
"Salah satu pertimbangan MA menggandakan hukuman
tersebut karena bupati bukan saja tidak menjadi pengayom, pelindung dan panutan
bagi rakyat, tetapi justru telah mengorbankan kepentingan rakyatnya untuk
ambisi politik dan kepentingan pribadi," kata Krisna Harahap, anggota
majelis hakim dalam sidang kasasi perkara tersebut, di Jakarta, Selasa (13/10).
Selain menambah hukuman penjara, Mahkamah Agung juga mengharuskan
Rina Iriani membayar denda Rp1 miliar dan mewajibkan ia membayar uang pengganti
kerugian keuangan negara Rp11.875.843.600.
Majelis hakim yang beranggotakan hakim Artidjo Alkostar,
Krisna Harahap dan MS Lumme itu memutuskan pula mencabut hak politik Bupati
Karanganyar periode 2003-2008 itu untuk dipilih sebagai pejabat umum.
Di tingkat banding, Rina Iriani tetap dihukum enam tahun
penjara, sama dengan hukuman yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama
dalam perkara penyalah-gunaan anggaran subdisi perumahan dari Kementerian
Perumahan Rakyat tahun anggaran 2007-2008 untuk proyek Perumahan Griya Lawu
Asri di Dukuh Jeruk Sawit, Gondang Rejo, Kabupaten Karanganyar. Proyek tersebut bermasalah karena merugikan negara
hingga Rp18 miliar.
Dalam persidangan Mei 2015 lalu, Hakim di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Semarang menyatakan Rina terbukti melanggar undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang tentang tindak
pidana pencucian uang.
Dalam putusan
banding, Rina tetap dihukum enam tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti
bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang dari proyek perumahan Griya Lawu
Asri (GLA) Karanganyar tahun 2007. Uang korupsi sebagian digunakan untuk
kepentingan Rina dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2008. Dia terpilih lagi
sebagai bupati waktu itu.
Hakim banding
yang diketuai Putu Widnya menyatakan, dalam putusannya telah menganalisa semua
fakta hukum dan memberi penilaian terhadap seluruh alat bukti yang ada. Majelis
hakim sepakat dengan hakim Pengadilan Tipikor dengan pertimbangan 'judex facti'
tingkat pertama dalam putusannya.
Selain pidana
fisik, Rina dibebani denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan dan uang
pengganti kerugian negara sebesar Rp7.8703.491.200 atau tiga tahun penjara.
Kuasa hukum
mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, Rina Iriani, langsung menyatakan mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Sudah kami nyatakan kasasi. Memori kasasi
saat ini masih disusun," kata kuasa hukum Rina, Slamet Yuwono, akhir Mei
lalu.
Slamet menilai
pertimbangan hakim dalam proses banding tidak sesuai harapannya. Hakim di
pengadilan tinggi hanya menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Meski
demikian, dia tak mau menjelaskan kekeliruan pertimbangan hakim. "Pernyataan
kasasi langsung kami sampaikan melalui Pengadilan Tipikor Semarang,"
tambahnya.
Sementara pihak
Jaksa Penuntut Umum juga mengajukan kasasi. Jaksa tak puas dengan hukuman yang
diterima Rina terkait kasus korupsi dana perumahan rakyat serta kasus pencucian
uangnya. Kasasi dari jaksa bahkan telah dilayangkan pada 11 Mei 2015. "Jaksanya
sudah kasasi," kata Panitera Muda Tindak Pidana Korupsi Semarang, Heru
Sungkowo, saat itu.
Di tangan hakim
Artidjo Alkostar dan kawan-kawan, putusan kasasi justru semakin memberrat
hukuman yang mesti dijalani Rina Iriani. Mantan guru SD ini harus menerima
hukuman 12 tahun penjara.
Menanggapi
putusan kasasi tersebut, Kuasa Hukum Rina Iriani Sri Ratnaningsih, Muhammad
Taufiq, akan mengusulkan kliennya mengajukan peninjauan kembali (PK). Dia menilai
keputusan MA tidak mempertimbangkan hati nurani. Bahkan secara tidak langsung,
dia melihat ada nuansa balas dendam.
“Itu pertimbangan kaca mata kuda. Hukum modern itu kaca mata manusia.
Manusia punya hati nurani. Teori hukum modern tidak didasarkan pada balas
dendam,” jelas dia.
Taufiq mengatakan
akan berkonsultasi dengan kliennya saat ditanya langkah selanjutnya. Dia
menyiratkan maksud mengusulkan PK. “Konsultasi dulu. Dengan putusan itu saya
yakin klien Insya Allah setuju PK karena memang tidak ada bukti formal Bu Rina
terlibat. Korupsi itu delik formal. Mekaten,” tutur dia.
Rina tersangkut
kasus penyalahgunaan anggaran subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan
Rakyat tahun anggaran 2007-2008. Proyek Perumahan Griya Lawu Asri di
Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar. Proyek ini bermasalah karena dinilai
merugikan negara sekitar Rp18 miliar.
Rina Iriani
ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2013 karena diduga ikut menikmati hasil
korupsi Rp11 miliar. Dia dituduh menggunakan uang hasil korupsi untuk berbagai
keperluan, termasuk biaya kampanye saat mencalonkan diri sebagai inkumben di
Karanganyar. (*)
Boks:
GLA pun Sepi
Penghuni
Griya Lawu Asri
atau GLA! Proyek perumahan ini semula dikonsepkan dengan idealisme tinggi,
yakni menyediakan sarana rumah murah untuk rakyat. Pembangunannya mendapatkan
subsidi dari pemerintah pusat sehingga rakyat bisa mengakses dengan harga
murah. Gelontoran uang miliaran rupiah ternyata menyilaukan mata para
pengelolanya. Uang disunat, dan GLA pun kini sepi, nyaris tak berpenghuni.
Perumahan GLA
yang berlokasi di Plosokerep, Desa Jeruksawit, Kecamatan Gondangrejo,
Karanganyar, kini bagai kompleks tak berpenghuni. Sebagian jalan menuju
perumahan rusak, sebagian berlubang, sebagian lain aspalnya mengelupas.
Sementara itu rumput liar, atau tanaman perdu lain, berlomba tumbuh di mana
mereka suka. Ada yang tumbuh di tanah terbuka seadanya, bahkan ada yang “nekat”
merambat di dinding-dinding rumah tak bertuan.
Sejumlah bangunan
kondisinya tak utuh dengan sebagaian ada tembok retak, jebol atau bahkan
runtuh. Kondisi rumah yang belum diplester alias masih menampakkan dinding
batako, membuat-rumah-rumah itu gampang rusak.
Infrastruktur
yang buruk ditambah kemacetan pembangunan beberapa rumah dan banyaknya rumah
yang rusak, diduga menjadi penyebab pemilik enggan menempati rumah mereka. Pada
akhirnya rumah yang sudah dibeli dibiarkan begitu saja, tidak terawat. Jadilah
GLA nyaris tak berpenghuni.
Catatan Joglosemar,
beberapa waktu lalu, di sektor tiga Perumahan GLA, tampak beberapa tukang
bangunan tengah merenovasi sejumlah rumah yang kondisinya telah rusak. Dinding
yang mulai rapuh serta atap yang sudah jebol diperbaiki. “Ini yang kita
kerjakan saat ini masih di sektor tiga. Untuk yang lain sementara belum,” kata
salah satu tukang bangunan, Tio (40).
Tio melanjutkan,
untuk sektor tiga ini ada sekitar 200 rumah. Kondisinya rata-rata tidak terawat
setelah proyek pembangunan perumahan ini sempat berhenti sekitar empat tahun.
“Kalau tidak salah sudah berhenti sekitar empat tahun. Ya ini kondisinya masih
sepi penghuni. Di sini cuma ada beberapa orang,” lanjutnya.
Salah satu
penghuni GLA, Yono (40), menuturkan, sejak pertama dibangun kakaknya telah
membeli satu unit rumah di perumahan ini seharga sekitar Rp35 juta dengan
ukuran sedang. Namun sejak rumah itu dibeli hingga sekarang kakaknya masih
belum mau menempati secara penuh. Karena, kondisi perumahan yang begitu sepi
membuatnya tidak betah untuk tinggal di perumahan yang diresmikan oleh Presiden
(ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
“Karena terbiasa
tinggal di kampung yang ramai, jadi ya merasa tidak nyaman saja tinggal di
tempat yang sepi seperti ini,” tegas Yono yang sebelumnya tinggal di Jebres,
Solo.
Diungkapkan Yono,
kondisi bangunan rumahnya memang tidak terlalu baik. Dindingnya banyak yang
pecah serta banyak tumbuhan liar juga membuat kondisi rumahnya tampak tidak
terawat. “Kalau kondisi sebenarnya relatif ya. Tapi memang banyak dinding yang
sudah pecah. Ya kalau dilihat sekilas saja memang konstruksinya jelek kok,”
tukasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar