All the Presidents’ Lawyers
Sebelum jadi Presiden, Soekarno sudah pernah
berhadapan dengan peradilan. Saat menjadi Presiden, ia sering menyebut
orang hukum susah diajak melakukan revolusi.
Yogyakarta, 26 November 1961. Pembukaan Kongres I Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) bermakna penting bukan saja karena baru pertama kali digelar, tetapi juga karena dihadiri Presiden Soekarno. Sejumlah lawyer ternama hadir dalam acara itu.
Dalam ide-ide revolusi yang sering dilontarkan Presiden Soekarno, orang-orang hukum, jurist, tampaknya sangat sulit diajak turut serta. Bung Karno berkali-kali mengutip pidato aktivis buruh Jerman, Liebknecht, ‘Met jusristen kan je revolutie maken’. Orang hukum susah diajak melakukan revolusi. Itu pula yang disampaikan Bung Karno dalam Kongres I Persahi tersebut.
“Ahli hukum, jurist, kebanyakan sangat legalistis, sangat memegang kepada hukum-hukum yang prevaleren,
sangat memegang kepada hukum-hukum yang ada, sehingga jikalau diajak
revolusi –revolusi yang berarti melemparkan hukum yang ada, a revolution rejects yesterday ….amat sulitlah yang demikian itu,” ucap Bung Karno dalam pidatonya kala itu.
Bung Karno adalah tokoh yang sebelum menjadi presiden pun sudah
berhadapan dengan kasus hukum. Di era pergerakan kemerdekaan, Bung Karno
ditangkap Belanda bersama sejumlah tokoh Partai Nasional Indonesia
(PNI). Mereka diadili di Landraad Bandung, sidang dimulai pada 18
Agustus 1930. Di persidangan, Bung Karno dan kawan-kawan dibela oleh
pengacara Mr. Sartono – kelak menjadi Ketua DPR pertama -, Mr
Sastromulyono, Mr. Suyudi, dan Raden Idih Prawiradiputra.
Sebagai pengacara, Mr. Sartono memberikan pembelaan atas Bung Karno. Seperti termuat dalam buku Mr Sartono, Karya dan Pengabdiannya (ditulis Nyak Wali AT, 1985), pledoi Mr Sartono menganggap Bung Karno tak bersalah sesuai tuduhan penuntut.
“Tuan Presiden! Yang tertuduh pertama (tuan Ir. Soekarno) telah
berbicara panjang lebar dan membuktikan dengan jalan yang bagus dan
membangkitkan kepercayaan, bahwa mereka bersih daripada perbuatan yang
dituduhkan kepada mereka. Oleh sebab itu surat pembelaan atau pledoi
kami hanya akan tertuju kepada beberapa keterangan-keterangan yang
bergantung dengan surat penyerahan kepada persidangan Landraad (surat
tuduhan acte van wervijzing), dengan caranya memberi bukti
(bewijsvoering) dan harganya tanda-tanda bukti (berwijsmiddeelen)”.
Landraad menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara kepada Bung Karno. Aktivis
PNI lainnya Gatot Mangkoepradja dihukum 2 tahun, Maskoen dihukum 1
tahun 8 bulan, dan Soepriadinata 1 tahun 3 bulan. Seperti disebut dalam Bung Karno di Hadapan Pengadilan Kolonial, Bung Karno akhirnya mendapat remisi sehingga hukumannya menjadi dua tahun.
Ketika menjadi Presiden, Bung Karno juga dihadapkan pada persoalan
serupa. Bahkan lebih berat, ada warga yang dituduh berkomplot melakukan
upaya pembunuhan terhadap Bung Karno. Itu terjadi pada peristiwa Cikini,
30 November 1957. Sejumlah orang ditangkap, dibawa ke pengadilan
tentara, dengan tuduhan makar kepada Presiden Soekarno. Warga sipil
bernama Yusuf Ismail, Sa’adon bin Mohammad, Tasrif, dan Mohamad Tasim
duduk di kursi terdakwa gara-gara kasus pelemparan granat ke arah
Presiden Soekarno.
Pengacara yang membela para terdakwa kasus ini adalah Mr. Harjono
Tjitrosoebeno. Dalam pledoi Harjono meminta hakim memilah kapasitas
Soekarno datang ke Cikini sebagai presiden atau sebagai pribadi, orang
tua murid. “Bahwa Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno pada tanggal 30
November 1957 sore telah mengunjungi dan ada hadir pada perayaan
(bazaar) Sekolah Rakyat Cikini di Jalan Cikini Raya No. 76 di Jakarta,
tidak dalam kualiteit beliau sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia, akan tetapi sebagai perseorangan (in persoon) dalam prive
sebagai orangtua, ialah sebagai bapak dari murid”.
“Berhubung dengan itu, maka elemen Presiden dalam perbuatan yang
dituduhkan kepada para terdakwa seperti yang disebut dalam Pasal 104
KUHP terbukti tidak ada, atau setidak-tidaknya elemen presiden tidak
terbukti”. Di pengadilan tinggi tentara, para terdakwa dinyatakan
terbukti berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Majelis yang memutus
perkara itu di tingkat banding adalah R. Tjitrosudibio, AJ Mokoginta,
dan Roekminta.
Bung Karno pernah diangkat MPRS menjadi Presiden seumur hidup. Namun
peristiwa G.30.S membuat kursi kepresidenan yang diduduki Bung Karno
goyah. Lewat Surat Perintah 11 Maret, kendali Bung Karno atas keamanan
beralih ke tangan Soeharto. Bung Karno akhirnya dijadikan tahanan rumah
di Wisma Yaso. Salah satu yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah
status Bung Karno dalam peristiwa G.30.S. Hingga presiden pertama itu
wafat tak pernah ada proses pengadilan yang menyatakan ia terlibat atau
tidak dalam peristiwa itu.
Terhadap hal ini, advokat S. Tasrif menulis di Indonesia Raya
edisi 17 Juli 1970. “Tidak ada orang yang lebih berkepentingan
mendudukkan peranan BK (Bung Karno) pada proporsi yang sebenarnya dalam
peristiwa G.30.S daripada keluarganya sendiri. Maka oleh karena itu,
sekiranya keluarga BK menghendaki adanya suatu uitspraak (penetapan, pernyataan--red)
dari pengadilan mengenai terlibat tidaknya BK dalam peristiwa G.30.S,
menurut hemat saya, salah seorang dari anggota keluarga ini dapat
mengajukan pengaduan terhadap salah seorang yang sesudah BK meninggal
menuduh BK berkhianat”. Pandangan S. Tasrif itu juga dimuat dalam
bukunya Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru (Peradin, 1971).
Puluhan tahun kemudian, sebuah yayasan bernama Yayasan Mahakarya Pati
mempersoalkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut
kekuasaan Presiden Soekarno, ke Mahkamah Konstitusi. Ketika tulisan ini
dibuat, permohonan judicial review itu masih berlangsung, meskipun hakim sudah mengingatkan Mahkamah Konstitusi tak berwenang menguji TAP MPR.
Anak sulung Soekarno, Megawati Soekarnoputri kemudian tampil sebagai
presiden, menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelum menjadi
Presiden, Megawati juga menghadapi problem hukum berkaitan dengan kasus
27 Juli 1996 dan perpecahan di tubuh PDI Perjuangan. Sebagai Ketua Umum
partai, Megawati tercatat pernah digugat ke pengadilan. Berkaitan dengan
kasus-kasus hukum, terutama setelah kasus 27 Juli, sejumlah pengacara
membentuk Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang kini dipimpin
pengacara Petrus Selestinus.
Hubungan Megawati dengan pengacara bisa dirujuk pada payung hukum
advokat. Pada masa Presiden Megawati-lah Undang-Undang Advokat lahir.
Namun sebagai Presiden, Megawati tak bersedia menandatangani UU No. 18
Tahun 2003 tersebut. Kuat dugaan penolakan ini berkaitan dengan
kebolehan lulusan sarjana syariah menjadi advokat. Pemerintah akhirnya
setuju lebih karena pertimbangan politik agar mendapat dukungan dari
partai-partai berbasis Islam di parlemen. Dugaan ini antara lain
disampaikan Fajar Laksono dan Subardjo dalam buku mereka ‘Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden (UII Press, 2006).
Seperti presiden lainnya, kepemimpinan Megawati juga tak luput dari
kritik pedas, bahkan terkesan vulgar. Salah satu kasus yang tercatat
berujung ke pengadilan adalah tulisan-tulisan harian Rakyat Merdeka.
Beberapa judul tulisan pada edisi Januari dan Februari 2003 harian itu
dianggap menghina Presiden Megawati. Misalnya, judul ‘Mulut Mega Bau
Solar’, ‘Mega Lebih Ganas dari Sumanto’. Dalam kasus ini pelapornya
bukan Presiden Megawati, melainkan seorang anggota kepolisian. Redaktur
Eksekutif Rakyat Merdeka, Supratman, dihadapkan ke meja hijau. Di pengadilan, Supratman dibela Adnan Buyung Nasution dkk.
PN Jakarta Selatan menghukum Supratman 6 bulan penjara dengan masa
percobaan 12 bulan. Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 137 KUHP.
Dalam jabatannya sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Megawati menunjuk pengacara profesional untuk menghadapi
gugatan. Sirra Prayuna, misalnya, mengaku beberapa kali menjadi kuasa
hukum Megawati, termasuk berkaitan dengan partai. “Kalau ada gugatan
terhadap Ibu Megawati, saya salah satu kuasa hukum beliau,” kata Sirra
kepada hukumonline.
Lawyer yang dekat dengan Megawati baik sebelum maupun setelah
jadi Presiden, Dwi Ria Latifa, menceritakan testimoni kepengacaraannya
dalam buku Megawati Anak Putra Sang Fajar (2012). “Awalnya,
saya hanya pengacara PDI Pro-Mega, pengacara PDI Perjuangan, dan
selanjutnya pengacara Ibu Mega untuk kasus-kasus era reformasi. Ketika
saya kenal beliau pada 1996, saya sudah menjadi pengacara profesional
yang punya kantor sendiri, karyawan yang cukup lumayan, dan klien-klien
yang cukup besar”. Pergaulan dengan Megawati itu akhirnya mendorong
Dwi Ria Latifa ikut berpolitik, dan melenggang ke Senayan sebagai
anggota Dewan.
Dwi Ria Latifa menilai Megawati sebagai pemimpin yang berkarakter. Ia
tidak dendam kepada mantan Presiden Soeharto yang saat itu hendak
diadili. Kepada Dwi Ria Latifa, Megawati mengatakan: “Tidak berarti saya
harus dendam dengan memperlakukan Pak Harto sama seperti bapak saya
diperlakukan oleh beliau”.
Penelusuran lain mengenai perkara hukum Megawati berkaitan dengan
pemilu. Ketika kalah dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009,
pasangan Megawati-Prabowo juga menggunakan jasa pengacara untuk
melakukan upaya hukum. Dan ketua tim hukum pasangan ini saat itu adalah
Gayus T Lumbuun. Kini, Gayus tercatat sebagai salah seorang hakim agung.
Uniknya, sebuah catatan bertarikh 16 November 2001 mengungkapkan Gayus
pernah menjadi kuasa hukum Lembaga Studi Advokasi Independensi Peradilan
Indonesia (Ls-ADIPI) untuk dan atas nama kelompok masyarakat
Timor-Timur Pro Integrasi. Kelompok ini menggugat pemerintah Indonesia
c/q Presiden Megawati Soekarnoputri dan tergugat II mantan Presiden BJ
Habibie. Gugatan itu diajukan secara class action di PN Jakarta Pusat. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar