Senin, 05 Januari 2015

Dalil Imunitas Ditolak Hakim, Advokat Divonis Bersalah


Demi kepentingan publik, kepentingan privat antara advokat dan kliennya dikesampingkan.
Dalil Imunitas Ditolak Hakim, Advokat Divonis Bersalah
Pengadilan Tinggi Surabaya. Foto: www.pt-surabaya.go.id
Hak imunitas atau kekebalan hukum mungkin menjadi substansi yang paling dipuja dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, oleh kalangan advokat. Bagaimana tidak, dengan bermodalkan hak yang diatur dalam Pasal 16 itu, advokat bisa menjadi ‘sakti’ tak tersentuh hukum, baik itu pidana maupun perdata.

Lengkapnya, Pasal 16 UU Advokat berbunyi, “advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”

Kesaktian Pasal 16 itu coba digunakan Sugianto, seorang advokat asal Pasuruan, Jawa Timur ketika menjadi terdakwa kasus menghalang-halangi penyidikan di Pengadilan Negeri Pasuruan dengan nomor register perkara 101/Pid.B/2007/PN.Psr. Sugianto tidak sendiri dalam kasus ini, karena di kursi terdakwa, dia berdampingan dengan M. Anshori yang notabene adalah kliennya Sugianto.

Sebagaimana dikutip dari putusan yang diunduh dari www.putusan.mahkamahagung.go.id, kasus tersebut bermula ketika pada 14 Desember 2005, Sugianto dan Anshori dilaporkan polisi dengan tuduhan telah menghalang-halangi proses penyidikan berupa penyitaan barang bukti dalam kasus tersangka Munip. Barang bukti dimaksud berupa sertifikat hak milik (SHM) Nomor 94 Kel. Sebani, Kec, Gadingrejo, Kota Pasuruan atas nama Subakti, yang kala itu berada di bawah penguasaan Anshori.

SHM Nomor 94 itu tengah tersangkut kasus lain, dugaan penggelapan atas tanah dan sertifikat dengan tersangka Munip. Kasus ini muncul atas laporan Rudi Harsono. Nama Anshori kemudian muncul karena Munip diketahui menjual tanah dan menyerahkan sertifikat tersebut kepada Anshori.

Anshori menolak ketika penyidik meminta SHM Nomor 94 diserahkan. Merasa sebagai pemilik yang sah, Anshori khawatir jika SHM itu diserahkan dan kemudian kasus Munip diputus, maka SHM itu akan jatuh ke tangan Rudi Harsono. Setelah menolak permintaan penyidik, Anshori memberikan dokumen SHM itu ke Sugianto.

Ketika memenuhi panggilan polisi, Sugianto yang mendampingi Anshori, berdalih advokat tidak dapat dikenai penyitaan atas barang yang ada padanya untuk kepentingan kliennya, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Advokat. Sugianto tetap memilih tidak memberikan SHM tersebut kepada yang berwajib.

Dalil berikutnya, Sugianto menggunakan Pasal 43 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa barang yang ada pada advokat dapat dikenai penyitaan apabila telah memperoleh persetujuan advokat yang bersangkutan.

Tidak kunjung mendapat SHM Nomor 94, Kasat Reskrim yang merupakan bagian dari penyidik kasus Munip, membuat laporan polisi dengan tersangka Anshori dan Sugianto. Keduanya dijerat dengan Pasal 216 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam proses persidangan, ahli Haryono Mintaroem berpendapat advokat yang menolak menyerahkan sertifikat yang akan disita oleh penyidik, padahal sudah dijelaskan oleh penyidik mengenai pentingnya sertifikat bagi kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan dalam rangka penegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dapat dianggap sebagai upaya untuk mempersulit atau menghalang-halangi proses penyidikan.

“Penolakan dapat dikategorikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 KUHP”, ujar Haryono dalam expertisenya.

Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim Pengadilan Negeri Pasuruan yang diketuai Sutardjo menyatakan bertitik tolak pada Pasal 43 KUHAP, seorang advokat yang mengerti akan proses hukum pidana harus memahami pengaturan tersebut dalam arti luas. Bukan sebaliknya, memberikan penafsiran sendiri yang sempit, keliru, dan menyesatkan.


Diakui majelis hakim, advokat dalam menjalankan profesinya wajib menyimpan kerahasiaan klien yang dimiliki advokat. Tetapi, di sisi lain advokat mempunyai kewajiban pokok sebagai penegak hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan. Majelis hakim merujuk pada Pasal 15 UU Advokat, bahwa advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela klien tetap berpegangan pada kode etik dan peraturan perundang-undangan.

“Kode etik membebankan kewajiban pada setiap advokat dalam melakukan tugasnya untuk tidak bertujuan memperoleh imbalan materi semata, tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan,” demikian bunyi pertimbangan majelis hakim.

Di samping itu, majelis hakim menegaskan bahwa kepentingan hukum publik haruslah lebih diutamakan daripada kepentingan hukum privat. Penyitaan terhadap SHM yang hendak dilakukan oleh penyidik dalam kasus Munip merupakan satu tindakan yang ditujukan untuk kepentingan publik yaitu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Oleh karenanya, kepentingan privat yang ada di antara Sugianto dan Anshori tidak dapat  mendahului kepentingan penyidik.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu lah, hakim menyatakan Sugianto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “dengan sengaja secara bersama-sama mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses peyidikan suatu perkara pidana.”

Sugianto dan Anshori dijatuhkan pidana penjara masing-masing selama tiga bulan dan masa percobaan lima bulan. Khusus untuk Sugianto, majelis hakim menjadikan profesi yang disandangnya sebagai faktor pemberat. Perbuatan Sugianto dianggap dapat merusak sistem peradilan pidana yang berjalan selama ini.

“Perbuatan terdakwa II (Sugianto, red) sebagai advokat dapat menjadi preseden buruk dalam proses perkara pidana dan upaya penegakkan hukum secara keseluruhan,” papar majelis hakim.

Majelis hakim khawatir jika perbuatan yang dilakukan oleh Sugianto sebagai advokat dalam membela kliennya dilakukan juga secara meluas dan terorganisir oleh advokat lain, maka akan terjadi kebuntuan/kemacetan dalam proses pemeriksaan pidana di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan.

Putusan majelis hakim pengadilan tingkat pertama kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 38/PID/2008/PT.SBY pada tingkat banding serta Mahkamah Agung Nomor: 1344K/Pid/2008 pada tingkat kasasi.

Putusan kasus Sugianto dan M. Anshori ini dianggap sebagai penemuan hukum progresif oleh Hwian Christianto dalam karya ilimiahnya yang dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Surabaya ini, melihat suatu putusan perkara pidana sudah menggunakan penemuan hukum progresif bila mana mampu melihat kepentingan jangka panjang yang didasarkan atas dinamika masyarakat sehingga kesejahteraan serta kemakmuran bangsa dan negara.

“Majelis hakim melakukan re-interpretasi bahwa hak yang dimiliki advokat tidak diartikan secara sempit tetapi harus dengan iktikad baik,” papar Christianto dalam karya ilmiahnya. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar