Selasa, 24 Maret 2015

Tips Memilih Pengacara yang Baik

Tidak selamanya hidup ini berjalan mulus. Kadang kala ketemu masalah hukum, terantuk, lalu berurusan dengan aparat peradilan dalam semua tingkatan. Ketika hal ini terjadi maka teman yang sesungguhnya adalah pihak pengacara, keluarga, dan kawan-kawan yang peduli. Bagaimana trik mendapatkan pengacara yang baik, bukan pengacara mafia tukang tipu dan tukang suap?
Jika (calon) klien asli jahat dan tukang suap sampai mendarah daging maka pengacara yang pas adalah pengacara maling juga. Pengacara yang berintegritas antimafia hukum tidak akan cocok dengan klien model begini. Beberapa pengacara yang tegas akan memecat kliennya jika sampai ketahuan menyuap aparat hukum. Karena itu, pastikan tipe apa anda dan pengacaranya tipe bagaimana.
Sebaliknya, jika kita sendiri adalah orang yang mengutamakan kejujuran dan peduli dengan nasib negara, otomatis anti-suap dan anti-sogok, maka pilihan pengacara anti-suap dan anti-sogok adalah suatu keniscayaan. Pengacara mafia bukan untuk membela kasus melainkan lebih tepat untuk menghuni penjara alias dilaporin ke kepolisian.
Ada ciri khas pengacara mafia dari segi komunikasi verbal dengan (calon) klien. Antara lain, suka menagih biaya pada klien yang dikatakannya untuk polisi sekian rupiah/dollar, untuk jaksa sekian rupiah/dollar, untuk hakim sekian rupiah/dollar, dan untuk dirinya sendiri sekian rupiah/dollar. Waspadalah jika ketemu pengacara tipe begini. Karena membayar polisi, jaksa dan hakim sama dengan suap. Berperkara pidana itu, gratis. Berperkara perdata baru bayar, itupun harus resmi dan berkwitansi.
Karena itu, sangat penting mengenali tipe pengacara. Selain dari bahasa verbal dan bahasa tubuh—ini jika baru pertama kali ketemu—mencari perekomendasi dari teman atau keluarga yang kenal baik dengan pengacara adalah patut dipertimbangkan. Teman atau keluarga cenderung akan merekomendasikan pengacara yang baik dan tepat secara keahlian untuk kasus yang sedang dihadapi keluarganya/temannya. Dan pengacara pun akan cenderung segan dan menahan diri jika ada perekomendasi, apalagi jika perekomendasi ini adalah teman si pengacara pula.
Pengacara mafia alih-alih akan mengurus perkara dengan baik malahan berpotensi menciptakan perkara baru. Mestinya perkara cuma satu akhirnya bertambah beranak-pinak jadi perkara lain: suap, sogok, gratifikasi, dll.
Para anjing cenderung akan berkumpul dengan sesama anjing. Begitu juga pengacara mafia cenderung akan berkawan dengan sesama mafia. Sebaliknya pengacara baik juga cenderung akan berkawan dengan sesama pengacara atau aparat hukum yang baik pula. Dari sini dapat pula jadi sumber untuk mengenali kualitas moral seorang pengacara.
Pengacara yang baik tidak pernah ragu untuk meneken kontrak dengan kliennya supaya jelas hak dan kewajiban masing-masing. Sementara pengacara lain tidak mau melakukan hal yang sama, ini sah-sah saja. Namun, pada situasi lain lagi, ada pengacara yang memanfaatkan ketiadaan kontrak untuk bisa meminta uang kapanpun, berapapun dan dengan alasan apapun yang dicari-cari. Istilahnya, kliennya diporoti terus tanpa kepastian dan batasan yang jelas.
Setelah beres pengenalan integritas personal pengacara maka langkah selanjutnya memastikan pengacara ybs ahli dibidang perkara yang akan ditangani. Hukum begitu kompleks dari hari ke hari lahir peraturan baru dan teori-teori baru yang berdinamika dengan situasi lapangan. Pengacara yang ahli akan mengetahui dan mendalami sampai ke level filosofi suatu bidang hukum yang dikuasainya.
Selebihnya, kedua belah pihak (klien dan pengacara) masing-masing harus tahu dan menyadari kavling tugas masing-masing. Klien mengadakan bukti dan pembiayaan suatu kasus. Sedangkan pengacara berikhtiar untuk mengurus perkara atau mendampingi tersangka (dalam perkara pidana). Jangan berpretensi pengacara pasti bisa membebaskan tersangka/terdakwa karena yang akan membebaskan terdakwa adalah hakim, jadi bukan tugas pengacara. Tugas pengacara adalah berikhtiar.
Karenai itu, pengacara yang baik tidak akan pernah mau menjanjikan kepastian menang pada kliennya. Bukan saja karena janji demikian melanggar etika profesi, melainkan pula karena yang memutus suatu perkara adalah kavlingnya hakim. Akan tetapi, peran pengacara sangat vital untuk mendudukkan hukum dari sudut pandang kliennya.
Analoginya mirip dengan dokter. Dokter berikhtiar mengobati pasiennya, namun yang menentukan kesembuhan adalah Tuhan. Sama dengan pengacara. Pengacara berikhtiar mengurus perkara atau mendampingi kliennya, yang menentukan menang atau kalah adalah hakim. Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Jika hakim sudah memutus suatu perkara dan putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap maka segala perdebatan harus berakhir dan kekecewaan harus dipupus. Inilah keadilan relatif yang telah diputus hakim. Keadilan mutlak adalah di akherat nanti.
(http://edukasi.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar