Majelis ingatkan tentang daluarsa pengujian formil
Undang-Undang. Pemohon menilai UU Advokat melanggar hak-hak konstitusional
advokat non-PERADI.
Kuasa Hukum Pemohon (Ka-Ki) H.F. Abraham Amos, Johni Bakar
dan Maryanto dalam sidang perdana pengujian UU Advokat, Selasa (13/1). Foto:
Humas MK
Lagi, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat kembali
dipersoalkan sejumlah advokat. Kali ini para pemohon mengajukan pengujian
formil, dengan dalih proses pengesahan UU Advokat dinilai bertentangan dengan
UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
“Proses pengesahan UU Advokat itu dipandang cacat hukum
untuk seluruhnya,” ujar salah satu pemohon, Maryanto dalam sidang pemeriksaan
pendahuluan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (13/1). Selain
Maryanto, tercatat sebagai pemohon pengujian ini Johni Bakar dan Abraham F
Amos.
Maryanto mengatakan
sejak diundangkan hingga kini tidak ada peraturan pemerintah (PP) sebagai
pelaksana UU Advokat, sebagaimana kelaziman sebuah Undang-Undang. Pasal 5 ayat
(1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut PP merupakan ketentuan
turunan yang wajib dipenuhi.
Selama ini putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 yang
mengamanatkan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat tanpa
mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang ada saat ini tidak dipatuhi
semua pihak terkait. Pengabaian terhadap putusan MK ini adalah bentuk pelanggaran/pelecehan hukum. Pemohon
berpandangan perlu disikapi serius untuk dicarikan solusi atas kebuntuan
kepentingan masing-masing organisasi advokat.
“Ini agar tidak menimbulkan potensi kerugian hak
konstitusional yang lebih besar lagi bagi para pemohon khususnya dan para
advokat pada umumnya yang bernaung dalam berbagai organisasi advokat lainnya
dengan segala konsekuensi hukum yang berlaku,” lanjutnya.
Menurut Maryanto, sejak UU Advokat berlaku suasana harmonis
dan kondusif belum tercipta. Sebaliknya, muncul sejumlah pertikaian dan
perselisihan para advokat yang cenderung memecah-belah eksistensi organisasi
advokat. Karenanya, para pemohon meminta MK membatalkan UU Advokat itu karena
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga meminta MK
menyatakan UU Advokat tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan peraturan
perundang-undangan.
“UU Advokat melanggar hak-hak konstitusional para pemohon
sebagai advokat non-PERADI seluruh Indonesia,” tegasnya di depan majelis.
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Patrialis Akbar
mengingatkan tidak semua undang-undang harus mengamanatkan pembuatan PP.
“Peraturan Pemerintah dibutuhkan kalau memang diperintahkan oleh pasal-pasal
dalam undang-undang itu. Kalau diperintahkan, tetapi PP tidak dibuat, itu yang
salah, tidak boleh,” kata Patrialis.
Dia juga mengingatkan pengujian formil UU Advokat tidak bisa
diajukan karena secara formil ini sudah daluwarsa karena sudah melawati waktu
45 hari sejak diundangkan sesuai putusan MK. “Kalau pengujian formil ini mau
diubah ke pengujian materi, ya silahkan. Sebab, kalau pengujian formil UU
Advokat ini sudah pasti tidak bisa,” kata Patrialis mengingatkan.
Anggota Panel Anwar Usman juga mengingatkan pengujian formil
undang-undang memiliki batas waktu 45 hari sejak diundangkan. “Kalau perkara
ini mau diteruskan harus ada argumentasi hukum yang kuat, sehingga batasan
waktu itu bisa disimpangi,” saran Anwar.
Senada disampaikan panel lainnya, Aswanto yang meminta agar
para pemohon melihat putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 terkait persyaratan uji
formil undang-undang. Putusan MK itu memberi tenggang waktu pengajuan formil
selama 45 hari. “UU Advokat sudah berapa tahun, hampir 12 tahun. Jadi kalau
pengujian UU Advokat diujiformilkan tidak memenuhi syarat,” katanya. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar