Rabu, 10 Desember 2014

Amistad, Perjuangan Pengacara Membebaskan ‘Budak’

Amistad adalah nama sebuah kapal (La Amistad) milik Spanyol yang mengangkut orang-orang Afrika untuk dijadikan budak secara illegal, selanjutnya nama kapal tersebut (Amistad) menjadi sebuah judul film yang diangkat dari kisah nyata atas peristiwa tersebut. Dalam film ini banyak pelajaran yang dapat dipetik, khususnya bagi pengacara yang punya fokus terhadap Hak Asasi Manusia (Human Rights) dan Hukum Internasional. Pada masa itu, perbudakan adalah sesuatu yang lazim terjadi di Amerika Serikat, atau boleh dikatakan sah secara hukum. Namun demikian, perbudakan di Amerika Serikat harus mengacu dan mengikuti ketentuan hukum serta perundang-undangan yang berlaku, khususnya mengenai perbudakan (slavery).
Secara singkat, kasus Amistad bermula dari sebuah perjalanan dimana sebuah kapal mengangkut segerombolan orang-orang kulit hitam (Negro) untuk dijadikan budak, mereka diculik dari tempat tinggal mereka di sebuah desa di Afrika. Ditengah perjalanan, salah seorang Negro mampu melepaskan diri dari ikatan rantai dan melakukan pemberontakan bahkan pembunuhan terhadap awak kapal (penculik), hingga tersisa 2 orang yang bertugas sebagai nakhoda dan dipaksa para Negro untuk mengembalikan mereka ke desanya. Namun sayangnya, perjalanan kembali ke desa tidak sesuai harapan, justru kapal tersebut ditemukan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dan seluruh Negro ditangkap untuk kemudian diadili.
Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan bahwa para Negro tersebut adalah budak (sah/legal) dan melakukan tindak pidana pembunuhan, namun sayangnya pada persidangan pertama (preliminary hearing) belum ada pengacara yang mendampingi atau menjadi kuasa hukum para Negro. Hingga akhirnya, seorang pengacara muda menawarkan kerjasama dengan aktivis anti-perbudakan untuk membela para Negro tersebut.
Disinilah menariknya, kepiawaian seorang pengacara untuk menganalisis dan melakukan pemetaan terhadap sebuah perkara, serta menyiapkan pembelaan (pledoi). Secara garis besar, dasar hukum pembelaan yang digunakan oleh pengacara tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Bahwa mereka (Negro) adalah orang-orang yang terlahir secara bebas (free) sebagai manusia dan dan berasal dari daerah tertentu (natives), yang kemudian diculik dari desanya untuk dijadikan budak secara melawan hukum (illegal).

  2. Bahwa budak yang sah menurut hukum (AS) adalah orang-orang yang terlahir sebagai budak sejak awal, seperti misalnya mereka yang lahir dan besar di sebuah perkebunan milik majikan, dimana orang tua mereka adalah juga menjadi budak pada perkebunan tersebut.

  3. Bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh para Negro tersebut adalah semata-mata sebagai upaya pembelaan diri (self-defense) terhadap ancaman dan keselamatan diri mereka. Sehingga tindakan tersebut dapat dimaafkan oleh hukum.
Sepanjang persidangan ternyata ditemukan bukti yang sangat menentukan yakni adanya daftar nama para Negro tersebut yang tertera dalam sebuah dokumen milik kapal lain, dengan kata lain telah terjadi perpindahan (transported) para Negro tersebut dari kapal (lain) ke kapal (Amistad) dengan dokumen yang tidak sesuai peruntukannya. Dengan adanya dokumen tersebut, semakin membuktikan bahwa para Negro tersebut memang dipaksa untuk dijadikan budak secara melawan hukum (unlawful) dengan diculik dan penyelundupan. Hingga pada akhirnya hakim pengadilan tingkat pertama memutuskan bahwa para Negro tersebut harus dibebaskan.
Kemenangan di pengadilan tingkat pertama mendapat reaksi keras dari para komunitas pro perbudakan ditambah situasi politik yang pada saat itu dipimpin oleh pemerintah yang mendukung sistem perbudakan dengan  kerjasama pihak Pemerintah Spanyol, hingga akhirnya Pemerintah Amerika Serikat melalui Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum (appeal) kepada Mahkamah Agung (Supreme Court). Alasannya adalah, Pemerintah AS khawatir jika pihak Negro dibiarkan menang maka akan menjadi yurisprudensi atau preseden yang pada gilirannya mempengaruhi sistem perbudakan di Amerika Serikat bahkan menghapus perbudakan.
Sekali lagi, kepiawaian pengacara pada tingkat Mahkamah Agung membuahkan kemenangan, dan tak kalah pentingnya adalah keterlibatan mantan Presiden Amerika Serikat (John Quincy Adam) turut serta sebagai kuasa hukum para Negro. Perjuangan menghapus perbudakan merupakan perjuangan berat di bidang Hak Asasi Manusia, karena sistem yang ada pada saat itu memang melegalkan adanya perbudakan. Bahkan konon, beberapa hakim agung yang turut memeriksa perkara Amistad juga memelihara budak untuk bekerja dikebunnya.
Kemenangan para Negro dalam kasus Amistad menjadi inspirasi dan yurisprudensi bagi sistem hukum dan politik di Amerika Serikat dan seluruh dunia dalam penegakan dan perjuangan Hak Asasi Manusia, khususnya penghapusan sistem perbudakan. (http://hiburan.kompasiana.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar