Kasus penggusuran warga selalu saja menyisakan persoalan. Dan warga korban penggusuran jarang menang manakala kasusnya bergulir di meja hijau. Akankah nasib warga Kebonwaru, Kota Bandung, ini seperti kebanyakan warga yang kalah.
==============
Puluhan warga korban penggusuran di tiga Rukun Warga (RW),
Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, pagi itu (3/11)
menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Dalam aksinya
warga sempat melakukan aksi blokir Jalan RE Martadinata, yang berimbas pada
kemacetan lalu-lintas. Aksi warga sambil membawa poster-poster bernada protes
ini sempat menimbulkan kemacetan kendaraan. Isi poster antara lain bertuliskan
“Pa Wali Selfie Yu di Bongkaran Rumah2 Kami” dan “Wali Kota Jangan Berdiam
Saja”.
Semula warga yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak
itu berunjuk-rasa di halaman PN Bandung. Lalu warga bergeser ke luar gedung PN
Bandung dengan melakukan orasi serta spontanitas menutup jalan selama kurang 10
menit.
Sementara di ruang sidang PN Bandung tengah berlangsung
sidang perdana gugatan 52 kepala keluarga (KK) terhadap Pemkot Bandung dan
sejumlah pihak berkaitan penggusuran lahan di Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan
Batununggal, Kota Bandung. Angka gugatannya sangat fantastis, 52 penggugat atau
per satu KK menuntut ganti rugi uang Rp1 triliun sehingga totalnya Rp52
triliun.
Heri Wijaya, kuasa hukum 52 KK atau penggugat, mengatakan surat
gugatan kliennya bernomor 425/PDT G/2015/PN.Bdg sudah masuk PN Bandung pada tanggal
2 Oktober 2015. Para pihak tergugat adalah Pemkot Bandung, Satpol PP Kota
Bandung, Pemprov Jabar, Kantor BPN Kota Bandung, PT Mega Chandra Purabuana dan
Yuyun Hakim Chaniago.
Ke-52 KK ini berasal dari tiga RW di Kelurahan Kebonwaru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, yang digusur dari tempat tinggalnya pada
Agustus 2015 lalu. Sidang perdana beragendakan pemeriksaan kelengkapan berkas
perkara ini dipimpin langsung Wakil Ketua PN Bandung Dwi Sugiarto.
Heri menyebutkan, sidang perdana itu hanya dihadiri pihak
tergugat kedua yaitu PT Mega Chandra Purabuana (MCP) yang diwakili kuasa
hukumnya. Tergugat satu yakni Pemkot Bandung serta tergugat lainnya tidak hadir
atau tanpa perwakilan.
"Terus terang saja, kami kecewa pihak Pemkot Bandung
tidak datang," ucap Heri kepada wartawan.
Dia mengatakan, Pemkot Bandung sebagai tergugat tidak
memberikan kejelasan dan alasan mengapa berhalangan hadir dalam persidangan.
"Semestinya Pemkot Bandung memberikan contoh baik untuk warganya soal taat
hukum," ujar Heri.
Jika tadi para terggugat menghadiri sidang, sambung Heri, pekan
depan proses sidang bisa masuk tahap mediasi. Sidang lanjutan perkara perdata
tersebut kembali digelar pada Selasa 10 November mendatang dengan agendanya
masih pemeriksaan kelengkapan berkas.
Kekecewaan spontan muncul dari warga yang menggugat Pemkot
Bandung dan para pihak itu. "Sejak pagi tadi kami datang, tapi sampai
siang atau selesai sidang, wali kota Bandung atau perwakilannya enggak
ada yang hadir dalam persidangan," ucap salah satu warga, Ade Candra (38).
Gugatan dilayangkan oleh para penggugat dan sudah masuk ke
Pengadilan Negeri (PN) Bandung, dengan gugatan No 425/PDT G/2015/PN.Bdg tanggal
2 Oktober 2015. Pengamat hukum tata Negara dari Universitas Padjadjaran Asep
Warlan Yusuf mendorong agar Pemkot Bandung berani menghadapi gugatan warganya.
"Pemkot hadapi saja, jangan takut. Asalkan Pemkot punya alasan dan bukti
kuat," kata Asep Warlan Yusuf, awal Oktober lalu.
Asep menilai, masalah seperti ini memang kerap terjadi di
berbagai daerah, tak hanya di Bandung. Tetapi, terkadang gugatan yang
dilayangkan oleh warga sekadar gertakan saja. Biasanya, banyak faktor pendorong
lain termasuk ada pihak yang memanfaatkan. "Biasanya juga berkaitan dengan
bargaining. Saya kira Pemkot harus bisa tegas. Hadapi saja lah," ujarnya.
Masalah yang kini terjadi, lanjutnya, berawal dari adanya
ketidak-beresan dalam pengelolaan aset. Biasanya warga seolah mendapat
persetujuan lewat perjanjian pemanfaatan lahan. Namun mereka kerap menafsirkan
lain dan seolah mendapat persetujuan menempati lahan sampai kapan saja.
"Padahal sebenarnya mereka (warga) tidak punya hak
mengklaim. Dalam kasus ini, saya nilai masalah ganti rugi pun tidak ada
kewajibannya. Cuma masalah kemanusiaan saja. Sudah selayaknya pemerintah
memberikan kompensasi atau bantuan kepada mereka yang terkena dampak,"
katanya.
Fenomena yang terjadi, jelasnya, memang tidak bisa
dipisahkan dari ketidak-tertiban dalam memanfaatkan lahan milik pemerintah.
Padahal, harus dilihat secara pasti masalah status lahan, bagaimana pemanfaatan,
siapa yang memanfaatkan dan kapan pemanfaatan itu berakhir seandainya ada
sewa-menyewa.
"Sewa-menyewa itu ada masa berakhirnya. Jadi ketika
tidak ada lagi, maka hubungan hukum tidak ada lagi. Saya kira dalam masalah ini
Pemkot Bandung tidak salah. Hadapi saja, tidak ada masalah. Cuma saja
pendekatan kemanusiaan tetap harus dilakukan," tandas Asep. (BN)
Boks:
Alasan Warga Kebonwaru Gugat Pemkot Bandung
Kuasa hukum warga dari tiga RW di Kel. Kebonwaru, Kec.
Batununggal, Kota Bandung, Johnson Siregar, memberikan alasan-alasan mengapa 52
KK akhirnya membawa persoalan penggusuran itu hingga ke ranah hukum. Persoalan
itu, katanya, berawal dari adanya perjanjian kerjasama (PKS) antara Pemkot
Bandung dan PT MCP di tahun 1990 untuk pengelolaan lahan seluas 13,5 hektar
yang kini masuk rencana kawasan revitalisasi Kiaracondong.
Sejak saat itulah, warga yang menempati lahan di tiga RW di
Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan. Batununggal, diputus sewa-menyewanya oleh
Pemkot Bandung. Rencananya, di lahan itu akan dibangun sejumlah fasilitas
mewah, ruang terbuka dan lainnya.
"PKS antara Pemkot dan PT MCP pernah dicabut zaman Wali
Kota Pak Ateng Wahyudi. Lalu dihidupkan lagi tahun 2008 pada zaman Dada Rosada,
meski keputusan itu tidak didahului oleh surat atau rekomendasi dari Setneg dan
pengesahan dari Departemen Dalam Negeri. Tapi meski begitu, di era Ridwan
Kamil, eksekusi tetap dilakukan," papar Johnson, Selasa (6/10).
Dalam eksekusi yang dilakukan, Pemkot Bandung memang
merelokasi sebagian warga ke Rusunawa Rancacili. Akan tetapi sebanyak 52 KK
merasa diperlakukan tidak adil. "Akibat pembongkaran, banyak warga yang
terkena penyakit. Bahkan mantan atlet senam Amin Ikhsan yang sedang sakit
ginjal, rumahnya juga dibongkar," katanya.
Kuasa hukum lainnya, Rasman Habeahan, juga menyatakan, warga
mempertanyakan terkait ganti rugi yang daftar dan datanya sudah ada sejak tahun
1992 lalu. Namun kompensasi itu sama sekali tak pernah diterima oleh warga,
khususnya para penggugat.
"Pembongkaran itu dilakukan tanpa pemberitahuan.
Padahal warga sudah dirugikan, dan sepatutnya menerima ganti rugi," tandas
Rasman.
Sekadar informasi, lahan seluas 13,5 hektar yang semula
ditempati warga dan industri itu kini sebagian besar sudah rata dengan tanah. Sebagai
pemilik lahan, Pemkot Bandung sudah mengalihkan pengelolaan kepada PT MCP.
Rencananya, kawasan itu akan direvitalisasi menjadi kawasan jasa termasuk akan
dibangun Ruang Terbuka Hijau (RTH). (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar