Selasa, 19 Mei 2015

Pola Praperadilan Pasca Putusan MK Berpotensi Membahayakan Alat Bukti



Pengadilan menegaskan bukti-bukti asli wajib ditunjukan di muka sidang guna meyakinkan hakim bahwa fotocopy yang diajukan bersumber dari aslinya.
Pola Praperadilan Pasca Putusan MK Berpotensi Membahayakan Alat Bukti
Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji. Foto: SGP.
Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji mengatakan pola praperadilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi membahayakan alat bukti dan penegakan hukum. Pasalnya, penegak hukum selaku termohon praperadilan wajib menunjukan alat bukti asli yang mereka miliki di sidang praperadilan.
"Pola pemeriksaan terbalik atau 'reversal of evidence processing' ini justru riskan dan membahayakan penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi, sehingga membuat peluang besar pihak-pihak terkait, saksi atau tersangka, dapat menyamarkan alat bukti, baik itu menghilangkan, mengaburkan atau merusak alat bukti," katanya, Selasa (19/5).
Mengacu pengalaman terdahulu, KPK harus menanggung kekalahan setelah hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati mengabulkan praperadilan mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Upiek membatalkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) berikut tindakan-tindakan lain yang menyertai penyidikan Ilham.
Upiek menganggap KPK selaku termohon tidak dapat menunjukan dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Ilham sebagai tersangka. Ia menilai bukti-bukti fotocopy yang diserahkan KPK tidak cukup untuk membuktikan bahwa KPK memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Ilham sebagai tersangka.
Belajar dari pengalaman tersebut, KPK dalam sidang praperadilan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo membawa setumpuk alat bukti untuk meyakinkan hakim tunggal Haswandi. Bahkan, KPK membawa semua dokumen, mulai dari penyelidikan hingga penyelidikan perkara Hadi untuk diserahkan kepada hakim.
Indriyanto berpendapat, pola baru yang diterapkan dalam praperadilan ini, tidak sesuai dengan filosofi tertutup pada proses praajudikasi, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. "(Semestinya) Filosofi tertutup tentang alat bukti harus tetap dipertahankan sesuai aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," ujarnya.
Tidak hanya KUHAP, berdasarkan penelusuran hukumonline, Pasal 17 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) juga mengatur mengenai informasi yang dikecualikan untuk dibuka. Antara lain, informasi yang apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.  
Adapun aturan lain dalam Pasal 18 ayat (3) UU KIP yang memperbolehkan pembukaan informasi untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Namun, pembukaan informasi tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara meminta izin kepada Presiden sebagaiaman diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU KIP.
Pasal 18 ayat (6) UU KIP
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan oleh Presiden kepada Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya atau Ketua Mahkamah Agung.
Menanggapi kekhawatiran KPK akan rusak, hilang, atau disalahgunakannya alat bukti yang dihadirkan di sidang praperadilan, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan I Made Sutrisna mengatakan, setiap bukti berupa fotocopy yang diajukan di persidangan, termasuk sidang praperadilan wajib ditunjukan aslinya di muka hakim.
"Memangnya bukti-bukti itu mau diapakan di persidangan, sampai rusak atau hilang? (Bukti-bukti itu) Hanya ditunjukkan saja bahwa fotocopy ini di-copy dari aslinya ini. Begitu saja kok. Tidak (disimpan di pengadilan). Itu hanya untuk meyakinkan hakim bahwa fotocopy yang diajukan bersumber dari aslinya," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, 28 April 2015 lalu, MK merombak ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tentang objek praperadilan dan sejumlah pasal lain di dalam KUHAP tentang bukti permulaan yang cukup. MK menganggap Pasal 77 huruf a KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Begitu pula dengan frasa "bukti permulaan yang cukup' dan 'bukti yang cukup". MK menyatakan kedua frasa itu harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan tanpa kehadirannya (in absentia).
Putusan MK inilah yang menjadi salah satu pertimbangan hakim tunggal Upiek ketika memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka Ilham. Dengan alasan KPK tidak dapat menunjukan bukti permulaan yang cukup, Upik menilai penetapan tersangka Ilham tidak sah. Alhasil, ia membatalkan penetapan tersangka Ilham. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar