Entah mana yang benar, pengakuan Yayasan
Supersemar ataukah penelusuran kejaksaan. Dan juru sita pengadilan lah yang
akan membuktikan kebenarannya.
===================
Setelah sempat tertunda dua kali, akhirnya sidang teguran (aanmaning)
eksekusi Yayasan Supersemar digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Rabu (20/1). Dalam siding itu pihak Yayasan Supersemar mengaku tidak memiliki
aset senilai Rp 4,4 triliun. Karena itu, pihak Supersemar mengaku tak dapat
membayarkan denda kepada negara sebagaimana hasil putusan Mahkamah Agung (MA).
"Uang yayasan tidak ada. Aset tidak ada apa-apanya, ya
mungkin kurang lebih lima persen saja dari jumlah denda," ujar kuasa hukum
Yayasan Supersemar Bambang Hartono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu
(20/1). Lima persen itu, yakni berupa sejumlah uang dan 20 persen saham Gedung
Granadi yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Lagi pula, kata Bambang, Yayasan Supersemar tidak pernah
menerima dana jutaan dollar AS dari bank milik pemerintah pada periode
1979-1998, sebagaimana yang dituduhkan. Yayasan, hanya menerima dana senilai Rp
309 miliar.
"Kan selama ini yayasan dianggap melanggar hukum karena
menerima uang dari delapan bank pemerintah. Totalnya disebut USD 420 juta. Tapi
bank pemerintah itu tidak pernah memberi uang dalam bentuk dollar. Dan saya
temukan bukti yayasan hanya menerima Rp 309 miliar," jelas Bambang. Sehingga,
yayasan berpendapat bahwa negara salah menaksir nilai denda. Yayasan juga
berpendapat, putusan pengadilan bermasalah.
"Oleh sebab itu kami sudah ajukan gugatan ke pengadilan
14 Januari 2016 lalu. Intinya kami tidak terima negara menetapkan denda yang
tidak sesuai dengan jumlah harta dan aset yang dimiliki yayasan," ujar
Bambang.
Pendek kata Yayasan Supersemar minta penundaan eksekusi.
Humas PN Jakarta Selatan, Made Sutrisna, mengatakan, pihak Supersemar
mengajukan permohonan penundaan eksekusi. Karena sedang melakukan gugatan balik
terhadap Kejaksaan Agung (Kejakgung) selaku kuasa hukum negara.
"Tentu ketua pengadilan sebagai pelaksana eksekusi akan
mempelajari apakah memang layak ditangguhkan atau bagaimana," ujar Made,
di PN Jakarta Selatan, Rabu (20/1).
Menurut Made, jika eksekusi dilakukan maka, hari Rabu (20/1)
itu semestinya sudah ada pembicaraan terkait ganti rugi yang harus dibayarkan
oleh Supersemar berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA).
Diam-diam Yayasan Supersemar menggugat Kejaksaan Agung dan
Presiden RI. Gugatan ini diajukan menjelang pelaksanaan putusan Mahkamah Agung
(MA) yang mengharuskan yayasan itu mengembalikan Rp 4,4 triliun kepada negara.
Atau menjelang sidang teguran eksekusi 23 Desember 2015. Dengan alas an
mengajukan gugatan itu, Yayasan Supersemar minta penundaan sidang teguran
ekskusi dna minta sidang digelar pada 6 Januari 2016. namun persidangan tanggal
6 Januari juga batal digelar dan Yayasan Supersemar minta persidangan tanggal
10 Februari 2016.
Pihak Pengadilan Jakarta Selatan tidak mengabulkan penundaan
sampai 10 Februari. Dan sidang teguran eksekusi Yayasan Supersemar akhirnya
digelar pada 20 Januari 2016.
Gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada 17 Desember lalu, atau sepekan sebelum sidang aanmaning untuk eksekusi putusan MA. Dalam situs
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan ini diregister dengan nomor perkara
783/PDT.G/2015/PN.JKT.SEL. Materi gugatan tentang perbuatan melawan hukum
dengan Tergugat I Kejaksaan Agung dan Presiden RI selaku Tergugat II.
Yayasan Supersemar menggugat Kejaksaan Agung dan Presiden RI
terkait pemblokiran rekening yayasan milik almarhum mantan Presiden Soeharto.
Gugatan tersebut menurut pengamat kejaksaan Kamilov Sagala harusnya jadi
perhatian serius.
“Bukan karena ingin membela yayasan tersebut. Wewenang
pemblokiran memang seharusnya berada di tangan pengadilan, yakni melalui juru
sita. Bukan wewenang kejaksaan melalui tim gabungan yang terdiri dari Jamdatun,
Jamintel dan Pusat Pemulihan Aset,” kata Kamilov di Jakarta seperti dilansir http://citraindonesia.com, Selasa (12/1).
Kamilov berpendapat, meskipun kejaksaan berhak melakukan
pemblokiran terhadap aset atau rekening terkait kasus yang ditanganinya, tapi
dalam kasus Supersemar ini bukan ranah Kejaksaan. (BN)
Boks:
Sekilas Perkara Supersemar
Yayasan Supersemar didirikan dekade 1970-an. Soeharto
mendirikan yayasan ini dengan tujuan mulia: membantu pendidikan siswa
berprestasi yang tak mampu.
Soeharto lalu mengeluarkanPeraturan Pemerintah (PP) Nomor 15
tahun 1976. Isinya mewajibkan kepada bank-bank pemerintah untuk menyetorkan 50
persen dari 5 persen laba bersihnya kepada Yayasan Supersemar.
Dari setoran bertahun-tahun, yayasan bisa mengumpulkan dana
ratusan miliar rupiah dan ratusan juta dolar Amerika. Belakangan, menurut
catatan http://www.rmol.co yang dilansir pada
28 Desember 2015, dana yayasan disalah-gunakan untuk kepentingan kroni-kroni
Soeharto.
Setelah Soeharto lengser, dana yang dikucurkan untuk kroni
Soeharto dipersoalkan. Upaya menyeret Soeharto ke pengadilan atas tuduhan
korupsi dana yayasan tak berhasil. Sebab, bekas penguasa Orde Baru dinyatakan
sakit permanen.
Belakangan, Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap Soeharto karena tak kunjung bisa dibawa
ke pengadilan lantaran sakit.
Kejaksaan Agung selaku pengacara negara lalu mencari jalan
lain untuk bisa mengembalikan dana yayasan yang sudah diselewengkan. Yakni,
dengan mengajukan gugatan perdata kepada Soeharto dan Yayasan Supersemar.
Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mengabulkan gugatan Kejagung. Dalam putusannya, PN Jaksel menghukum Yayasan
Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sebesar 105 juta dolar Amerika dan
Rp 46 miliar. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19
Februari 2009.
Yayasan lalu kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis kasasi
menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada negara yaitu 75 persen x 420 juta
dolar Amerika atau sama dengan 315 juta dolar Amerika dan 75 persen x Rp
185.918.048.904,75 atau sama dengan Rp 139.438.538.678,56.
Namun saat dilansir menjadi putusan, amar putusan kasasi itu
salah ketik. Panitera yang mencatat putusan majelis kasasi seharusnya menulis
kewajiban Yayasan Supersemar mengembalikan uang negara Rp 185.918.048.904,75,
tetapi tertulis Rp 185.918.904,75.
Preseden salah ketik itu membuat geger karena putusan tidak
dapat dieksekusi. Kegagalan eksekusi tersebut membuat jaksa mengajukan
peninjauan kembali (PK) pada September 2013.
Vonis PK yang diketuk pada 8 Juli 2015 menyatakan yayasan
harus mengembalikan dana kepada negara sebesar 315 juta dolar Amerika dan Rp
185 miliar.
Dalam putusan PK disebutkan Yayasan Supersemar mengucurkan
dana ke Bank Duta hingga mencapai 420
juta dolar Amerika pada 1990.
Lalu mengalir ke PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, PT Kiani
Lestari dan PT Kiani Sakti Rp 150 miliar. PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan
PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebanyak Rp 12,744 miliar, dan Kosgoro
sebesar Rp 10 miliar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar