KPK adu cepat dengan pelaksanaan sidang perdana
gugatan praperadilan pengacara senior Otto Cornelis (OC) Kaligis. Hasilnya,
gugatan OC ditolak pengadilan.
================
Pengacara senior yang satu ini senantiasa cerdik dan sukses memperjuangkan
kepentingan klien yang dibelanya. Tapi, kali ini rupanya OC Kaligis kalah
cerdik dibandingkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terbukti Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
menolak gugatan praperadilan Otto Cornelis (OC) Kaligis buat melawan penetapan
tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam putusan yang
dibacakan pada sidang tanggal 24 Agustus lalu, hakim menilai pokok perkara
pemohon sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta
Pusat sejak 12 Agustus 2015. Dengan begitu praperadilan dinyatakan gugur.
"Menyatakan praperadilan pemohon atas nama Otto
Cornelis Kaligis gugur. Dalam pokok permohonan yang diajukan Otto Cornelis
Kaligis tidak dapat diterima," jelas Hakim Suprapto dalam putusannya di PN
Jakarta Selatan.
Dalam putusannya, hakim menyatakan, karena pokok perkara
sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka status pemohon bukan lagi sebagai
tersangka, melainkan terdakwa. "Dan membebankan biaya perkara kepada
pemohon sebesar Rp10.000," tandas Hakim Suprapto.
Melalui tim kuasa hukumnya, pada tanggal 27 Juli 2015, OC
Kaligis memohonkan proses gugatan praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). OC Kaligis ditetapkan tersangka dalam kasus
dugaan suap kepada tiga hakim dan satu panitera Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), Medan.
Tim kuasa hukum yang terdiri dari 150 anggota Asosiasi
Advokat Indonesia (AAI) tersebut telah mengajukan permohonan dengan Nomor
Perkara 72/Pid.Prap/2015/PN.JKT.SEL dan Nomor SK 368/SK/HKM/VII/2015.
Salah seorang anggota tim kuasa hukum OCK, Jhonson
Panjaitan, ketika itu menjelaskan bahwa permohonan sidang praperadilan tersebut
bertujuan untuk menentukan status penahanan OCK oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada 14 Juli 2015.
"Kami melihat lebih pada prosedur yang menyangkut
pelanggaran HAM. Soal status, awalnya Pak OCK dipanggil sebagai saksi pada 13
Juli 2015 tapi langsung ditangkap di sebuah hotel pada tanggal esok harinya (14
Juli 2015)," ujarnya menerangkan.
Dia berpendapat penahanan tersebut melanggar Hak Asasi
Manusia, karena surat panggilan pemeriksaan terlambat diterima oleh OCK dan
pada keesokan harinya langsung dilaksanakan penangkapan dan penahanan oleh KPK.
"Ternyata surat perintah penahanan dikeluarkan KPK pada
13 Juli, sedangkan status pemanggilannya masih sebagai saksi. Ini ada unsur
perampasan kemerdekaan seseorang," tukasnya menambahkan.
Selain itu dia juga menyayangkan tindakan KPK saat melakukan
penahanan yang melarang OCK untuk bertemu dengan kuasa hukum, keluarga, serta
menyita telepon genggam pengacara tersebut.
Dalam kasus dugaan suap kepada tiga hakim dan satu panitera
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan ini, KPK juga menetapkan Gubernur
Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho dan istri mudanya, Evi Susanti,
sebagai tersangka.
Sebelumnya pada Selasa 14 Juli 2015, penyidik KPK melakukan
penjemputan terhadap OC Kaligis di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Usai
dijemput dan dilakukan pemeriksaan, penyidik menetapkan OC Kaligis menjadi
tersangka.
Kepada OC Kaligis disangkakan Pasal 6 Ayat 1 huruf a dan
Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 Ayat 1 jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang upaya memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara
paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil
Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Tak bisa menerima putusan hakim, tim kuasa hukum OC Kaligis
langsung melancarkan protes kepada hakim. "Yang mulia punya hak
memutuskan, tapi enggak boleh hanya karena perkara sudah
dilimpahkan," ucap Kuasa Hukum OC Kaligis, Alamsyah Hanafiah, dalam sidang
di PN Jaksel.
Ucapan Alamsyah lalu disambut kuasa hukum yang lain. Namun
Hakim Suprapto lebih memilih mendengarkan protes para kuasa hukum tersebut.
"Ada pertimbangan lain yang seharusnya diutamakan
hakim. Ini ada kesengajaan termohon (KPK) menggugurkan praperadilan, seharusnya
itu yang dilihat," sahut kuasa hukum yang lain.
Aksi protes atas putusan hakim sempat berlangsung cukup
lama. Hal itu lah yang membuat termohon KPK kemudian ikut angkat bicara.
"Yang mulia karena sudah diputuskan, mohon bisa diterima seluruh pihak,"
kata Kuasa Hukum KPK Rasamala Aritonang.
Hakim Suprapto pun terlihat kesal dengan aksi protes dan
perdebatan yang tak berujung tersebut. Dia memilih mengetok palu untuk yang
kedua kalinya. "Tok! Terima kasih," ucap Suprapto.
Menanggapi penolakan gugatan praperadilan OC Kaligis oleh PN
Jaksel, Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji menilai bahwa
putusan hakim yang menggugurkan gugatan praperadilan OC Kaligis terhadap KPK
sudah sesuai dengan amanah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kami sejak awal sidang praperadilan sudah optimis
tentang hal ini. Prinsipnya kami menghendaki speedy trial sesuai dengan
amanah KUHAP," kata Indriyanto melalui pesan singkat yang diterima pers di
Jakarta, Senin (24/8/2015).
Hal senada disampaikan Kuasa Hukum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Nur Chusniah yang menilai putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (PN Jaksel) yang menggugurkan gugatan praperadilan Otto Cornelis (OC)
Kaligis sudah tepat.
Nur menyatakan, protes yang dilancarkan tim kuasa hukum OC
Kaligis tidak tepat. Pasalnya, dalam KUHAP sudah dinyatakan bahwa pokok perkara
yang sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka wewenang hakim untuk menggugurkan.
"Pertimbangan hakim sama dengan jawaban kita. Kapan
dianggap gugur, sejak dilimpahkan di pengadilan, lalu hakim sidang," ujar
Nur usai sidang di PN Jaksel.
Terkait protes kuasa hukum OC Kaligis yang beragumen tentang
masih adanya praperadilan, sehingga KPK tidak berhak melimpahkan pokok perkara
ke pengadilan, Nur menilai tidak ada alasan bagi mereka untuk menghentikan
sidang pokok perkara.
Menurut Nur, jika pokok perkara oleh penyidik dianggap sudah
layak disidangkan, maka tidak ada alasan menunda sidang karena adanya
praperadilan. "Pada intinya (penetapan tersangka) kita sesuai bukti yang
dimiliki, sesuai alat bukti yang cukup. Terkait protes mereka tanggal 10 kita
sidang, itu tidak beralasan," tukasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar