Jumat, 16 Januari 2015

Uji Formil UU Advokat Disidangkan


Majelis ingatkan tentang daluarsa pengujian formil Undang-Undang. Pemohon menilai UU Advokat melanggar hak-hak konstitusional advokat non-PERADI.

Uji Formil UU Advokat Disidangkan
Kuasa Hukum Pemohon (Ka-Ki) H.F. Abraham Amos, Johni Bakar dan Maryanto dalam sidang perdana pengujian UU Advokat, Selasa (13/1). Foto: Humas MK

Lagi, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat kembali dipersoalkan sejumlah advokat. Kali ini para pemohon mengajukan pengujian formil, dengan dalih proses pengesahan UU Advokat dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Proses pengesahan UU Advokat itu dipandang cacat hukum untuk seluruhnya,” ujar salah satu pemohon, Maryanto dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (13/1). Selain Maryanto, tercatat sebagai pemohon pengujian ini Johni Bakar dan Abraham F Amos.

Maryanto mengatakan  sejak diundangkan hingga kini tidak ada peraturan pemerintah (PP) sebagai pelaksana UU Advokat, sebagaimana kelaziman sebuah Undang-Undang. Pasal 5 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut PP merupakan ketentuan turunan yang wajib dipenuhi.

Selama ini putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 yang mengamanatkan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang ada saat ini tidak dipatuhi semua pihak terkait. Pengabaian terhadap putusan MK ini adalah bentuk  pelanggaran/pelecehan hukum. Pemohon berpandangan perlu disikapi serius untuk dicarikan solusi atas kebuntuan kepentingan masing-masing organisasi advokat.

“Ini agar tidak menimbulkan potensi kerugian hak konstitusional yang lebih besar lagi bagi para pemohon khususnya dan para advokat pada umumnya yang bernaung dalam berbagai organisasi advokat lainnya dengan segala konsekuensi hukum yang berlaku,” lanjutnya.

Menurut Maryanto, sejak UU Advokat berlaku suasana harmonis dan kondusif belum tercipta. Sebaliknya, muncul sejumlah pertikaian dan perselisihan para advokat yang cenderung memecah-belah eksistensi organisasi advokat. Karenanya, para pemohon meminta MK membatalkan UU Advokat itu karena bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga meminta MK menyatakan UU Advokat tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan.

“UU Advokat melanggar hak-hak konstitusional para pemohon sebagai advokat non-PERADI seluruh Indonesia,” tegasnya di depan majelis.      

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Patrialis Akbar mengingatkan tidak semua undang-undang harus mengamanatkan pembuatan PP. “Peraturan Pemerintah dibutuhkan kalau memang diperintahkan oleh pasal-pasal dalam undang-undang itu. Kalau diperintahkan, tetapi PP tidak dibuat, itu yang salah, tidak boleh,” kata Patrialis.

Dia juga mengingatkan pengujian formil UU Advokat tidak bisa diajukan karena secara formil ini sudah daluwarsa karena sudah melawati waktu 45 hari sejak diundangkan sesuai putusan MK. “Kalau pengujian formil ini mau diubah ke pengujian materi, ya silahkan. Sebab, kalau pengujian formil UU Advokat ini sudah pasti tidak bisa,” kata Patrialis mengingatkan.

Anggota Panel Anwar Usman juga mengingatkan pengujian formil undang-undang memiliki batas waktu 45 hari sejak diundangkan. “Kalau perkara ini mau diteruskan harus ada argumentasi hukum yang kuat, sehingga batasan waktu itu bisa disimpangi,” saran Anwar.

Senada disampaikan panel lainnya, Aswanto yang meminta agar para pemohon melihat putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 terkait persyaratan uji formil undang-undang. Putusan MK itu memberi tenggang waktu pengajuan formil selama 45 hari. “UU Advokat sudah berapa tahun, hampir 12 tahun. Jadi kalau pengujian UU Advokat diujiformilkan tidak memenuhi syarat,” katanya. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar