Jumat, 03 Juli 2015

LBH Jakarta Paparkan Perpres tentang Pengungsi di Indonesia

Mereka akan diisolir dengan masyarakat Indonesia dan akan ada pihak kepolisian yang menjaga mereka. Tetapi selama di tempat penampungan sementara, bagaimana rumah sakitnya, pendidikan, dan lain sebagainya itu tidak dibahas.
LBH Jakarta Paparkan Perpres tentang Pengungsi di Indonesia
BBC Indonesia

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yunita, S.H, mengatakan bahwa masalah pengungsi  di Indonesia terus mengemuka karena ketiadaan regulasi yang jelas dan pasti.
Hal itu diutarakan Yunita dalam acara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan PAHAM Indonesia bekerjasama dengan PIARA dan Rumah Zakat dengan tema “Rohingya The Stateless Refugee” di Sofyan Hotel Betawi, Jalan Cut Mutiah No.09, Jakarta, Kamis (02/07/2015).
“Sekitar bulan Juni kemarin, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia itu sekitar 13 ribu. Itu angka yang semakin lama semakin tinggi. Tetapi belum ada aturan hukum yang mengatur hal itu,” kata Yunita di hadapan peserta yang juga dihadiri Hidayatullah.com. 
Yunita mengungkapkan jika saat ini Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sedang menggodok Perpres. Dari hasil audiensi dengan pihaknya, katanya, pihak Kemenlu akan bertemu dua kali lagi dengan LBH Jakarta, karena tinggal menyelesaikan masalah teknis saja, kemudian setelah itu Perpres akan disahkan.
Tetapi, jelas Yunita, perlu menjadi catatan bagi kita semua, bahwa kita harus mengawal isi dari Perpres itu, karena sama sekali tidak sempurna. Ada beberapa masalah yang terjadi dalam menangani pengungsi Rohingya yaitu detensi.
“Mereka sebenarnya ditempatkan di detensi yang tidak layak. Itu sebenarnya adalah penjara, bukan tempat yang layak untuk pengungsian,” ungkap Yunita.
Dalam Perpres tersebut, lanjut Yunita, ada kemajuan yaitu para pengungsi Rohingya akan ditempatkan di tempat penampungan di antaranya di wilayah barat, tengah dan timur Indonesia. Tetapi standarnya seperti apa itu belum dijelaskan dalam Perpres tersebut.
“Apakah tempat penampungan itu akan layak atau tidak, apakah tempat penampungan itu akan seperti pulau Galang. Lalu bagaimana teknisnya itu tidak dijelaskan,” kata Yunita.
Karena kalau menurut Perpresnya, kata Yunita lagi, itu akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Pemda). Dari hasil penjelasan Perpresnya –dalam draft protapnya, kurang lebih para pencari suaka dan pengungsi itu akan ditempatkan di suatu lokasi khusus.
“Mereka akan diisolir dengan masyarakat Indonesia dan akan ada pihak kepolisian yang menjaga mereka. Tetapi selama di tempat penampungan sementara, bagaimana rumah sakitnya, pendidikan, dan lain sebagainya itu tidak dibahas. Nah, itu bisa menjadi masukan buat kita untuk melakukan advokasi Perpresnya,” papar Yunita.
Yunita menyampaikan masukan jika ingin melakukan advokasi lebih lanjut, sebenarnya bisa melakukan advokasi aksesi atau ratifikasi dari konvensi 1951.
Yunita menyebutkan pihaknya  sudah melakukan ranham dua kali, dan ini yang ketiga kalinya ranham, tetapi tidak pernah disahkan sama sekali oleh pemerintah Indonesia karena alasannya adalah beban. Padahal, menurutnya, sebenarnya ini bukan masalah waga negara mana tetapi ini masalah kemanusiaan.
“Tidak peduli itu siapa, warga negara mana, mereka harus diperlakukan dengan layak, setidak-tidaknya sebagai manusia,” kata Yunita.
Oleh karena itu, menurut Yunita penting sekali adanya pengaturan tentang aksesi tersebut agar supaya terus digalakkan di Kemenlu. Sebab, lanjutnya, pertama mengenai masalah penempatan pengungsi di negara ketiga.
Ditegaskan Yunita, pengungsi Rohingya tidak akan pernah menjadi warga negara Indonesia selama Indonesia belum meratifikasi konvensi 1951.
“Jadi, otomatis yang akan pengungsi dapatkan hanya dikembalikan ke negara asalnya atau ke negara ketiga,” pungkas Yunita. (http://www.hidayatullah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar