Bertemu
sahabat lama, siapa sih yang tak senang? Begitu pun dirasakan Abinaya.
Setelah 25 tahun berpisah dengan Wirawan, tak disangka mereka bertemu
lagi. Tentu dengan penampilan yang masing-masing sudah jauh berbeda.
“Tapi sungguh aku tak pernah pangling dengan suara tawa ngakakmu.
Tawa seorang anak yang seolah tak pernah kekurangan uang.” Begitu
Wirawan mengawali pembicaraan saat bertemu Abinaya di sebuah restoran.
“Kamu bisa saja Wan. Kamu sendiri tampaknya sudah sukses sekarang.
Terlihat dari penampilanmu. Baju dan sepatumu terlihat mahal harganya.
Kemana-mana pasti membawa mobil. Rambut selalu tersisir rapi. Tubuhmu
wangi pula. Hemmm, pasti banyak wanita tak menolak ajakanmu.” Abinaya
menunjukkan kekagumannya sambil menggoda. Wirawan tampak senang
mendengarnya.
“Hahaha…Abi..Abi. Sukses sih relatif karena yang lebih sukses
pastinya lebih banyak. Soal mobil itu sih harganya tak mahal-mahal amat.
By the way, sungguh aku senang bertemu dengan kamu. Aku sengaja mampir ke sini hanya ingin bertemu dirimu. Ingin nostalgia. Sumpah!”
Perjumpaan kembali Abinaya dan Wirawan bermula dari facebook. Abinaya
sebenarnya sudah lama punya akun facebook, namun jarang ditengok.
Begitupula dengan Wirawan, ia tak terlalu hobi dengan email dan facebook
kecuali untuk kepentingan pekerjaan.
Begitulah kemudian mereka berkomunikasi. Dengan alasan, ada acara di
Yogjakarta tak jauh tempat tinggal Abinaya, Wirawan pun mampir. Abinaya
lalu menawari Wirawan untuk menginap. Karena di rumah itu tak ada orang
lain, Wirawan menerima tawaran sahabatnya.
Sehari semalam mereka ngobrol ngalor-ngidul. Keduanya berteman sejak
kecil, dan terpaksa harus berpisah di bangku SMP karena orangtua Wirawan
pindah tugas. Dari obrolan itulah Wirawan jadi tahu, mengapa Abinaya
hidup sendiri.
Sebenarnya Abinaya sudah punya dua anak yang semuanya ikut ibunya di
Jakarta, persisnya di Tangerang. Istri Abinaya adalah wanita sukses dan
kini kaya raya. Sayangnya, kesuksesan itu tak dibarengi kebahagiaan
dalam rumah tangga. Sang istri menggugat cerai Abinaya dengan alasan
sudah tak cocok lagi.
Abinaya mengakui bahwa banyak hal yang membuat mereka tidak cocok.
Namun menurutnya, ketidakcocokan itu semua datang dari diri sang istri,
bukan dirinya. Karena itu ia tak pernah mau mengabulkan gugatan cerai
istrinya.
“Aku tak mau mengatakan bahwa kekayaan yang diperoleh istriku itu
tidak berkah. Namun yang pasti, harta benda itu telah membuatnya silau.
Lupa diri.” Abinaya berujar, seolah membuat kesimpulan.
“Beginilah nasib sahabatmu sekarang. Jadi sebatang kara justru di hari tuanya,” kata Abinaya lagi .
Wirawan tergugah dengan kasus yang dihadapi sahabatnya. Sebagai
pengacara ia memberikan masukan yang tak pernah terpikirkan Abinaya.
Katanya, dunia pengadilan yang kini sedang ditempuh istri Abinaya dalam
mengajukan gugatan cerai, adalah dunia yang bisa dipermainkan.
“Apalagi, seperti katamu, istrimu punya banyak uang. Punya beking
kuat pula.” Wirawan berkata sambil menatap lekat-lekat sahabatnya.
Abinaya dibikin berpikir keras untuk mencerna ucapannya.
Lalu tatkala Wirawan menawarkan jasanya secara gratis, tak lama
kemudian Abinaya menyetujuinya. Ia pun menyerahkan semua surat-surat
yang diperlukan Wirawan dalam melawan gugatan sang istri.
“Sebagai sahabat, saya berjanji takkan membiarkan kamu merana. Percayalah!” ujar Wirawan menenangkan hati Abinaya.
***
Dalam kesendiriannya, Abinaya kadang-kadang bertanya kepada diri
sendiri, apa kesalahannya sehingga harus menghadapi kenyataan pahit
seperti sekarang? Ada penyesalan dalam hati, namun tak banyak membantu
karena semuanya telah menjadi kenyataan. Nasi telah menjadi bubur.
Kala memutuskan menjadikan Daryanti sebagai istrinya, Abinaya hanya
melihat bahwa wanita itu cantik. Dukungan kedua orangtua mereka yang
sudah sama-sama saling mengenal menjadi pertimbangan lain.
Sekitar sepuluh tahun Abinaya menjalani profesi sebagai anak buah
kapal (ABK). Istri dan kedua anaknya selalu setia menantinya. Kala itu
penghasilannya jauh lebih besar dari Daryanti yang bekerja sebagai
karyawan honorer di instasi pemerintah.
Saat krisis moneter melanda negeri ini, perusahaan kapal dimana
Abinaya bekerja bangkrut. Ia pun pulang. Pesangon yang cukup besar
segera habis dibelikan tanah dan merenovasi rumah.
Saat menganggur, justru penghasilan istrinya melejit. Kebetulan
Daryanti ditempatkan di bagian keuangan, posisi basah di instansi
tersebut. Sejak itu penghasilannya berlipat-lipat.
Abinaya sempat mengingatkan soal kemungkinan uang korupsi yang
diterima sang istri. Namun sang istri justru marah dan menunjuk posisi
Abinaya yang tak lagi berpenghasilan. Pertengkaran demi pertengkaran pun
tak terhindarkan.
Sebenarnya, Abinaya tak terlalu menganggur amat. Ia pernah membuka
bengkel sepeda motor, namun penghasilannya tentu tak sebesar menjadi
ABK. Sedang sang istri sempat mengungkit profesi barunya dan mengaku
malu punya suami seorang tukang bengkel.
Lalu dengan berbagai alasan, istrinya jadi kerap kerja lembur, pulang larut malam, bahkan tak pulang hingga beberapa hari.
Tatkala selentingan kabar muncul bahwa istrinya selingkuh dengan
atasan di kantornya, hati Abinaya langsung panas. Diam-diam ia melakukan
penyelidikan untuk memverifikasi isu itu. Hasilnya Abinaya makin yakin
tentang apa yang telah dibuat sang istri.
Namun Daryanti bersikeras membantahnya. Pertengkaran hebat tak
terhindarkan. Sang istri lalu minta cerai. Abinaya tak mau
mengabulkannya. Ia tak rela anaknya kelak punya ayah tiri.
Permintaan cerai sang istri tadinya diduga hanya sementara karena
mereka sedang bertengkar. Ternyata dugaannya salah. Sebab tiba-tiba
istrinya muncul membawa seorang pengacara. Mereka menunjukkan konsep
surat cerai dan meminta Abinaya menandatanganinya.
Dalam kemarahan yang tiada tara, Abinaya bersumpah tak akan pernah
mau menandatangani gugatan cerai itu. “Bahkan sampai mati pun aku tak
akan pernah menceraikan kamu!”
Sejak itu Abinaya memilih pulang kampung untuk mengolah tanah warisan
orangtuanya. Secara periodik ia tetap menjenguk kedua anaknya.
Ingin rasanya ia membawa pulang kedua buah hatinya. Tapi ia ragu,
keinginan itu sebagai jalan keluar yang baik. Ia tak yakin pendidikan di
desa lebih baik daripada pendidikan di sekolah anaknya sekarang. Ia
juga tak mau keputusannya memboyong anak justru menjadi bumerang
sehingga sang istri punya alasan minta cerai.
***
Gugatan cerai Daryanti terhadap dirinya kini bergulir di meja
pengadilan. Pada surat panggilan sidang pertama, Abinaya tak
meresponnya. Saat itu ia yakin tak ada alasan hakim akan mengabulkan
gugatan itu tanpa kehadirannya.
Kedatangan Wirawan telah merusak keyakinannya bahwa ketidakhadirannya
di pengadilan justru memperkuat alasan hakim untuk mengabulkan gugatan
cerai istrinya.
Wirawan sendiri seolah sudah tahu keinginan Abinaya. Ia memberikan
beberapa opsi. Pertama mementahkan gugatan cerai istrinya. Kedua, jika
pun gugatan cerai itu dikabulkan, hak pengasuhan anak jatuh ke tangan
Abinaya. Yang tak dinginkan Abinaya adalah istrinya memenangkan gugatan
cerai, sekaligus hak mengasuh anak.
Dalam beberapa kali sidang, Abinaya tetap tak pernah mau hadir. Wirawan mendukungnya. “Wong sudah ada pengacara, ngapain repot-repot.” Kalimat itu menambah keyakinan Abinaya bahwa Wirawan tak main-main.
Usai sidang, Wirawan selalu menelepon dan memberikan laporan kepada
Abinaya. Katanya, posisi mereka berada di atas angin. Dua pekan lagi
vonis hakim akan dijatuhkan. Wirawan optimis Abinaya akan keluar sebagai
pemenang.
Namun setelah dua pekan berlalu, tak ada lagi kabar dari Wirawan.
Padahal Abinaya ingin mendengar bahwa optimis yang pernah diucapkan
sahabatnya itu menjadi kenyataan.
Ia beberapa kali berusaha mengubungi nomor telepon Wirawan, tapi
tidak ada respon. Pesan singkat yang telah beberapa kali dikirim juga
tak nyambung. Begitupun dengan alamat facebooknya, Wirawan seolah tak
lagi menyentuhnya karena pesan Abinaya via inbox tak pernah dibalas.
Dalam kebingungan, seorang tukang pos datang mengantarkan surat
untuknya. Katanya surat dari pengadilan di Tangerang. Begitu dibaca
isinya, Abinaya terkejut bukan main. Surat itu ternyata berisi putusan
pengadilan bahwa ia mengabulkan gugatan Daryanti, istrinya.
Yang membuat Abinaya seperti tersambar petir di siang bolong adalah
adanya tanda tangan dirinya di surat itu. Tanda tangan yang ditulis di
atas materai itu jelas buka tanda tangan dirinya, meski mirip sekali.
Abinaya segera curiga bahwa Wirawan ikut terlibat dalam merekayasa tanda tangan hingga keluarnya surat gugatan cerai itu.
Karena penasaran, Abinaya mendatangi pengadilan untuk melakukan
penyelidikan lagi. Ternyata benar, Wirawan dengan mengatasnamakan
dirinya, telah menandatangani persetujuan gugatan cerai. Surat-surat
yang dia percayakan sebagai buktinya.
Kabar yang beredar, Wirawan sengaja menjual kasus Abinaya karena
tergoda tawaran sejumlah uang menggiurkan. Sang istri dengan pria
selingkuhannya sengaja menawarkan sejumlah uang yang besar untuk
selembar surat cerai. Status janda sang istri mungkin lebih afdol dalam
melanggengkan hubungan mereka.
Saat itu ingin rasanya Abinaya menonjok Wirawan bertubi-tubi hingga
mati. Namun ia tak tahu harus kemana menemukan si pengacara hitam itu.
Ia menyalahkan diri sendiri karena terlalu percaya pada Wirawan. Rentang
25 tahun tentu telah membentuk pribadi Wirawan yang jauh berbeda dengan
yang ia kenal.
Sejak itu ia tak pernah lagi bertemu Daryanti dan anak-anaknya.
Mantan istrinya itu sengaja pindah rumah ke alamat yang tak diketahui
Abinaya.
Abinaya pun menjadi orangtua yang putus asa. Dalam kondisi seperti
itu, penyakit bermunculan. Sudah dua tahun sejak perceraian itu, Abinaya
tak bisa lagi pergi jauh-jauh karena penyakit stroke yang di deritanya.
Ia mengandalkan kebaikan tetangga desa dan sisa-sisa harta warisan
untuk membiayai hidupnya.
Suatu hari saat menonton televisi, Abinaya melihat wajah Wirawan
muncul sebagai pengacara kasus korupsi pilkada. Dengan spontan, Abinaya
pun berteriak. “Pengacara hitam…pengacara hitam. Bajingan!”
Namun suara itu tak lagi jelas terdengar bunyinya karena keluar dari
mulut seorang penderita stroke. Yang terlihat hanya air mata berlinang
di kedua pipi Abinaya.
Sebenarnya Abinaya sudah berusaha melupakannya. Ia ikhlas dengan
semua yang sudah dialaminya. Abinaya bahkan sudah memaafkan anak dan
istrinya meski mereka tak pernah lagi menengok keadaannya. Ia juga
menganggap Wirawan sebagai masa lalu.
Ternyata tak mudah. Wajah Wirawan di televisi itu membuatnya sadar
bahwa ia belum bisa ikhlas sepenuhnya. Karena itu, Abinaya menangis. (https://fiksikulo.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar