Minggu, 18 Oktober 2015

MA Perberat Hukuman Rina Iriani



Banyak orang merasa berat saat dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, lalu banding dan kasasi. Dengan asa hukuman semakin ringan.
====================

Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak permohonan kasasi dan memperberat hukuman mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih dari enam tahun penjara menjadi 12 tahun penjara. Sebuah keputusan yang tidak diduga sebelumnya oleh Rina Iriani. Saat mengajukan kasasi Mei lalu, ia berharap MA memberikan keputusan seadil-adilnya bagi dirinya.

"Salah satu pertimbangan MA menggandakan hukuman tersebut karena bupati bukan saja tidak menjadi pengayom, pelindung dan panutan bagi rakyat, tetapi justru telah mengorbankan kepentingan rakyatnya untuk ambisi politik dan kepentingan pribadi," kata Krisna Harahap, anggota majelis hakim dalam sidang kasasi perkara tersebut, di Jakarta, Selasa (13/10).

Selain menambah hukuman penjara, Mahkamah Agung juga mengharuskan Rina Iriani membayar denda Rp1 miliar dan mewajibkan ia membayar uang pengganti kerugian keuangan negara Rp11.875.843.600.

Majelis hakim yang beranggotakan hakim Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme itu memutuskan pula mencabut hak politik Bupati Karanganyar periode 2003-2008 itu untuk dipilih sebagai pejabat umum.

Di tingkat banding, Rina Iriani tetap dihukum enam tahun penjara, sama dengan hukuman yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama dalam perkara penyalah-gunaan anggaran subdisi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat tahun anggaran 2007-2008 untuk proyek Perumahan Griya Lawu Asri di Dukuh Jeruk Sawit, Gondang Rejo, Kabupaten Karanganyar. Proyek tersebut bermasalah karena merugikan negara hingga Rp18 miliar.

Dalam persidangan Mei 2015 lalu, Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang menyatakan Rina terbukti melanggar undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang.

Dalam putusan banding, Rina tetap dihukum enam tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang dari proyek perumahan Griya Lawu Asri (GLA) Karanganyar tahun 2007. Uang korupsi sebagian digunakan untuk kepentingan Rina dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2008. Dia terpilih lagi sebagai bupati waktu itu.

Hakim banding yang diketuai Putu Widnya menyatakan, dalam putusannya telah menganalisa semua fakta hukum dan memberi penilaian terhadap seluruh alat bukti yang ada. Majelis hakim sepakat dengan hakim Pengadilan Tipikor dengan pertimbangan 'judex facti' tingkat pertama dalam putusannya.

Selain pidana fisik, Rina dibebani denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan dan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp7.8703.491.200 atau tiga tahun penjara.

Kuasa hukum mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, Rina Iriani, langsung menyatakan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Sudah kami nyatakan kasasi. Memori kasasi saat ini masih disusun," kata kuasa hukum Rina, Slamet Yuwono, akhir Mei lalu.

Slamet menilai pertimbangan hakim dalam proses banding tidak sesuai harapannya. Hakim di pengadilan tinggi hanya menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Meski demikian, dia tak mau menjelaskan kekeliruan pertimbangan hakim. "Pernyataan kasasi langsung kami sampaikan melalui Pengadilan Tipikor Semarang," tambahnya.

Sementara pihak Jaksa Penuntut Umum juga mengajukan kasasi. Jaksa tak puas dengan hukuman yang diterima Rina terkait kasus korupsi dana perumahan rakyat serta kasus pencucian uangnya. Kasasi dari jaksa bahkan telah dilayangkan pada 11 Mei 2015. "Jaksanya sudah kasasi," kata Panitera Muda Tindak Pidana Korupsi Semarang, Heru Sungkowo, saat itu.

Di tangan hakim Artidjo Alkostar dan kawan-kawan, putusan kasasi justru semakin memberrat hukuman yang mesti dijalani Rina Iriani. Mantan guru SD ini harus menerima hukuman 12 tahun penjara.

Menanggapi putusan kasasi tersebut, Kuasa Hukum Rina Iriani Sri Ratnaningsih, Muhammad Taufiq, akan mengusulkan kliennya mengajukan peninjauan kembali (PK). Dia menilai keputusan MA tidak mempertimbangkan hati nurani. Bahkan secara tidak langsung, dia melihat ada nuansa balas dendam.  “Itu pertimbangan kaca mata kuda. Hukum modern itu kaca mata manusia. Manusia punya hati nurani. Teori hukum modern tidak didasarkan pada balas dendam,” jelas dia.

Taufiq mengatakan akan berkonsultasi dengan kliennya saat ditanya langkah selanjutnya. Dia menyiratkan maksud mengusulkan PK. “Konsultasi dulu. Dengan putusan itu saya yakin klien Insya Allah setuju PK karena memang tidak ada bukti formal Bu Rina terlibat. Korupsi itu delik formal. Mekaten,” tutur dia.

Rina tersangkut kasus penyalahgunaan anggaran subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat tahun anggaran 2007-2008. Proyek Perumahan Griya Lawu Asri di Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar. Proyek ini bermasalah karena dinilai merugikan negara sekitar Rp18 miliar.

Rina Iriani ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2013 karena diduga ikut menikmati hasil korupsi Rp11 miliar. Dia dituduh menggunakan uang hasil korupsi untuk berbagai keperluan, termasuk biaya kampanye saat mencalonkan diri sebagai inkumben di Karanganyar. (*)


Boks:
GLA pun Sepi Penghuni


Griya Lawu Asri atau GLA! Proyek perumahan ini semula dikonsepkan dengan idealisme tinggi, yakni menyediakan sarana rumah murah untuk rakyat. Pembangunannya mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat sehingga rakyat bisa mengakses dengan harga murah. Gelontoran uang miliaran rupiah ternyata menyilaukan mata para pengelolanya. Uang disunat, dan GLA pun kini sepi, nyaris tak berpenghuni.

Perumahan GLA yang berlokasi di Plosokerep, Desa Jeruksawit, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, kini bagai kompleks tak berpenghuni. Sebagian jalan menuju perumahan rusak, sebagian berlubang, sebagian lain aspalnya mengelupas. Sementara itu rumput liar, atau tanaman perdu lain, berlomba tumbuh di mana mereka suka. Ada yang tumbuh di tanah terbuka seadanya, bahkan ada yang “nekat” merambat di dinding-dinding rumah tak bertuan.

Sejumlah bangunan kondisinya tak utuh dengan sebagaian ada tembok retak, jebol atau bahkan runtuh. Kondisi rumah yang belum diplester alias masih menampakkan dinding batako, membuat-rumah-rumah itu gampang rusak.

Infrastruktur yang buruk ditambah kemacetan pembangunan beberapa rumah dan banyaknya rumah yang rusak, diduga menjadi penyebab pemilik enggan menempati rumah mereka. Pada akhirnya rumah yang sudah dibeli dibiarkan begitu saja, tidak terawat. Jadilah GLA nyaris tak berpenghuni.

Catatan Joglosemar, beberapa waktu lalu, di sektor tiga Perumahan GLA, tampak beberapa tukang bangunan tengah merenovasi sejumlah rumah yang kondisinya telah rusak. Dinding yang mulai rapuh serta atap yang sudah jebol diperbaiki. “Ini yang kita kerjakan saat ini masih di sektor tiga. Untuk yang lain sementara belum,” kata salah satu tukang bangunan, Tio (40).

Tio melanjutkan, untuk sektor tiga ini ada sekitar 200 rumah. Kondisinya rata-rata tidak terawat setelah proyek pembangunan perumahan ini sempat berhenti sekitar empat tahun. “Kalau tidak salah sudah berhenti sekitar empat tahun. Ya ini kondisinya masih sepi penghuni. Di sini cuma ada beberapa orang,” lanjutnya.

Salah satu penghuni GLA, Yono (40), menuturkan, sejak pertama dibangun kakaknya telah membeli satu unit rumah di perumahan ini seharga sekitar Rp35 juta dengan ukuran sedang. Namun sejak rumah itu dibeli hingga sekarang kakaknya masih belum mau menempati secara penuh. Karena, kondisi perumahan yang begitu sepi membuatnya tidak betah untuk tinggal di perumahan yang diresmikan oleh Presiden (ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

“Karena terbiasa tinggal di kampung yang ramai, jadi ya merasa tidak nyaman saja tinggal di tempat yang sepi seperti ini,” tegas Yono yang sebelumnya tinggal di Jebres, Solo.

Diungkapkan Yono, kondisi bangunan rumahnya memang tidak terlalu baik. Dindingnya banyak yang pecah serta banyak tumbuhan liar juga membuat kondisi rumahnya tampak tidak terawat. “Kalau kondisi sebenarnya relatif ya. Tapi memang banyak dinding yang sudah pecah. Ya kalau dilihat sekilas saja memang konstruksinya jelek kok,” tukasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar