Secara singkat,
kasus Amistad bermula dari sebuah perjalanan dimana sebuah kapal
mengangkut segerombolan orang-orang kulit hitam (Negro) untuk dijadikan
budak, mereka diculik dari tempat tinggal mereka di sebuah desa di
Afrika. Ditengah perjalanan, salah seorang Negro mampu melepaskan diri
dari ikatan rantai dan melakukan pemberontakan bahkan pembunuhan
terhadap awak kapal (penculik), hingga tersisa 2 orang yang bertugas
sebagai nakhoda dan dipaksa para Negro untuk mengembalikan mereka ke
desanya. Namun sayangnya, perjalanan kembali ke desa tidak sesuai
harapan, justru kapal tersebut ditemukan oleh Angkatan Laut Amerika
Serikat dan seluruh Negro ditangkap untuk kemudian diadili.
Jaksa Penuntut
Umum mengajukan dakwaan bahwa para Negro tersebut adalah budak
(sah/legal) dan melakukan tindak pidana pembunuhan, namun sayangnya pada
persidangan pertama (preliminary hearing) belum ada pengacara
yang mendampingi atau menjadi kuasa hukum para Negro. Hingga akhirnya,
seorang pengacara muda menawarkan kerjasama dengan aktivis
anti-perbudakan untuk membela para Negro tersebut.
Disinilah
menariknya, kepiawaian seorang pengacara untuk menganalisis dan
melakukan pemetaan terhadap sebuah perkara, serta menyiapkan pembelaan
(pledoi). Secara garis besar, dasar hukum pembelaan yang digunakan oleh
pengacara tersebut adalah sebagai berikut:
- Bahwa mereka (Negro) adalah orang-orang yang terlahir secara bebas (free) sebagai manusia dan dan berasal dari daerah tertentu (natives), yang kemudian diculik dari desanya untuk dijadikan budak secara melawan hukum (illegal).
- Bahwa budak yang sah menurut hukum (AS) adalah orang-orang yang terlahir sebagai budak sejak awal, seperti misalnya mereka yang lahir dan besar di sebuah perkebunan milik majikan, dimana orang tua mereka adalah juga menjadi budak pada perkebunan tersebut.
- Bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh para Negro tersebut adalah semata-mata sebagai upaya pembelaan diri (self-defense) terhadap ancaman dan keselamatan diri mereka. Sehingga tindakan tersebut dapat dimaafkan oleh hukum.
Sepanjang persidangan ternyata ditemukan
bukti yang sangat menentukan yakni adanya daftar nama para Negro
tersebut yang tertera dalam sebuah dokumen milik kapal lain, dengan kata
lain telah terjadi perpindahan (transported) para Negro
tersebut dari kapal (lain) ke kapal (Amistad) dengan dokumen yang tidak
sesuai peruntukannya. Dengan adanya dokumen tersebut, semakin
membuktikan bahwa para Negro tersebut memang dipaksa untuk dijadikan
budak secara melawan hukum (unlawful) dengan diculik dan
penyelundupan. Hingga pada akhirnya hakim pengadilan tingkat pertama
memutuskan bahwa para Negro tersebut harus dibebaskan.
Kemenangan di
pengadilan tingkat pertama mendapat reaksi keras dari para komunitas pro
perbudakan ditambah situasi politik yang pada saat itu dipimpin oleh
pemerintah yang mendukung sistem perbudakan dengan kerjasama pihak
Pemerintah Spanyol, hingga akhirnya Pemerintah Amerika Serikat melalui
Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum (appeal) kepada Mahkamah Agung (Supreme Court).
Alasannya adalah, Pemerintah AS khawatir jika pihak Negro dibiarkan
menang maka akan menjadi yurisprudensi atau preseden yang pada
gilirannya mempengaruhi sistem perbudakan di Amerika Serikat bahkan
menghapus perbudakan.
Sekali lagi,
kepiawaian pengacara pada tingkat Mahkamah Agung membuahkan kemenangan,
dan tak kalah pentingnya adalah keterlibatan mantan Presiden Amerika
Serikat (John Quincy Adam) turut serta sebagai kuasa hukum para Negro.
Perjuangan menghapus perbudakan merupakan perjuangan berat di bidang Hak
Asasi Manusia, karena sistem yang ada pada saat itu memang melegalkan
adanya perbudakan. Bahkan konon, beberapa hakim agung yang turut
memeriksa perkara Amistad juga memelihara budak untuk bekerja
dikebunnya.
Kemenangan para
Negro dalam kasus Amistad menjadi inspirasi dan yurisprudensi bagi
sistem hukum dan politik di Amerika Serikat dan seluruh dunia dalam
penegakan dan perjuangan Hak Asasi Manusia, khususnya penghapusan sistem
perbudakan. (http://hiburan.kompasiana.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar