Rabu, 22 Oktober 2014

Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Bagi Pegawai Berdasarkan UU ASN

  • Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Bagi Pegawai Berdasarkan UU ASN



    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau disingkat UU ASN merupakan Undang-Undang baru yang dibentuk sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana diubah dengan UU nomor 43 Tahun 1999. Dengan ditetapkan UU ASN ini, terjadi beberapa perubahan mendasar yang berdampak terhadap kedudukan, jabatan, hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Salah satu perubahan yang terjadi adalah adanya kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum baik bagi PNS (Pasal 92 ayat (1) d UU ASN) maupun bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja/PPPK (Pasal 106 ayat (1) d UU ASN). Menurut UU ASN, Bantuan Hukum merupakan pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. Ketentuan lebih lanjut pemberian bantuan hukum akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
    Secara normatif, jika sudah ditetapkan dalam Undang-Undang, maka kewajiban memberikan bantuan hukum oleh pemerintah harus dilaksanakan. Dalam UU ASN, tidak ada penjelasan lebih lanjut perihal bantuan hukum. Jika melihat aturan tersebut, banyak hal yang perlu digali lebih lanjut. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
    1.   Pemberian bantuan hukum dalam perkara di Pengadilan dapat diartikan bantuan hukum perkara pidana, perdata, Tata Usaha Negara, dan peradilan agama.
    2.   Dalam praktek selama ini, Biro Hukum mewakili institusi pemerintah dalam beracara di Pengadilan serta mendapat kuasa dari Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk menangani perkara-perkara Perdata dan Tata Usaha Negara.
    3.  Dalam perkara Pidana, Pegawai Negeri tidak boleh menjadi pengacara bagi Pegawai Negeri yang terkena perkara. Hal ini disebabkan nature dari hukum materiil pidana yang bersifat pribadi. Jika Pegawai Negeri menjadi pengacara bagi orang yang terkena pidana, maka Pegawai Negeri tersebut bertindak atas nama pribadi dan menjadi kuasa dari orang tersebut. Hal ini tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang Advokat yang menyatakan bahwa seorang advokat tidak boleh berstatus sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara (Pasal 3 UU Advokat).
    4.  Dalam UU ASN dinyatakan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai bantuan hukum akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Jika dalam peraturan pemerintah tersebut dinyatakan secara jelas bahwa Pegawai Negeri boleh menjadi pengacara bagi Pegawai Negeri lain, maka ketentuan tersebut berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Advokat.
    5.   Dalam perkara Tata Usaha Negara, ada kemungkinan seorang pejabat digugat oleh bawahannya. Jika merujuk kepada UU ASN, maka kemungkinan yang terjadi adalah:
    1. Penggugat dan Tergugat meminta bantuan hukum kepada Pengacara profesional;
    2. Pengggugat meminta bantuan hukum kepada Pengacara profesional dan Tergugat meminta bantuan hukum kepada Biro Hukum;
    3. Pengggugat meminta bantuan hukum kepada Biro Hukum dan Tergugat meminta bantuan hukum kepada Pengacara Profesional;
    4. Penggugat dan Tergugat meminta bantuan hukum kepada Biro Hukum. Jika yang terjadi adalah poin d, maka akan terjadi conflict of interest bagi Biro Hukum dalam menangani permasalahan tersebut.
    Poin-poin sebagaimana tersebut diatas hanya merupakan simulasi dari peristiwa-peristiwa hukum yang mungkin muncul di kemudian hari. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kesiapan Kementerian PPN/Bappenas dalam menghadapi hal tersebut? Banyak yang perlu disiapkan diantaranya kesiapan internal Sumber Daya Manusia Biro Hukum dan juga kesiapan anggaran. Sudahkah kita siap menghadapi perubahan? (http://birohukum.bappenas.go.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar