Senin, 09 Maret 2015

Sahabatku Ternyata Pengacara Hitam

Bertemu sahabat lama, siapa sih yang tak senang? Begitu pun dirasakan Abinaya. Setelah 25 tahun berpisah dengan Wirawan, tak disangka mereka bertemu lagi. Tentu dengan penampilan yang masing-masing sudah jauh berbeda.
“Tapi sungguh aku tak pernah pangling dengan suara tawa ngakakmu. Tawa seorang anak yang seolah tak pernah kekurangan uang.” Begitu Wirawan mengawali pembicaraan saat bertemu Abinaya di sebuah restoran.
“Kamu bisa saja Wan. Kamu sendiri tampaknya sudah sukses sekarang. Terlihat dari penampilanmu. Baju dan sepatumu terlihat mahal harganya. Kemana-mana pasti membawa mobil. Rambut selalu tersisir rapi. Tubuhmu wangi pula. Hemmm, pasti banyak wanita tak menolak ajakanmu.” Abinaya menunjukkan kekagumannya sambil menggoda. Wirawan tampak senang mendengarnya.
“Hahaha…Abi..Abi. Sukses sih relatif karena yang lebih sukses pastinya lebih banyak. Soal mobil itu sih harganya tak mahal-mahal amat. By the way, sungguh aku senang bertemu dengan kamu. Aku sengaja mampir ke sini hanya ingin bertemu dirimu. Ingin nostalgia. Sumpah!”
Perjumpaan kembali Abinaya dan Wirawan bermula dari facebook. Abinaya sebenarnya sudah lama punya akun facebook, namun jarang ditengok. Begitupula dengan Wirawan, ia tak terlalu hobi dengan email dan facebook kecuali untuk kepentingan pekerjaan.
Begitulah kemudian mereka berkomunikasi. Dengan alasan, ada acara di Yogjakarta tak jauh tempat tinggal Abinaya, Wirawan pun mampir. Abinaya lalu menawari Wirawan untuk menginap. Karena di rumah itu tak ada orang lain, Wirawan menerima tawaran sahabatnya.
Sehari semalam mereka ngobrol ngalor-ngidul. Keduanya berteman sejak kecil, dan terpaksa harus berpisah di bangku SMP karena orangtua Wirawan pindah tugas. Dari obrolan itulah Wirawan jadi tahu, mengapa Abinaya hidup sendiri.
Sebenarnya Abinaya sudah punya dua anak yang semuanya ikut ibunya di Jakarta, persisnya di Tangerang. Istri Abinaya adalah wanita sukses dan kini kaya raya. Sayangnya, kesuksesan itu tak dibarengi kebahagiaan dalam rumah tangga. Sang istri menggugat cerai Abinaya dengan alasan sudah tak cocok lagi.
Abinaya mengakui bahwa banyak hal yang membuat mereka tidak cocok. Namun menurutnya, ketidakcocokan itu semua datang dari diri sang istri, bukan dirinya. Karena itu ia tak pernah mau mengabulkan gugatan cerai istrinya.
“Aku tak mau mengatakan bahwa kekayaan yang diperoleh istriku itu tidak berkah. Namun yang pasti, harta benda itu telah membuatnya silau. Lupa diri.” Abinaya berujar, seolah membuat kesimpulan.
“Beginilah nasib sahabatmu sekarang. Jadi sebatang kara justru di hari tuanya,” kata Abinaya lagi .
Wirawan tergugah dengan kasus yang dihadapi sahabatnya. Sebagai pengacara ia memberikan masukan yang tak pernah terpikirkan Abinaya. Katanya, dunia pengadilan yang kini sedang ditempuh istri Abinaya dalam mengajukan gugatan cerai, adalah dunia yang bisa dipermainkan.
“Apalagi, seperti katamu, istrimu punya banyak uang. Punya beking kuat pula.” Wirawan berkata sambil menatap lekat-lekat sahabatnya. Abinaya dibikin berpikir keras untuk mencerna ucapannya.
Lalu tatkala Wirawan menawarkan jasanya secara gratis, tak lama kemudian Abinaya menyetujuinya. Ia pun menyerahkan semua surat-surat yang diperlukan Wirawan dalam melawan gugatan sang istri.
“Sebagai sahabat, saya berjanji takkan membiarkan kamu merana. Percayalah!” ujar Wirawan menenangkan hati Abinaya.
***
Dalam kesendiriannya, Abinaya kadang-kadang bertanya kepada diri sendiri, apa kesalahannya sehingga harus menghadapi kenyataan pahit seperti sekarang? Ada penyesalan dalam hati, namun tak banyak membantu karena semuanya telah menjadi kenyataan. Nasi telah menjadi bubur.
Kala memutuskan menjadikan Daryanti sebagai istrinya, Abinaya hanya melihat bahwa wanita itu cantik. Dukungan kedua orangtua mereka yang sudah sama-sama saling mengenal menjadi pertimbangan lain.
Sekitar sepuluh tahun Abinaya menjalani profesi sebagai anak buah kapal (ABK). Istri dan kedua anaknya selalu setia menantinya. Kala itu penghasilannya jauh lebih besar dari Daryanti yang bekerja sebagai karyawan honorer di instasi pemerintah.
Saat krisis moneter melanda negeri ini, perusahaan kapal dimana Abinaya bekerja bangkrut. Ia pun pulang. Pesangon yang cukup besar segera habis dibelikan tanah dan merenovasi rumah.
Saat menganggur, justru penghasilan istrinya melejit. Kebetulan Daryanti ditempatkan di bagian keuangan, posisi basah di instansi tersebut. Sejak itu penghasilannya berlipat-lipat.
Abinaya sempat mengingatkan soal kemungkinan uang korupsi yang diterima sang istri. Namun sang istri justru marah dan menunjuk posisi Abinaya yang tak lagi berpenghasilan. Pertengkaran demi pertengkaran pun tak terhindarkan.
Sebenarnya, Abinaya tak terlalu menganggur amat. Ia pernah membuka bengkel sepeda motor, namun penghasilannya tentu tak sebesar menjadi ABK. Sedang sang istri sempat mengungkit profesi barunya dan mengaku malu punya suami seorang tukang bengkel.
Lalu dengan berbagai alasan, istrinya jadi kerap kerja lembur, pulang larut malam, bahkan tak pulang hingga beberapa hari.
Tatkala selentingan kabar muncul bahwa istrinya selingkuh dengan atasan di kantornya, hati Abinaya langsung panas. Diam-diam ia melakukan penyelidikan untuk memverifikasi isu itu. Hasilnya Abinaya makin yakin tentang apa yang telah dibuat sang istri.
Namun Daryanti bersikeras membantahnya. Pertengkaran hebat tak terhindarkan. Sang istri lalu minta cerai. Abinaya tak mau mengabulkannya. Ia tak rela anaknya kelak punya ayah tiri.
Permintaan cerai sang istri tadinya diduga hanya sementara karena mereka sedang bertengkar. Ternyata dugaannya salah. Sebab tiba-tiba istrinya muncul membawa seorang pengacara. Mereka menunjukkan konsep surat cerai dan meminta Abinaya menandatanganinya.
Dalam kemarahan yang tiada tara, Abinaya bersumpah tak akan pernah mau menandatangani gugatan cerai itu. “Bahkan sampai mati pun aku tak akan pernah menceraikan kamu!”
Sejak itu Abinaya memilih pulang kampung untuk mengolah tanah warisan orangtuanya. Secara periodik ia tetap menjenguk kedua anaknya.
Ingin rasanya ia membawa pulang kedua buah hatinya. Tapi ia ragu, keinginan itu sebagai jalan keluar yang baik. Ia tak yakin pendidikan di desa lebih baik daripada pendidikan di sekolah anaknya sekarang. Ia juga tak mau keputusannya memboyong anak justru menjadi bumerang sehingga sang istri punya alasan minta cerai.
***
Gugatan cerai Daryanti terhadap dirinya kini bergulir di meja pengadilan. Pada surat panggilan sidang pertama, Abinaya tak meresponnya. Saat itu ia yakin tak ada alasan hakim akan mengabulkan gugatan itu tanpa kehadirannya.
Kedatangan Wirawan telah merusak keyakinannya bahwa ketidakhadirannya di pengadilan justru memperkuat alasan hakim untuk mengabulkan gugatan cerai istrinya.

Wirawan sendiri seolah sudah tahu keinginan Abinaya. Ia memberikan beberapa opsi. Pertama mementahkan gugatan cerai istrinya. Kedua, jika pun gugatan cerai itu dikabulkan, hak pengasuhan anak jatuh ke tangan Abinaya. Yang tak dinginkan Abinaya adalah istrinya memenangkan gugatan cerai, sekaligus hak mengasuh anak.
Dalam beberapa kali sidang, Abinaya tetap tak pernah mau hadir. Wirawan mendukungnya. “Wong sudah ada pengacara, ngapain repot-repot.” Kalimat itu menambah keyakinan Abinaya bahwa Wirawan tak main-main.
Usai sidang, Wirawan selalu menelepon dan memberikan laporan kepada Abinaya. Katanya, posisi mereka berada di atas angin. Dua pekan lagi vonis hakim akan dijatuhkan. Wirawan optimis Abinaya akan keluar sebagai pemenang.
Namun setelah dua pekan berlalu, tak ada lagi kabar dari Wirawan. Padahal Abinaya ingin mendengar bahwa optimis yang pernah diucapkan sahabatnya itu menjadi kenyataan.
Ia beberapa kali berusaha mengubungi nomor telepon Wirawan, tapi tidak ada respon. Pesan singkat yang telah beberapa kali dikirim juga tak nyambung. Begitupun dengan alamat facebooknya, Wirawan seolah tak lagi menyentuhnya karena pesan Abinaya via inbox tak pernah dibalas.
Dalam kebingungan, seorang tukang pos datang mengantarkan surat untuknya. Katanya surat dari pengadilan di Tangerang. Begitu dibaca isinya, Abinaya terkejut bukan main. Surat itu ternyata berisi putusan pengadilan bahwa ia mengabulkan gugatan Daryanti, istrinya.
Yang membuat Abinaya seperti tersambar petir di siang bolong adalah adanya tanda tangan dirinya di surat itu. Tanda tangan yang ditulis di atas materai itu jelas buka tanda tangan dirinya, meski mirip sekali.
Abinaya segera curiga bahwa Wirawan ikut terlibat dalam merekayasa tanda tangan hingga keluarnya surat gugatan cerai itu.
Karena penasaran, Abinaya mendatangi pengadilan untuk melakukan penyelidikan lagi. Ternyata benar, Wirawan dengan mengatasnamakan dirinya, telah menandatangani persetujuan gugatan cerai. Surat-surat yang dia percayakan sebagai buktinya.
Kabar yang beredar, Wirawan sengaja menjual kasus Abinaya karena tergoda tawaran sejumlah uang menggiurkan. Sang istri dengan pria selingkuhannya sengaja menawarkan sejumlah uang yang besar untuk selembar surat cerai. Status janda sang istri mungkin lebih afdol dalam melanggengkan hubungan mereka.
Saat itu ingin rasanya Abinaya menonjok Wirawan bertubi-tubi hingga mati. Namun ia tak tahu harus kemana menemukan si pengacara hitam itu. Ia menyalahkan diri sendiri karena terlalu percaya pada Wirawan. Rentang 25 tahun tentu telah membentuk pribadi Wirawan yang jauh berbeda dengan yang ia kenal.
Sejak itu ia tak pernah lagi bertemu Daryanti dan anak-anaknya. Mantan istrinya itu sengaja pindah rumah ke alamat yang tak diketahui Abinaya.
Abinaya pun menjadi orangtua yang putus asa. Dalam kondisi seperti itu, penyakit bermunculan. Sudah dua tahun sejak perceraian itu, Abinaya tak bisa lagi pergi jauh-jauh karena penyakit stroke yang di deritanya. Ia mengandalkan kebaikan tetangga desa dan sisa-sisa harta warisan untuk membiayai hidupnya.
Suatu hari saat menonton televisi, Abinaya melihat wajah Wirawan muncul sebagai pengacara kasus korupsi pilkada. Dengan spontan, Abinaya pun berteriak. “Pengacara hitam…pengacara hitam. Bajingan!”
Namun suara itu tak lagi jelas terdengar bunyinya karena keluar dari mulut seorang penderita stroke. Yang terlihat hanya air mata berlinang di kedua pipi Abinaya.
Sebenarnya Abinaya sudah berusaha melupakannya.  Ia ikhlas dengan semua yang sudah dialaminya. Abinaya bahkan sudah memaafkan anak dan istrinya meski mereka tak pernah lagi menengok keadaannya. Ia juga menganggap Wirawan sebagai masa lalu.
Ternyata tak mudah. Wajah Wirawan di televisi itu membuatnya sadar bahwa ia belum bisa ikhlas sepenuhnya. Karena itu, Abinaya menangis. (https://fiksikulo.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar