Beberapa aktivis muslim telah menasehati beberapa gelintir ‘wasit’ tersebut, namun mereka bersikeras memegang teguh dan bahkan menyebar luaskan pemahaman yang janggal tersebut. Banyak aktivis muslim memilih untuk membiarkan saja aksi ‘lawakan’ para ‘wasit’ itu, toh masih banyak pekerjaan dakwah, tarbiyah, jihad, dan keumatan lainnya yang harus dikerjakan.
Meski demikian, tidak semua aktivis muslim bisa diam atas ulah mereka, karena bisa memecah belah barisan kaum muslimin dan menyebabkan kebingungan kaum awam. Boleh jadi, BNPT dan Densus 88 adalah pihak yang paling diuntungkan dari ulah seperti itu. Untuk ikut menjernihkan permasalahan itu, kami ketengahkan disini penjelasan seorang ulama yang telah diakui kapasitas dakwah tauhid dan jihadnya oleh para ulama dan aktivis muslim, syaikh Abu Bashir Abdul Mun’im Musthafa Hulaimah At-Tarthusyi.
Tulisan ini diterjemahkan dari buku karya beliau, A’maalun Tukhriju Shaahibaha min al-Millah (perbuatan-perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam) halaman 84-98, pada bagian pembahasan keempat, at-tahaakumu ila syara’i al-kufr wa ad-dukhuul fi thaa’at al-musyrikiin fiimaa yasyra’uun (Meminta putusan hukuman kepada perundang-undangan kafir dan mentaati kaum musyrik dalam hal (undang-undang) yang mereka tetapkan). Semoga bermanfaat.

Perbuatan Keempat:
“Meminta putusan hukuman kepada perundang-undangan kafir dan mentaati kaum musyrik dalam hal (undang-undang) yang mereka tetapkan”

Bentuknya berbeda dengan orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya. Orang yang meminta putusan perkara kepada perundang-undangan kafir dan taghut, terkadang bukan seorang penguasa, bukan orang yang mengganti syariat Allah SWT (dengan perundang-undangan positif), dan bukan orang yang menetapkan perundang-undangan positif. Meminta putusan perkara kepada perundang-undangan kafir dan taghut adalah sebuah tindakan tersendiri, selain dari tiga tindakan yang telah disebutkan sebelumnya (memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, mengganti syariat Allah dengan undang-undang positif, dan menetapkan undang-undang positif, edt). Seseorang mungkin saja tidak melakukan tiga tindakan tersebut dan hanya melakukan tindakan ini, yaitu meminta putusan perkara kepada perundang-undangan positif yang merupakan ketetapan manusia.
Oleh sebab itu, tindakan ini harus disebutkan tersendiri sebagai salah satu perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Bentuknya adalah: Seseorang secara merdeka dan atas pilihan sendiri (sukarela) meminta putusan perkara berdasar perundang-undangan postifi di pengadilan-pengadilan yang menerapkan perundang-undangan positif tersebut. Padahal pada saat tersebut ada banyak pengadilan syariat yang memutuskan perkara berdasar hukum syariat, menegakkan keadilan, dan mampu mengembalikan haknya yang terampas secara zalim.
Meski pengadilan yang menerapkan syariat Allah tersedia dan mudah didatangi oleh siapa yang menghendakinya, namun ia memilih untuk meminta putusan perkara kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang positif yang batil.
Di antara contohnya adalah para taghut di bidang hukum di negeri-negeri kita…anda melihat mereka berpaling dari meminta putusan perkara kepada syariat Allah. Mereka justru meminta putusan perkara berdasar perundang-undangan kafir yang diimpor dari Barat yang rusak atau dari Timur yang atheis…Hal ini sebagai tambahan dari kekufuran dan keluarnya mereka dari agama Islam.
Barangsiapa melakukan hal itu, maka ia telah kafir, murtad, keluar dari Islam. Tidak ada yang meragukan kekafirannya selain orang yang telah buta mata dan hatinya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 60)
Allah SWT menganggap iman mereka hanyalah pengakuan belaka yang tiada buktinya, karena mereka berpaling dari meminta putusan perkara kepada syariat Allah…mereka justru meminta putusan perkara kepada taghut dan perundang-undangan taghut, padahal Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka untuk mengkufuri taghut tersebut.
Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fath al-Qadir (1/481), menerangkan makna ayat ini: “Ayat ini mengajak Rasulullah SAW untuk heran terhadap orang-orang yang mengklaim diri mereka telah beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada beliau SAW yaitu Al-Qur’an dan wahyu yang diturunkan kepada para nabi terdahulu. Kemudian mereka melakukan perkara yang menyalahi klaim mereka, menggugurkannya sampai ke pangkalnya, dan menjelaskan bahwa sejatinya mereka sama sekali tidak memiliki keimanan. Perkara tersebut adalah keinginan mereka untuk meminta putusan perkara kepada taghut. Padahal dalam wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dan para nabi terdahulu, mereka telah diperintahkan untuk mengkufuri taghut.”
Di antara hal yang termasuk taghut secara nama dan hakekat adalah segala perundang-undangan positif selain syariat Allah (undang-undang yang ditetapkan manusia tanpa berlandaskan kepada syariat Allah, bahkan menyelisihi syariat Allah, edt).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Syaikh dalam artikelnya yang sangat berharga, Tahkim al-Qawanin, mengatakan: “Firman Allah ‘orang-orang yang mengaku dirinya‘ mendustakan klaim keimanan mereka, karena sama sekali tidak mungkin bersatu dalam hati seorang hamba sikap meminta putusan perkara kepada selain syariat Nabi SAW dengan iman. Bahkan adaya iman dalam hati akan meniadakan sikap meminta putusan perkara kepada selain syariat Nabi SAW.”
Dalil lainnya adalah firman Allah SWT,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan dua orang yang bersengketa. Keduanya datang kepada Nabi SAW dan meminta keputusan beliau. Beliau memenangkan pihak yang benar dan mengalahkan pihak yang salah. Maka pihak yang dikalahkan berkata, “Aku tidak rela (puas).” Pihak yang dimenangkan bertanya, “Lalu apa keinginanmu?” Ia menjawab: “Mari kita pergi kepada Abu Bakar.” Keduanya mendatangi Abu Bakar, lalu pihak yang dimenangkan bercerita, “Kami berselisih dan meminta putusan Nabi SAW, maka Nabi SAW memenangkan saya.” Abu Bakar berkata: “Kalau begitu, keputusan untuk kalian berdua adalah seperti yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW.”
Pihak yang dikalahkan tidak puas. Ia berkata: “Mari kita pergi kepada Umar bin Khathab.” Keduanya mendatangi Umar, lalu pihak yang dimenangkan bercerita, “Kami berselisih dan meminta putusan Nabi SAW, maka Nabi SAW memenangkan saya, namun ia tidak puas. Lalu kami mendatangi Abu Bakar. Abu Bakar berkata: ‘Kalau begitu, keputusan untuk kalian berdua adalah seperti yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW.’ Tapi ia tetap tidak puas.” Umar menanyai pihak yang dikalahkan, dan ia membenarkan cerita pihak yang dimenangkan.
Maka Umar masuk ke dalam rumahnya. Tangannya menghunus sebuah pedang dan ia memenggal kepala orang yang tidak puas tersebut dengan pedangnya. Maka Allah menurunkan ayat di atas: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman…
Dalam riwayat Amru bin Zubair disebutkan: Umar bertanya kepada orang yang dikalahkan tersebut untuk mengecek kebenaran penuturan lawan perkaranya, “Apakah memang begitu kejadiannya?” Orang itu menjawab, “Benar.” Umar berkata, “Jika begitu, tetaplah engkau di tempatmu ini sehingga aku akan memberi keputusan di antara kalian berdua. Umar lalu keluar dari dalam rumah dengan pedang terhunus. Ia memenggal kepala orang yang mengajak kawannya meminta putusan kepada Umar. Kawannya lari terbiri-birit, menemui Rasulullah SAW dan melapor: “Wahai Rasulullah, Umar membunuh kawan saya. Jika saja saya tidak lari sehingga tidak terkejar olehnya, tentu ia juga akan membunuhku.”
Rasulullah SAW bersabda, “Aku menduga Umar tidak akan berani membunuh seerang mukmin.” Maka Allah menurunkan ayat di atas: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman…” Allah SWT membebaskan Umar dari pembunuhan tersebut. (Ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul, hlm. 38)
Inilah hukuman bagi seseorang yang meminta putusan perkara kepada Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma dan tidak puas dengan keputusan Rasulullah SAW. Maka bagaimana pendapat kalian tentang orang yang secara sukarela meminta putusan perkara kepada perundang-undangan positif yang diimpor dari Barat atau Timur, lalu keputusan tersebut didahulukannya atas hukum keputusan Allah dan Rasul-Nya? Tidak diragukan lagi, ia lebih kafir dan lebih layak untuk dihukum mati!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (28/471) menulis: “Setiap orang yang keluar dari sunnah Rasulullah SAW dan syariat beliau, maka Allah SWT telah bersumpah dengan diri-Nya Yang Maha Suci bahwa ia tidak beriman sehingga ia ridha dengan keputusan Rasulullah SAW dalam semua perkara yang diperselisihkan di antara mereka, baik dalam perkara dunia maupun akhirat, dan sehingga dalam hati mereka tidak ada sedikit pun keberatan atas keputusan beliau. Dalil-dalil Al-Qur’an yang menunjukkan perkara yang pokok ini sangatlah banyak.”
Murid beliau, imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam At-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an hlm. 270 menulis: “Allah bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Maha Suci dengan sebuah sumpah yang ditegaskan dengan sebuah peniadaan sebelumnya (“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman…“) akan tiadanya iman para hamba sehingga mereka menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemberi keputusan atas setiap perkara yang mereka perselisihkan, baik dalam perkara pokok maupun cabang; dalam hukum-hukum syariat (di dunia), hukum negeri pembalasan (akhirat), seluruh sifat (Allah), dan perkara lainnya. Sekedar meminta keputusan kepada Rasulullah SAW belumlah menjadikan mereka beriman, sehingga hilang keberatan dari hati mereka yaitu sesaknya hati, maka hati mereka terbuka selebar-lebarnya dan menerima keputusan beliau dengan sepenuh penerimaan. JIka hal itu telah mereka laksanakan, maka keimanan belum juga ada pada diri mereka sehingga mereka menyambut keputusan beliau dengan ridha, berserah diri, tidak menentang, dan tidak memprotes.”
Senada dengan beliau, imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqi dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhimmenulis, “Allah bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Maha Mulia lagi Maha Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sehingga ia menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemberi keputusan dalam seluruh perkara, lalu mereka menerima keputusan beliau SAW dengan segenap penerimaan, tanpa menentang, melawan, dan memprotes.”
Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi dalam Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah menulis, “Wajib untuk berserah diri secara total dan melaksanakan perintah Rasul SAW serta menerima berita (wahyu) yang disampaikannya dengan sepenuh penerimaan tanpa menentangnya dengan helah (rekasayasa) batil yang kita namakan logika, atau kita hadapkan kepadanya sebuah syubhat (kerancuan) atau keragu-raguan, atau kita dahulukan atasnya pendapat para tokoh dan sampah pemikiran mereka. Kita mengesakan (ketaatan kepada beliau SAW) dengan meminta putusan perkara, penerimaan, ketaatan, dan ketundukan. Sebagaimana kita mengesakan Allah Yang telah mengutus beliau SAW, dengan beribadah, tunduk, menghinakan diri, bertaubat, dan bertawakal.
Maka ada dua jenis tauhid, yang seorang hamba tidak akan selamat dari azab Allah kecuali dengan merealisasikan keduanya; tauhid al-mursil (mentauhidkan Allah yang mengutus Rasul) dan tauhid mutaba’at ar-rasul (mentauhidkan pengikutan kepada (syariat) Rasul). Maka kita tidak meminta keputusan hukum kecuali kepada beliau SAW dan kita tidak rela dengan selain hukum beliau. Kita tidak akan mengaitkan pelaksanaan perintah beliau SAW dan penerimaan berita beliau SAW dengan membandingkannya dengan pendapat syaikh, imam, pemuka madzhab, pemimpin kelompok, dan tokoh yang diagungkan…jika mereka mengizinkan, barulah perintah beliau SAW dilaksanakan dan berita beliau SAW diterima. Tidak, kita tidak akan melakukan hal itu).
Tiada keislaman pada diri orang yang tidak berserah diri kepada kedua wahyu (Al-Qur’an dan a-sunnah), tunduk kepada keduanya, tidak memprotesnya, dan tidak menentangnya dengan pendapat, logika, dan analoginya sendiri.
Imam Bukhari meriwayatkan dari imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang mengatakan: “Risalah (wahyu) berasal dari Allah, tugas Rasul menyampaikannya, dan tugas kita menerimanya dengan sepenuh hati.”
Allah SWT juga berfirman,
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa’ (4): 59)
Makna ayat ini adalah jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, maka kembalikanlah persoalan yang kalian perselisihkan, baik urusan agama maupun dunia, kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu kepada Al-Qur’an dan as-sunnah. Jika tidak ada sikap mengembalikan putusan perkara yang kalian perselisihkan kepada Al-Qur’an dan as-sunnah, dan kalian mengembalikan putusan perkara tersebut kepada selain Allah dan Rasul-Nya…maka pengakuan kalian bahwa kalian beriman kepada Allah dan hari akhir adalah dusta belaka. Meski lisan kalian mengklaim beriman, namun perbuatan kalian mendustakan dan meniadakan klaim tersebut.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in (1/50) menulis: “Allah menjadikan sikap ini (mengembalikan putusan perkara yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan as-sunnah) sebagai konskuensi dan kewajiban iman. Jika sikap ini hilang, otomatis iman juga hilang sebagai hilangnya akibat dari ketiadaan sebabnya.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi, dan janganlah kalian berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian sedangkan kalian tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat (49): 2)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in (1/51) menulis: “Jika meninggikan suara mereka di atas suara Nabi SAW menyebabkan amalan mereka terhapus, maka bagaimana lagi dengan mendahulukan pendapat, logika, perasaan, dan pengetahuan mereka atas ajaran beliau SAW dan meninggikannya di atas ajaran beliau SAW? Bukankah hal itu lebih layak untuk menghapuskan amalan mereka?”
Tidak ada hal yang menyebabkan amalan terhapus secara total, selain kekafiran dan kesyirikan.
Jika ditanyakan:
Pada mayoritas negeri-negeri kaum muslimin pada saat ini tidak diterapkan hukum Al-Qur’an dan as-sunnah, melainkan diterapkan perundang-undangan positif yang diimpor dari Barat atau Timur dan hawa nafsu mereka. Belum lagi ratusan juta kaum muslimin yang hidup di Negara-negara kafir dan atheis. Mereka, mau tidak mau, dihadapkan untuk meminta putusan perkara kepada selain Al-Qur’an dan as-sunnah. Bagaimana hukum syariat terhadap kaum muslimin tersebut? Apakah kepada mereka juga dijatuhkan vonis kafir atas diri orang yang meminta putusan perkara kepada selain Al-Qur’an dan as-sunnah, sebagaimana dijelaskan di atas?
Jawab:
Persoalan ini perlu dirinci. Perinciannya sebagai berikut:
  1. Nash-nash syariat menerangkan bahwa meminta keputusan perkara kepada selain Al-Qur’an dan as-sunnah menyebabkan kekafiran apabila terpenuhi dua syarat dan sifat atau salah satu dari keduanya. Yaitu:
    • Ia berpaling dari meminta putusan perkara kepada Al-Qur’an dan as-sunnah —meskipun tersedia dan ia mampu mendatanginya —, justru ia meminta keputusan perkara kepada perundang-undangan dan hukum yang lain.
      Pada hakekatnya ia lebih mengutamakan dan mendahulukan hukum dan perundang-undangan manusia atas hokum dan perundang-undangan Allah Sang Pencipta seluruh makhluk dan manusia. Inilah yang dimaksud dalam ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yang di antaranya adalah firman Allah: “…Mereka hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. An-Nisa’ (4): 60)Maksudnya, mereka meninggalkan Nabi SAW, meninggalkan hokum Alllah dan Rasul-Nya, lalu berpaling kepada hukum taghut dan perundang-undangan taghut.
      Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan: “Ayat ini lebih umum dari hal itu —maksudnya pendapat yang menafsirkannya sebatas pada asbab nuzulnya saja—, karena ayat tersebut mencela orang yang berpaling dari Al-Qur’an dan as-sunnah, dan meminta putusan perkara kepada selain keduanya yang batil, dan itulah yang dimaksud dengan taghut dalam ayat ini.
      Adapun maksud dari firman Allah: ‘Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.’ (QS. An-Nisa’ (4): 61) adalahmereka berpaling darimu dengan kuat seperti halnya orang yang menyombongkan diri darinya.”
      Perhatikanlah perkataan imam Ibnu Katsir ‘orang yang berpaling‘ yang menunjukkan makna yang kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam.
    • Ia rela dan menganggap baik hukum selain Al-Qur’an dan as-sunnah. Maka ia telah kafir, baik ia benar-benar telah meminta putusan perkara kepada selain Al-Qur’an dan as-sunnah maupun ia tidak meminta putusan perkara kepada selain Al-Qur’an dan as-sunnah. Karena rela dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran tersediri, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.
  2. Barangsiapa yang meminta putusan perkara kepada selain Al-Qur’an dan as-sunnah yang tidak memenuhi dua syarat di atas, maka ia tidak kafir. Oleh karenanya tidak boleh diterapkan kepadanya nash-nash syar’i yang telah disebutkan di atas.
  3. Hukum asalnya, apabila seorang muslim dizalimi maka ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk meraih kembali haknya yang dirampas secara zalim tersebut melalui cara yang tidak meminta putusan perkara kepada perundang-undangan positif ini. Jika hal itu sulit dilakukan dan tidak ada cara lagi untuk meraih haknya kembali selain dengan meminta putusan perkara kepada pengadilan-pengadilan hukum positif ini, maka saya berharap hal itu tidak berdosa, insya Allah.
    Imam Bukhari dalam kitabnya, Al-Adab al-Mufrad, telah meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
    شَهِدْتُ مَعَ عُمُومَتِي حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ ، فَمَا أُحِبُّ أَنْ أَنْكُثُهُ وَ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ
    Pada usia anak-anak, saya bersama paman-paman saya mengikuti hilful muthibin. Saya tidak mau membatalkannya secara sepihak meski untuk itu saya diberi unta merah.” (HR. Ahmad, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, al-Bazzar, Abu Ya’la al-Maushili, ath-Thabari, ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar, dan Ibnu Hibban. Hadits shahih)
    Hilf al-Muthibin adalah sebuah panitia yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum musyrikin. Mereka saling mengikat perjanjian untuk mengembalikan hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya. Masyarakat pada waktu itu mengembalikan persengketaan dan putusan kezaliman mereka kepada panitia tersebut.
    Imam Ibnu Atsir al-Jazari dalam kitabnya, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits, menulis: “Pada masa jahiliyah, Bani Hasyim, Bani Zuhrah, dan Bani Taim berkumpul di rumah Ibnu Jud’an. Mereka meletakkan minyak wangi (thib) di dalam bejana, lalu mereka memasukkan telapak tangan mereka ke dalam bejana tersebut. Mereka mengikat perjanjian untuk saling menolong dan mengembalikan hak orang yang dizalim dari orang yang menzaliminya. Maka mereka disebut Muthibin.”
    Meski demikian, Nabi SAW telah memuji kebaikan perjanjian tersebut karena ia mengandung makna syar’i yang benar, yaitu mengembalikan hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya.
  4. Saya berpendapat merupakan bagian dari azimah (hukum asal sebelum ada keringanan/rukhshah) dan takwa —apabila bahaya (kerugian)nya bisa ditanggung — hendaklah seorang muslim bersabar atas kezaliman yang ia alami, tidak perlu meminta putusan pengadilan hukum positif. Apalagi jika ia adalah seorang ulama atau tokoh, lebih utama baginya memegang hukum azimah, wallahu a’lam.
Permasalahan: Profesi Pengacara
Di antara akibat dari pemberlakuan undang-undang positif (hukum ketetapan manusia yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan as-sunnah) yang merata di negeri-negeri kaum muslimin adalah munculnya profesi pengacara. Bagaimana sifatnya, apa hukumnya, dan bagaimana hukum pengacara yang menjadikan spesialisasinya sebagai sebuah profesi?
Saya katakan: Pekerjaan pengacara adalah pengacara mewakili kliennya dalam melakukan pengaduan, pembelaan, dan meraih hak-haknya melalui pengadilan, dengan menggunakan undang-undang positif yang berlaku di negara tersebut.
Berdasar sifatnya seperti ini, pekerjaan pengacara adalah sebuah kekafiran, tidak ada perbedaan pendapat lagi atas hal ini. Kekafirannya terjadi karena meminta putusan perkara (at-tahaakum) kepada undang-undang positif yang menyelisihi hukum Allah yang diturunkan kepada nabi dan hamba-Nya, Muhammad SAW.
Namun apakah konsukensi dari hal itu adalah setiap pengacara kafir secara pribadinya (kafir mu’ayyan)?
Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan perincian. Jawaban rincinya dapat diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut:
  1. Orang yang mengambil spesialisasi studi advokasi agar mengenali secara mendalam kekeliruan-kekeliruan dan keburukan-keburukan undang-undang positif. Lalu ia membongkar kekeliruan dan keburukannya serta memperingatkan masyarakat agar menjauhi undang-undang positif. Hal ini, insya Allah, tidak mengapa dan boleh jadi ia mendapatkan pahala. Meski demikian, kami tidak menasehatkan dan tidak berpendapat boleh menerjuni kancah yang ‘rawan’ kecuali bagi orang yang keislamannya telah mantap, dan ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang akidah Islam dan syariat Islam.
  2. Pengacara yang meminta keputusan perkara kepada undang-undang positif tersebut dalam perkara yang menyaingi dan menyelisihi hukum Allah, demikian juga untuk membatalkan kebenaran atau membenarkan kebatilan, maka ia adalah orang kafir secara pribadi (kafir mu’ayyan). Kepada dirinya berlaku nash-nash syar’i yang telah disebutkan di muka yang menegaskan kekafiran orang yang meminta putusan perkara kepada perundang-undangan kufur dan taghut.
  3. Demikian juga pengacara yang meminta putusan perkara kepada perundang-undangan positif karena ideologi (akidah), atau menganggap boleh (istihlal), atau menganggap baik hukum positif tersebut, atau menganggap buruk undang-undang kebenaran (syariat Allah) yang menyelisihi undang-undang positif tersebut. Maka pengacara seperti ini juga kafir secara pribadi dan telah keluar dari agama Islam.
    Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam kitabnya Umdatut Tafsir Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir (2/172-174) mengingkari orang-orang yang mengirim anak-anak mereka untuk kuliah mempelajari undang-undang positif ‘Ilyasiq modern’, yang pada gilirannya mereka bekerja pada pengadilan-pengadilan yang menerapkan undang-undang positip. Beliau menulis:
    Maka apakah boleh bagi seseorang dari kalangan umat Isla untuk memeluk agama baru ini, maksud saya perundang-undangan baru ini?
    Apakah boleh bagi seorang ayah mengirim anak-anaknya untuk mempelajarinya, lalu memeluknya, meyakininya, dan mengamalkannya; baik ayah tersebut tahu maupun tidak tahu?
    Apakah boleh seorang muslim menjadi hakim dalam naungan Ilyasiq modern ini dan mengamalkannya, sehingga sama sekali ia berpaling dari syariat-Nya?
    Saya tidak menduga ada seorang muslim yang mengerti agamanya, mengimani agamanya secara global maupun terperinci, mengimani bahwa Al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya sebagai kitab suci yang sempurna, tiada sedikit pun kebatilan padanya baik dari arah depan maupun arah belakang, mengimani bahwa taat kepada Allah dan taat kepada rasul-Nya adalah wajib secara pasti dalam segala keadaan…saya tidak menduga muslim tersebut kecuali pasti akan menjawab dengan yakin, tanpa sedikit pun keraguan dan ta’wil bahwasanya jabatan (keputusan) hakim dalam kondisi seperti ini adalah batil, tidak mungkin dibenarkan dan tidak mungkin diperbolehkan.”
  4. Pengacara yang pekerjaannya sebatas membatalkan kebatilan, meraih hak-hak dan mengembalikannya kepada pemiliknya, tanpa meminta putusan perkara kepada perundang-undangan positip yang menyaingi dan menyelisihi hukum Allah. Maka hukum pekerjaannya boleh dan ia mendapatkan pahala, insya Allah, jika niatnya baik.
Contoh:
Seorang saudara muslim karena aktivitas dakwah dan perjuangan dien divonis hukuman mati oleh pemerintahan taghut yang menyebar rata di muka bumi dan memerangi Allah dan Rasul-Nya. Maka pengacara muslim melakukan upayanya untuk membatalkan hukuman mati tersebut atau meminimalkan kejahatan dan keburukan vonis tersebut. Atau seorang saudara muslim aktivis dakwah dan perjuangan Islam divonis hukuman penjara selama 20 tahun dalam penjara taghut yang zalim. Maka pengacara muslim tersebut berusaha meminimalkan hukumannya menjadi satu atau dua tahun penjara, misalnya, jika ia tidak mampu untuk menggugurkan vonis berat tersebut. Dan contoh-contoh semisal yang terjadi berulang kali dalam kehidupan sehari-hari kita.
Jika ada yang bertanya:
Kenapa Anda memperbolehkan pekerjaan pengacara jenis ini, padahal pekerjaan tersebut akan memaksanya untuk berdiri (melakukan pembelaan) di depan hakim yang kafir yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah?
Saya jawab:
Ada beberapa hal yang menyebabkan kita menyatakan kebolehan advokasi jenis ini.
  1. Kaedah-kaedah dan ajaran syariat Islam telah mewajibkan menolak bahaya yang lebih besar dengan bahaya yang lebih kecil, kerusakan yang lebih berat dengan kerusakan yang lebih ringan. Tidak diragukan lagi, bahaya yang lebih besar dan kerusakan yang lebih berat dalam contoh-contoh di atas adalah seorang saudara muslim (pegiat dakwah dan jihad) dihukum mati atau dipenjara dalam waktu yang sangat lama, sedangkan bahaya yang lebih kecil atau kerusakan yang lebih ringan adalah ia divonis bebas atau dihukum penjara dalam waktu yang lebih singkat dan mampu ia tanggung.
  2. Menolak (mencegah) bahaya yang lebih besar dengan bahaya yang lebih kecil tidak mesti menganggap halal bahaya yang lebih kecil atau ridha dengannya. Faktor yang membuat kita mendahulukan bahaya yang lebih kecil adalah mencegah atau menolak bahaya yang lebih besar yang hanya bisa dilakukan melalui cara ini.
  3. Pendapat kita pada permasalahan sebelum ini bahwa seorang muslim boleh meraih kembali hak-haknya yang dirampas melakui perantaraan orang kafir atau pengadilan-pengadilan yang berada di negeri-negeri kaum muslimin, apabila memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Pendapat ini secara otomatis berkonskuensi seorang pengacara boleh membantu muslim tersebut, khususnya jika pemilik hak tersebut tidak mampu meraih kembali haknya dan tidak mengetahui cara meraih haknya kembali.
  4. Nash-nash syariat telah memerintahkan seorang muslim untuk menolong saudara muslim lainnya, tidak membiarkannya atau tidak menyerahkannya kepada kezaliman, penindasan, dan kesewenang-wenangan. Sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits shahih,
    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ أَخِيهِ ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
    “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Ia akan menjaga sumber penghidupannya dan menjaga keluarganya dari arah belakangnya.” (HR. Abu Daud, Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Baihaqi dalam al-Akhlak, dan ath-Thabarani dalam Makarimul Akhlak. Hadits Shahih)
    عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللَّهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ القِيَامَةِ
    Barangsiapa mencegah celaan (yang ditujukan) kepada kehormatan saudaranya, niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Abd bin Humaid, Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Ghibah wan Namimah dan ash-Shumt, Al-Harits dalam al-Musnad, Ad-Dulabi dalam al-Asma’ wal Kuna, Abu Syaikh al-Asbahani dalam Thabaqat al-Muhadditsin, Ibnu Syahin dalam At-Targhib fi Fadhailil A’mal, dan Ibnu Suni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Shahih lighairih)
    عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” مَنْ حَمَى مُؤْمِنًا مِنْ مُنَافِقٍ ، أُرَاهُ قَالَ : بَعَثَ اللَّهُ مَلَكًا يَحْمِي لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ
    Barangsiapa melindungi seorang mukmin dari (gangguan) orang munafik, niscaya Allah akan mengutus kepadanya seorang malaikat yang akan melindungi dagingnya dari jilatan api neraka Jahanam pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd wa ar-Raqaiq, Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Ghibah wa an-Namimah, Ath-Thabarani dalam Makarim al-Akhlaq dan al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Syahin dalam at-Targhib fi Fadhail al-A’mal, Abu Nu’aim al-Asbhahani dalam Hilyah al-Awliya’, Ibnu Basyran dalam al-Amali, dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman)
    الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ . يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ ، وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ ، وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ
    Darah umat Islam itu setara, mereka adalah tangan yang satu (bahu-membahu) dalam menghadapi musuh dari selain golongan mereka. Umat Islam yang kuat membela umat Islam yang lemah dan umat Islam yang berjihad melindungi umat Islam yang tidak berjihad.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasai, Ahmad, Abdur Razzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dalam an-Nasikh wa al-Mansukh)
    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي طَلْحَةَ بْنِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّيْنِ يَقُولَانِ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا عِنْدَ مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلَّا خَذَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ ، وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ امْرَأً مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ “
    Tiada seorang pun yang membiarkan seorang muslim lainnya dilecehkan harga dirinya dan dilanggar kehormatannya, melainkan Allah akan menelentarkan dirinya saat ia memerlukan pertolongan-Nya. Dan tiada seorang pun yang menolong seorang muslim lainnya saat dilecehkan harga dirinya dan dilanggar kehormatannya, melainkan Allah akan menolong dirinya saat ia memerlukan pertolongan-Nya.” (HR. Ahmad, Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd wa ar-Raqaiq, Ibnu Abi Dunya dalam as-Shumt dan Dzam al-Ghibah wa an-Namimah, Ath-Thabarani dalam Makarim al-Akhlaq, al-Mu’jam al-Awsath, dan al-Mu’jam al-Kabir, Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyat al-Awliya’, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dan Syu’ab al-Iman)
    عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً ، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ
    “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak menelantarkannya. Barangsiapa mengurus keperluan saudaranya, niscaya Allah mengurus keperluan dirinya. Barangsiapa melepaskan sebuah kesusahan dari seorang muslim, niscaya Allah akan melepaskan sebuah kesusahan darinya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Banyak dalil syar’i lainnya yang mewajibkan seorang muslim untuk menolong saudara muslim lainnya, melindungi dirinya, harga dirinya, dan kehormatannya, dan tidak menyerahkannya kepada kezaliman dan orang-orang zalim. Inilah hal yang kami izinkan kepada pengacara untuk melakukannya, bukan hal lainnya.
  5. Sebagian kezaliman terkadang meningkat sampai tingkatan ikrah (paksaan), misalnya secara zalim dan aniaya seorang (muslim muwahhid mujahid, edt) divonis hukuman mati sementara vonis tersebut pasti akan dilaksanakan…atau divonis penjara seumur hidup atau penjara dalam waktu yang lama, dan lain sebagainya.
    Jika kezaliman seperti ini tidak bisa ditolak kecuali dengan menampakkan sebagian bentuk kekufuran, seperti hadir di pengadilan-pengadilan orang-orang zalim tersebut dan meminta putusan perkara dengan undang-undang positif mereka…maka saya berharap tindakan tersebut tidak berdosa, insya Allah, karena adanya ikrah(paksaan) yangmenjadi penghalangnya berlakunya ancaman (kekufuran) atas diri pelakunya. Sebagaimana firman Allah,
    إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
    Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tentram (memegang) keimanan.” (QS. An-Nahl (16): 106)
    Hal ini juga berdasar banyak dalil syar’i yang sehingga mewajibkan pengamalan kaedah syar’iyah: اَلضَّرُورَاتُ تُبِيحُ اْلمَحْظُورَاتِ”Kondisi-kondisi dharurat menjadi sebab diperbolehkannya melakukan sebagian hal yang dilarang syariat.”
  6. Tindakan seperti ini dalam membela hak kaum muslimin di hadapan para taghut yang zalim juga telah terjadi dalam sejarah Islam.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menemui raja Tartar, Qazan. Beliau berdebat dan beradu argumentasi dengan raja Qazan untuk membuktikan kepadanya kezaliman dan aniaya yang ia lakukan, agar ia mengurungkan rencananya untuk menyerang negeri Syam. Beliau menuntut raja Qazan untuk membebaskan kaum muslimin dan bahkan ahlul kitab yang merupakan ahlu dzimmah, dari penjara-penjara Tartar. Maka dengan usaha beliau tersebut, Allah merealisasikan kemenangan dan manfaat yang besar bagi kaum muslimin.
    Demikian juga sahabat Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi Radhiyallahu ‘anhu menyetujui keputusan hukum taghut kaisar Romawi Timur agar ia mencium kepala kaisar taghut tersebut, dengan imbalan taghut itu membebaskan dirinya dan para tawanan muslim lainnya dari penjara Romawi Timur. Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi berkata: “Dalam hati, aku berkata ‘Seorang musuh Allah, aku mencium kepalanya, namun aku dan para tawanan muslim lainnya akan dibebaskan. Ah, aku tidak peduli!’ Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi kemudian mendekat kepada kaisar Romawi dan mencium kepalanya.
    Kaisar Romawi lalu menyerahkan para tawanan muslim kepada Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi. Abdullah membawa mereka ke hadapan amirul mukminin Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu. Ketika kejadian itu diberitahukan kepada Umar, maka Umar berkata: “Wajib bagi setiap muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi, dan akulah yang akan pertama kali mencium kepalanya.”
    Umar bin Khathab mendekat, lalu mencium kepala Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi. Ini merupakan ijma’ (kesepakatan) generasi sahabat yang membenarkan tindakan dan sikap Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi.
    Tidak diragukan lagi bahwa keputusan ‘mencium kepala taghut Romawi Timur’ merupakan keputusan hukum dengan selain hukum Allah. Namun karena para tawanan muslim tidak bisa dibebaskan kecuali dengan cara tersebut dan setelah mencium kepala taghut tersebut…maka sahabat yang mulia ini melakukannya dan seluruh sahabat yang lain menyetujui dan membenarkan tindakannya.
Berdasar seluruh pertimbangan inilah kami menyatakan kebolehan bagian yang terbatas dari pekerjaan seorang pengacara, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh:
Syaikh Abu Bashir Abdul Mun’im Musthafa Hulaimah At-Tarthusyi
A’maalun Tukhriju Shaahibaha min al-Millah, hlm. 84-98
(raja’ fadhlullah/arrahmah.com)