Sabtu, 30 Mei 2015

Advokat Gajah Bertempur, Advokat Pelanduk Mati di Tengah



Oleh: Hendra Setiawan Boen
 
Para elit politik terlalu sering mementingkan kepentingan mereka sendiri ketimbang kepentingan orang-orang kecil dan organisasi advokat yang katanya adalah organisasi para officium nobile adalah bukan pengecualian.
 
Beberapa hari lalu, kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) masa jabatan 2015-2020 versi Juniver Girsang dilantik. Pelantikan tersebut cukup mengejutkan, yaitu munculnya nama sejumlah tokoh dunia advokat Indonesia yang telah cukup lama menolak keberadaan PERADI sebagai organ tunggal. Mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Indra Sahnun Lubis, Teguh Samudera, Todung Mulya Lubis, Tommy Sihotang dan lain sebagainya.
Ini tentu kabar gembira, karena berarti semangat rekonsiliasi dan konsilidasi organisasi advokat yang didengungkan oleh Juniver Girsang telah dijalankan. Masalahnya adalah Juniver Girsang bukan satu-satunya kelompok yang mengaku sebagai penerus kepengurusan Otto Hasibuan setelah kegagalan Munas PERADI di Makassar.
Tercatat setelah Munas, PERADI pecah menjadi PERADI versi Otto Hasibuan yang berencana melanjutkan Munas di Pekanbaru pada bulan Juni mendatang dan orang-orang yang menyatakan diri sebagai caretaker PERADI sekaligus mendemisionerkan kepengurusan Otto Hasibuan.
Belakangan caretaker terpecah dan salah satu kubu caretaker pimpinan Juniver Girsang kemarin melantik kepengurusan versinya, sedangkan caretaker versi Humphrey Djemat melalui DPP AAI tidak mengakui kepengurusan versi Juniver Girsang maupun Otto Hasibuan. Kemudian, katakanlah PERADI versi Otto Hasibuan telah melaksanakan Munas mereka di Pekanbaru dan menghasilkan kepengurusan baru, maka kepengurusan PERADI terbagi tiga kubu. Sungguh pelik!
Memang benar, perpecahan dalam organisasi advokat Indonesia adalah bukan hal baru. Demikian pula perpecahan organisasi di Indonesia menggunakan mekanisme munas tandingan dan kemudian pasang badan demi eksistensi organisasi tandingan sudah merupakan demokrasi khas Indonesia. Para elit politik terlalu sering mementingkan kepentingan mereka sendiri ketimbang kepentingan orang-orang kecil dan organisasi advokat yang katanya adalah organisasi para officium nobile adalah bukan pengecualian.
Saya sendiri pernah menjadi korban dari perpecahan itu pada saat masih menjadi calon advokat karena tidak bisa dilantik akibat PERADI pecah dan orang-orang yang keluar dari PERADI keluar membentuk Kongres Advokat Indonesia (KAI) seraya mengaku-ngaku sebagai organisasi advokat yang sah menurut UU Advokat sehingga mengakibatkan Mahkamah Agung (MA) menunda pelantikan advokat baru sampai PERADI dan KAI menyelesaikan permasalahan di antara mereka.
Yang menjadi miris adalah, ternyata tidak butuh waktu lama bagi KAI untuk pecah menjadi lima organisasi yang masing-masing mengaku sebagai organ tunggal: dua kubu KAI, dua kubu DPP Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) dan DPP Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) versi Todung Mulya Lubis.
Untungnya dua tahun sejak PERADI pecah, akhirnya MA bersedia membuka kran pelantikan dan penyumpahan advokat baru PERADI dan hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran islah PERADI pimpinan Otto Hasibuan dan KAI dari kepengurusan Indra Sahnun Lubis. Walaupun setelah itu Indra Sahnun Lubis membatalkan islah, namun saya mewakili ribuan calon advokat tetap mengucapkan terima kasih.
Setelah itu setiap usaha mempersatukan organisasi-organisasi yang mengaku sebagai organisasi advokat tunggal gagal dan akhirnya muncul usaha mengolkan RUU Advokat yang mengakui sistem multibar yang dinaungi oleh federasi organisasi advokat. Ini sebenarnya ide lama, sebab dari awal para organisasi advokat pendiri PERADI menolak untuk membubarkan diri pasca berdirinya PERADI. Sebagian dari mereka menafsirkan bahwa PERADI adalah federasi organisasi advokat yang menaungi organisasi-organisasi di bawahnya.
Berdasarkan fakta bahwa sistem federasi tidak berhasil menyatukan advokat dan sejarah perpecahan organisasi advokat sebelum-sebelumnya maka saya menyimpulkan bahwa RUU Advokat dengan sistem federasi tidak akan dapat mempersatukan advokat-advokat Indonesia selama kita sendiri masih mementingkan ego pribadi dan tidak mempedulikan kepentingan orang banyak. Terbukti PERADI dan KAI-PERADIN-IKADIN belum bersatu, malah PERADI sendiri yang pecah dan pecahan PERADI itu kembali pecah.
Sekarang dengan pecahnya PERADI menjadi tiga dan masuknya kembali orang-orang KAI dan IKADIN maka menimbulkan beberapa pertanyaan sederhana, khususnya berkenaan dengan pelantikan calon advokat-advokat:
Pertama, apakah KAI kubu Indra Sahnun Lubis dan IKADIN kubu Todung Mulya Lubis meleburkan diri ke dalam PERADI pimpinan Juniver Girsang atau masih mempertahankan eksistensinya? Apakah hal ini berarti mereka mengakui PERADI sebagai organisasi advokat menurut UU Advokat, atau malahan PERADI mengakui sistem multi-bar dan bersedia mendukung RUU Advokat?
Kedua, bagaimana nasib advokat dan calon advokat dari KAI kubu Indra Sahnun Lubis dan IKADIN kubu Todung Mulya Lubis, apakah "diputihkan" PERADI pimpinan Juniver Girsang atau malah tidak diakui? Bila diakui, apakah PERADI versi Otto Hasibuan dan Humphrey Djemat bersedia mengakui mereka? dan bila tidak diakui, maka dimana pertanggung jawaban mereka sebagai pimpinan?
Ketiga, siapa di antara Juniver Girsang, Otto Hasibuan dan Humphrey Djemat yang berhak mengusulkan pelantikan calon advokat yang telah mengikuti dan lulus Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan ujian PERADI? dan apakah akan ada moratorium pengangkatan dan penyumpahan advokat baru oleh Mahkamah Agung menyusul pecahnya PERADI?
Keempat, siapa di antara Juniver Girsang, Otto Hasibuan dan Humphrey Djemat yang berhak mengadakan PKPA dan ujian advokat?
Kelima, kapan organisasi-organisasi advokat tersebut akan kembali pecah, sebab dari sejarah kita bisa belajar bahwa di Indonesia kemungkinan organisasi pecah akan lebih besar ketimbang bersatu dan melakukan rekonsiliasi.
Penulis cukup yakin bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas akan sulit dijawab padahal masih terdapat pertanyaan lain seperti kepada siapa laporan pelanggaran kode etik advokat PERADI diajukan?
Dengan demikian, maka perpecahan PERADI kembali mengulangi drama lama, bahwa ketika dua gajah bertarung, maka pelanduk akan mati di tengah-tengah. Saya tidak mempunyai kepentingan maupun afiliasi dengan salah satu pihak yang bertikai, dan saya juga tidak menghadiri Munas PERADI di Makassar karena sudah mendapat firasat akan kembali kisruh. Namun, saya merasa harus bersuara, bila bukan mewakili silent majority yang terdiri dari advokat muda yang selama bertahun-tahun diam melihat para senior advokat saling bertikai memperebutkan jabatan semu, maka setidaknya saya mewakili diri saya yang pernah menjadi korban orang-orang yang seharusnya sudah cukup bijaksana untuk mementingkan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan sendiri.
Sudah saatnya mereka yang bertikai duduk bersama dalam satu meja dan melakukan rembuk nasional demi kepentingan Indonesia pada umumnya dan advokat pada khususnya agar setidaknya mereka meninggalkan warisan berharga kepada generasi muda dengan memutus siklus sesat demokrasi Indonesia berupa bila tidak setuju dengan organisasi maka bentuk organisasi tandingan.(www.hukumonline.com)
* Penulis adalah advokat muda dan penulis amatir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar