Selasa, 22 Maret 2016

Rampas Rp 24 Miliar Uang Tambang Nikel




Rambut sama hitam, pendapat bisa beragam. Putusan hakim pun tidak jadi bulat, ada pendapat berbeda.
==============

Upaya hukum ke lembaga yang lebih memang sulit ditebak. Kadang jatuh putusan yang lebih rendah, bebas, atau lebih tinggi. Menanggapi permohonan kasasi jaksa, Mahkamah Agung (MA) memutuskan merampas harta Rp 24 miliar dari terpidana korupsi Atto Sakmiwata Sampetoding (53) dan pidana penjara selama 5 tahun. Jaksa tidak menahan Atto.

Kasus yang menjerat Managing Director PT Kolaka Mining Internasional itu bermula ketika perusahaanya mengekspor nikel ke China dalam bentuk mentah sebanyak 222 ribu mt dengan harga Rp 78 miliar pada tahun 2010. Penjualan nikel itu atas perjanjian dirinya dengan Pemda Kolaka

Uang tersebut diberikan ke Pemerintah Kabupaten Kolaka sebesar Rp 15 miliar. Sedangkan sisanya digunakan antara lain untuk jasa pengangkutan Rp 10 miliar, transshipment Rp 6 miliar, pinjam sewa pelabuhan Rp 1,7 miliar dan biaya pengiriman ke China sebesar Rp 4 miliar. Sehingga terdapat selisih Rp 24 miliar yang tidak dilaporkan ke negara dan dinikmati sendiri oleh Atto.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Baharuddin mencium gelagat tidak baik dari transaksi tersebut dan menggelar penyidikan ekspor nikel yang dikeruk dari bumi Sulawesi itu. Jaksa kemudian mendudukkan Atto di kursi pesakitan. Jaksa menuntut Atto dihukum 8 tahun penjara dan hartanya Rp 24 miliar dirampas negara.

Kasus ini lalu bergulir di Pengadilan Tipikor Kendari, Sulawesi Tenggara. Setelah melalui serangkaian persidangan, pada tanggal 30 Agustus 2013, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kendari membebaskan Atto Sakmiwata Sampetoding dari segala dakwaan atas dugaan korupsi pada penjualan nikel kadar rendah di Kabupaten Kolaka. Direktur PT Kolaka Mining Internasional (KMI) itu terbebas karena bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Baharuddin dianggap lemah.

"Menyatakan perkara tersebut bukan ranah pidana melainkan kasus perdata," kata Ketua Majelis Hakim, Efendi Pasaribu, didampingi dua orang anggota majelis hakim yang meyidangkan kasus ini, Kusdarwanto dan Syamsul Bahri, sebagaimana dilansir Kendari Pos, Sabtu (31/8).

Efendi menilai JPU tidak profesional menyajikan bukti dalam tuntutannya. Kata dia, kasus ini lebih tepat dijadikan perdata karena menyangkut utang-piutang antara KMI dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kolaka.  "Pembuktiannya tidak sempurna dan terdakwa dinyatakan bebas," ucapnya.

Utang tersebut sudah diatur dalam perjanjian antara KMI dan Pemkab Kolaka. dan uang itu tidak menggunakan uang negara buat kepentingan pribadinya. Dalam penjualan nikel, terdakwa juga melakukan pembayaran royalti ke kas daerah. Dan urusan terdakwa mendapat untung, adalah wajar karena itu adalah haknya.

Menurut majelis hakim, pembelian nikel bukan merupakan tindak pidana koruspi, melainkan perdata murni. Dengan demikian terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan. Jaksa juga diperintahkan mengembalikan seluruh aset yang disita dan biaya persidangan ditanggung negara.

Keharuan pecah di Pengadilan Tipikor Kendari setelah mendengar pembacaan putusan ini.  Atto terlihat lemas mendapat pelukan dari keluarganya. Dia pun mengucapkan syukur atas putusan bebas yang diberikan majelis.

"Syukur Alhamdulillah keapda Allah SWT karena telah memberikan keadilan yang seadil-adilnya sehingga bisa mendapatkan kebebasan. Selama ini saya tetap berusaha menjalani semua proses persidangan meskipun kondisi kesehatan saya terganggu," katanya.

Sementara itu JPU Baharuddin, tanpa pikir-pikir, langsung menyatakan kasasi. Baharuddin melihat dalam amar putusan disebutkan terdakwa terbukti melakukan perbutan melawan, tetapi perbuatan tersebut dianggap bukan tindak pidana melainkan perbuatan perdata.

Jaksa menuntut Direktur PT KMI Atto Sampetoding dengan pidana penjara tujuh tahun namun majelis hakim menyatakan terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum.

Kejaksaan menilai terdakwa Atto semestinya divonis bersalah seperti yang dilakukan pada terdakwa lainnya, Bupati Kolaka non aktif, Buhari Matta. Karena dalam dakwaan Buhari Matta, terdapat pasal 55 ayat (1) KUHP. Tentu hal itu tidak berdiri sendiri, sehingga di dalam pembahasan unsur pasal tersebut, pasal penyertaannya yakni dengan Direktur PT KMI.

"Idealnya, perbuatan pokoknya terbukti, maka orang yang turut serta dalam hal ini, Atto Sakmiwata Sampetoding, sama kualifikasinya dengan pasal pokonya. Maka dari itu, Direktur PT KMI, semestinya di vonis bersalah juga," ungkap Baharuddin yang langsung mengajukan kasasi ke MA.

Dan pertengahan Maret 2016, gayung bersambut, MA mengabulkan tuntutan tersebut. "Menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara," demikian putus MA sebagaimana dilansir websitenya, Minggu (13/3/2016).

Perjalanan kasasi itu sampai memutuskan menghukum Atto dengan penjara selama lima tahun lumayan panjang. Jaksa Baharuddin memasukkan berkas kasasi ke MA pada 29 Januari 2014. baru 8 April 2014, berkas didistribusikan ke meja majelis kasasi.

Awalnya susunan majelis adalah hakim agung Zaharuddin Utama dengan dua anggotanya masing-masing Syamsul Rakan Chaniago dan AL (kode AL merujuk kepada hakim ad hoc Abdul Latief-red). Ternyata, AL tiba-tiba mengundurkan diri dari perkara tersebut.

"Pergantian majelis P1, AL mundur digantikan Leopold Luhut Hutagalung pada 29 September 2014," demikian info perkara yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Senin (14/3/2016).

Tidak dijelaskan dalam info perkara tersebut alasan AL mengundurkan diri. Sehingga terbentuklah majelis baru yaitu Zaharuddin Utama, Syamsul Rakan Chaniago dan Leopold Luhut Hutagalung.

Ternyata majelis baru ini juga terpecah saat mengadili Atto. Zaharuddin Utama dan Syamsul sepakat Atto bersalah sedangkan Leopold Luhut Hutagalung berpendirian sebaliknya, Atto tidak bersalah.

Menurut Leopold Luhut Hutagalung, kasus di atas merupakan kasus perdata dan sebagai pedagang Atto berhak mendapatkan untung. Sebagai pedagang, menjual lebih tinggi daripada harga pembelian adalah wajar karena sebagai pedagang berhak mendapatkan untung. "Maka perkara a quo adalah sengketa perdata, bukan ranah pidana/tipikor," cetusnya.

Namun pendapat LL Hutagalung kalah suara dengan dua hakim lainnya sehingga putusan diketok dengan suara terbanyak dan menghukum Atto selama 5 tahun penjara dan membayar ganti rugi sebesar Rp 20,6 miliar kepada Negara..

"Menghukum terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding membayar uang pengganti Rp 24 miliar dikurangi nilai rumah terdakwa yang disita sebesar Rp 3,4 miliar, jadi Rp 20,6 miliar, kepada negara. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu. Dalam hal harta benda terpidana tidak mencukupi untuk membayar maka diganti pidana selama 4 tahun," putus majelis hakim kasasi MA.

Memang tidak mudah berbisnis dengan pemerintah. Butuh kehati-hatian agar tidak terjerembab ke ranah pidana. (BN)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar