Minggu, 30 Agustus 2015

OCK Kalah Cerdik dari KPK


KPK adu cepat dengan pelaksanaan sidang perdana gugatan praperadilan pengacara senior Otto Cornelis (OC) Kaligis. Hasilnya, gugatan OC ditolak pengadilan.
================

Pengacara senior yang satu ini senantiasa cerdik dan sukses memperjuangkan kepentingan klien yang dibelanya. Tapi, kali ini rupanya OC Kaligis kalah cerdik dibandingkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terbukti Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menolak gugatan praperadilan Otto Cornelis (OC) Kaligis buat melawan penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam putusan yang dibacakan pada sidang tanggal 24 Agustus lalu, hakim menilai pokok perkara pemohon sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat sejak 12 Agustus 2015. Dengan begitu praperadilan dinyatakan gugur.

"Menyatakan praperadilan pemohon atas nama Otto Cornelis Kaligis gugur. Dalam pokok permohonan yang diajukan Otto Cornelis Kaligis tidak dapat diterima," jelas Hakim Suprapto dalam putusannya di PN Jakarta Selatan.

Dalam putusannya, hakim menyatakan, karena pokok perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka status pemohon bukan lagi sebagai tersangka, melainkan terdakwa. "Dan membebankan biaya perkara kepada pemohon sebesar Rp10.000," tandas Hakim Suprapto.

Melalui tim kuasa hukumnya, pada tanggal 27 Juli 2015, OC Kaligis memohonkan proses gugatan praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). OC Kaligis ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap kepada tiga hakim dan satu panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Medan.

Tim kuasa hukum yang terdiri dari 150 anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tersebut telah mengajukan permohonan dengan Nomor Perkara 72/Pid.Prap/2015/PN.JKT.SEL dan Nomor SK 368/SK/HKM/VII/2015.

Salah seorang anggota tim kuasa hukum OCK, Jhonson Panjaitan, ketika itu menjelaskan bahwa permohonan sidang praperadilan tersebut bertujuan untuk menentukan status penahanan OCK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 14 Juli 2015.

"Kami melihat lebih pada prosedur yang menyangkut pelanggaran HAM. Soal status, awalnya Pak OCK dipanggil sebagai saksi pada 13 Juli 2015 tapi langsung ditangkap di sebuah hotel pada tanggal esok harinya (14 Juli 2015)," ujarnya menerangkan.

Dia berpendapat penahanan tersebut melanggar Hak Asasi Manusia, karena surat panggilan pemeriksaan terlambat diterima oleh OCK dan pada keesokan harinya langsung dilaksanakan penangkapan dan penahanan oleh KPK.

"Ternyata surat perintah penahanan dikeluarkan KPK pada 13 Juli, sedangkan status pemanggilannya masih sebagai saksi. Ini ada unsur perampasan kemerdekaan seseorang," tukasnya menambahkan.

Selain itu dia juga menyayangkan tindakan KPK saat melakukan penahanan yang melarang OCK untuk bertemu dengan kuasa hukum, keluarga, serta menyita telepon genggam pengacara tersebut.

Dalam kasus dugaan suap kepada tiga hakim dan satu panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan ini, KPK juga menetapkan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho dan istri mudanya, Evi Susanti, sebagai tersangka.

Sebelumnya pada Selasa 14 Juli 2015, penyidik KPK melakukan penjemputan terhadap OC Kaligis di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Usai dijemput dan dilakukan pemeriksaan, penyidik menetapkan OC Kaligis menjadi tersangka.

Kepada OC Kaligis disangkakan Pasal 6 Ayat 1 huruf a dan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 Ayat 1 jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang upaya memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Tak bisa menerima putusan hakim, tim kuasa hukum OC Kaligis langsung melancarkan protes kepada hakim. "Yang mulia punya hak memutuskan, tapi enggak boleh hanya karena perkara sudah dilimpahkan," ucap Kuasa Hukum OC Kaligis, Alamsyah Hanafiah, dalam sidang di PN Jaksel.

Ucapan Alamsyah lalu disambut kuasa hukum yang lain. Namun Hakim Suprapto lebih memilih mendengarkan protes para kuasa hukum tersebut.

"Ada pertimbangan lain yang seharusnya diutamakan hakim. Ini ada kesengajaan termohon (KPK) menggugurkan praperadilan, seharusnya itu yang dilihat," sahut kuasa hukum yang lain.

Aksi protes atas putusan hakim sempat berlangsung cukup lama. Hal itu lah yang membuat termohon KPK kemudian ikut angkat bicara. "Yang mulia karena sudah diputuskan, mohon bisa diterima seluruh pihak," kata Kuasa Hukum KPK Rasamala Aritonang.

Hakim Suprapto pun terlihat kesal dengan aksi protes dan perdebatan yang tak berujung tersebut. Dia memilih mengetok palu untuk yang kedua kalinya. "Tok! Terima kasih," ucap Suprapto.

Menanggapi penolakan gugatan praperadilan OC Kaligis oleh PN Jaksel, Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji menilai bahwa putusan hakim yang menggugurkan gugatan praperadilan OC Kaligis terhadap KPK sudah sesuai dengan amanah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Kami sejak awal sidang praperadilan sudah optimis tentang hal ini. Prinsipnya kami menghendaki speedy trial sesuai dengan amanah KUHAP," kata Indriyanto melalui pesan singkat yang diterima pers di Jakarta, Senin (24/8/2015).

Hal senada disampaikan Kuasa Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nur Chusniah yang menilai putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menggugurkan gugatan praperadilan Otto Cornelis (OC) Kaligis sudah tepat.

Nur menyatakan, protes yang dilancarkan tim kuasa hukum OC Kaligis tidak tepat. Pasalnya, dalam KUHAP sudah dinyatakan bahwa pokok perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka wewenang hakim untuk menggugurkan.

"Pertimbangan hakim sama dengan jawaban kita. Kapan dianggap gugur, sejak dilimpahkan di pengadilan, lalu hakim sidang," ujar Nur usai sidang di PN Jaksel.

Terkait protes kuasa hukum OC Kaligis yang beragumen tentang masih adanya praperadilan, sehingga KPK tidak berhak melimpahkan pokok perkara ke pengadilan, Nur menilai tidak ada alasan bagi mereka untuk menghentikan sidang pokok perkara.

Menurut Nur, jika pokok perkara oleh penyidik dianggap sudah layak disidangkan, maka tidak ada alasan menunda sidang karena adanya praperadilan. "Pada intinya (penetapan tersangka) kita sesuai bukti yang dimiliki, sesuai alat bukti yang cukup. Terkait protes mereka tanggal 10 kita sidang, itu tidak beralasan," tukasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar