Rabu, 11 Maret 2015

Advokat: PECAH SEPANJANG SEJARAH

Sejak awal berdiri, advokat selalu terbelah. Dulu, organisasi advokat terbelah karena ada campur tangan pemerintah. Tapi kini terpecah karena ulah advokat sendiri.

16 November 1985. Ini hari kedua berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Ini juga hajatan pertama sejak Ikadin terbentuk. Kebetulan, Ikadin adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan wadah tunggal buat advokat. Tapi, walau Munas pertama, suasana tegang dan ricuh tetap berlangsung. Sesama advokat saling serang. Bahkan menjurus pertarungan fisik. Majalah Tempo edisi 16 November 1985 menuliskannya. Begini gambarannya. Ketegangan muncul lagi setelah suara untuk formatir terumpul dan dewan promatir ditetapkan. Sebab, sebagian besar pendukung Harjono meminta agar ketua umum ditetapkan saja, Harjono, sebagai formatir yang mendapat suara terbanyak. Permintaan itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh kelompok yang menentang Harjono. Perang mulut antara kedua kelompok melalui lima pengeras suara, yang kadang-kadang dipakai bersamaan, hampir tak terkuasai oleh pemimpin sidang.

Munas itu akhirnya berhasil memilih Harjono Tjitrosoebono sebagai ketua umum dan Albert Hasibuan jadi sekretarisnya. Kala itu, organisasi advokat itu nyaris pecah. Ikadin pun muncul sebagai satu-satunya organisasi buat advokat. Dia jadi wadah tunggal.

Munculnya Ikadin bukan tanpa cerita. Karena sebelumnya sudah ada organisasi advokat. Namanya Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Organisasi advokat ini dibentuk tak lama setelah Indonesia merdeka. Pelopornya adalah beberapa advokat kawakan. Ada nama-nama seperti Iskak Tjokrohadisurjo, Mohammad Roem, Lukman Wiradinata, Abidin, Hasjim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Sukardjo, Yap Thiam Hien, Harjono Tjitrosoebeno, Nani Razak dan lainnya. Mereka ini tergolong generasi pertama advokat Indonesia. Kala itu advokat Adnan Buyung Nasution tergolong sebagai anggota muda.

Dalam perjalannya, Peradin ternyata memiliki lawan. Tapi bukan dari kalangan advokat lainnya. Melainkan dari pemerintah selaku penguasa. Pasalnya advokat yang tergabung dalam Peradin sering berhadap-hadapan dengan pemerintah. Banyak kasus besar yang dibela oleh advokat yang tergabung disana. Alhasil kalangan penguasa Orde Baru “kepanasan” dengan organisasi advokat itu. Peradin kemudian jadi organisasi yang dicurigai Kopkamtib. Alhasil, kalangan penguasa mulai menyusupi.

Tak bisa dipungkiri, ada kehendak pemerintah agar Peradin terpecah. Memang, sekitar tahun 1978, terbentuk organisasi advokat tandingannya. Namanya Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadi). Ketuanya adalah RO Tambunan. Sejak itu, advokat pun terbelah jadi dua. Antara Peradin dan Pusbadi.
Ketua Mahkamah Agung saat itu, Ali Said, mencoba menyatukan semua organisasi advokat itu. Dia memanggil seluruh pimpinan organisasi advokat yang ada. Namun, sampai masa jabatan Ali habis, advokat belum juga bersatu. Baru di era kepemimpinan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, usaha itu dilakukan kembali. Tahun 1985 itulah, kali pertama dibuat kongres yang diikuti seluruh advokat dari beragam organisasi. Maka terbentuklah yang namanya Ikadin tadi. Kala Munas itulah, suasana perang antar advokat tak terelakkan. Antara kubu Peradin dan Pusbadi saling sikut untuk dapat posisi ketua Ikadin. Karena anggota Peradin masih terbanyak, maka yang terpilih adalah Harjono.

Lalu tahun 1990, Ikadin menyelenggarakan Munas yang keduakalinya. Acaranya digelar di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Disini cerita saling sikut sesama advokat justru memuncak. Menjelang Munas, dua kubu langsung terbentuk. Ada kelompok Harjono dan kubunya Gani Djemat. Keduanya ternyata bernafsu untuk duduk sebagai Ketua Ikadin yang dipilih dalam Munas nantinya. Harjono ditopang anggota Ikadin yang lama. Sementara kubu Djemat banyak disokong advokat dari Jakarta. Ada nama-nama Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Yan Apul Girsang dan lainnya. Mereka inilah yang tim sukses buat Djemat.

Kala Munas berlangsung, pertarungan dua kubu benar terjadi. Bahkan sampai adu fisik. Simak laporan majalah Tempo edisi 4 Agustus 1990 soal kejadian Munas kala itu. Pernyataan Rudhy diikuti teriakan silih berganti dari para pendukung Djemat lainnya. “Bubar” kata Palmer Situmorang. Belasan rekannya, sesama pendukung Djemat, berhamburan di meja pemimpin sidang. “Turun”, teriak mereka. Beberapa panitia mencoba merebut corong pengeras suara dari tangan Rudhy. Pria gempal itu bertahan, sementara rekan-rekannya melindunginya.

Di tengah kekalutan itu, terdengar suara pukulan mendarat diwajah seseorang. “Plak”. Tampak salah seorang panitia, Tommy Sihotang, memburu John H Waliry. “Gua dipukul,” teriak Tommy. Herannya John malah mengaku dipukul lebih dulu, entah oleh siapa. Ini mungkin khas advokat, yang memukul dan yang dipukul sama-sama mengaku jadi korban.

Kekacauan semakin menjadi. Di sisi kiri, Palmer berteriak-teriak dan menyenggolkan sikutnya ke meja minuman. Delapan gelas jatuh, pecah berantakan. Akhirnya, situasi dapat diredakan setelah petugas kepolisian dan beberapa ABRI berpakaian preman turun tangan.


Kekacauan itu berlangsung waktu akan dilangsungkannya pemilihan ketua umum. Dua kubu yang berseteru, mulanya berdebat panjang soal mekanismenya. Kubu Harjono setuju bila pemilihan dilakukan dengan sistem suara yang diwakili oleh masih-masing Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang hadir. Artinya tidak semua advokat peserta Munas memilih. Hanya ketua dari masing-masing DPC saja. Dasar hukumnya ada. Mereka merujuk pada hasil Rapat Kerja (Raker) Ikadin tahun 1990.
Sementara, kubu Djemat mendesak agar pemilihan dilangsung dengan sistem one man one vote. Setiap advokat yang hadir, berhak memilih ketua umum. Alas haknya juga ada. Mengacu pada Anggaran Dasar Ikadin. Alhasil, dua-duanya ngotot. Tak ada yang mau mengalah karena masing-masing punya pijakan hukum yang kuat.
Dari sisi suara, bila pemilihan dilakukan oleh sistem DPC, maka kubu Harjono dipastikan menang. Pasalnya, dirinya banyak ditopang advokat dari daerah. Tapi rata-rata yang datang hanya pengurusnya saja. Sementara, peserta terbanyak datang dari advokat asal Jakarta. Bila dilakukan pemilihan satu orang satu suara, dipastikan Djemat yang menang. Inilah yang membuat baku hantam tak terelakkan.

Namun, pimpinan sidang tetap ngotot memakai mekanisme yang dipilih kubu Harjono. Alhasil kelompok Djemat walk out. Mereka meninggalkan arena Munas. Tapi bukan beranjak pulang. Melainkan berkumpul lagi di Gedung Serbaguna Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta. Letaknya hanya 500 meter dari Hotel Horison. Disana, ternyata mereka mengikrarkan diri untuk membentuk organisasi advokat baru saingan Ikadin. Namanya ditetapkan yakni Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Mereka beramai-ramai menandatangani ikrar diatas sebuah spanduk putih. Sehabis deklarasi, serempak mereka menyanyikan lagu “Kemesraan”. Lagu inilah yang kemudian dijadikan hymne wajib di AAI. Gani Djemat didepak sebagai ketua umum pertamanya. Sejak itu, organisasi advokat terbelah lagi. Ikadin yang seyogyanya dijadikan wadah tunggal buat advokat, terpecah lagi.
Ternyata, sebelumnya juga tumbuh lagi organisasi advokat lainnya. Sebelum AAI lahir, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) dan Serikat Pengacara Indonesia (SPI) telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi advokat juga Munculnya dua organisasi advokat ini juga punya cerita sendiri. Karena dari segi istilah, sebenarnya mereka berbeda dengan advokat.

Bukan itu saja. IPHI kemudian malah terpecah lagi. Sebagian advokat yang sebelumnya tergabung di organisasi itu, mendirikan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI). Pembentukan ini dipelopori oleh Elza Syarif. Malah beberapa konsultan hukum juga mendeklarasikan organisasinya. Mereka bergabung dalam Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Ironisnya, AKHI yang baru berdiri, terpecah juga. Ada sebagian yang kemudian mendirikan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Di sisi lain, ada juga yang tergolong dalam Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jadi, lengkaplah perpecahan di dunia advokat kita.
Lalu muncullah UU No 18 tahun 2003 tentang advokat. Beleid ini mengamanatkan agar advokat membentuk wadah tunggal. Artinya hanya ada satu organisasi advokat. Para pimpinan organisasi advokat yang ada, kemudian berkumpul. Mereka mendeklarasikan diri membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Lembaga inilah yang kemudian mengklaim sebagai wadah tunggal itu. Otto Hasibuan sebagai ketua umumnya. Tapi, kini organisasi itu terpecah lagi. Sejumlah advokat tak setuju dengan cara pembentukannya. Bulan Mei 2008 ini mereka membuat Kongres Advokat Indonesia. Ajang itu dibuat untuk melahirkan wadah tunggal sebenarnya. Namun kubu Otto tak setuju cara itu. Menurutnya, kongres itu bukan hajatan yang dibuat Peradi. “Munas advokat yang Peradi buat, tahun 2010,” tegasnya. Berarti, bisa dipastikan bahwa organisasi advokat pecah lagi. Ironis sekali.

Irawan Santoso
(majalah Neraca Hukum edisi Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar