Sabtu, 11 Oktober 2014

Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia




            Diberlakukannya Undang-Undang (UU) No.1 tahun 1967 sebagaimana diubah dengan UU No.11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing membawa konsekuensi lanjutan dibutuhkannya profesi jasa Konsultan Hukum. Investor asing membutuhkan pelayanan jasa hukum di luar litigasi di pengadilan (sebagaimana lazimnya merupakan kebutuhan korporasi di negara asal investor) dalam berbagai transaksi komersial dan investasi guna mengamankan dana yang ditanamkan di Indonesia dari segi hukum.
            Itulah awal tumbuhnya profesi Konsultan Hukum di Indonesia. Padahal, sesungguhnya profesi Konsultan Hukum di luar jasa hukum yang beracara di pengadilan (litigasi) telah ada secara efektif sekitar akhir tahun 1960-an atau awal tahun 1970-an.
            Untuk memperkuat eksistensi profesi ini, Profesor Dr. Mochtar Kusuma Atmadja bersama-sama dengan Ali Budiardjo, SH (almarhum) berinisiatif mengajak beberapa rekan konsultan hukum senior untuk mendirikan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) sebagai wadah organisasi profesi Konsultan Hukum terutama yang berkenaan dengan penanaman modal, perseroan, perjanjian, keuangan, dan perbankan.
            AKHI didirikan oleh 16 praktisi hukum terkemuka dari 9 Kantor Hukum terbesar di Indonesia yang secara nyata telah menjalankan kegiatannya selaku Konsultan Hukum pada tanggal 19 Desember 1988 di Jakarta. AKHI merupakan satu-satunya organisasi Konsultan Hukum. Selain Anggaran Dasar, AKHI juga memiliki kode etik.
            Susunan pengurus AKHI pada saat pendirian adalah Ali Budiardjo, SH (ketua), Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja (wakil ketua I), Ratna Wulan, SH., LLM (wakil ketua II), Sulistio, SH (sekretaris), Fred BG Tumbuan, SH (wakil sekretaris), Hoesein Wiriadinata, SH., LLM (bendahara), dan Dr. Dewi Djarot (wakil bendahara).
            Pada saat ini AKHI dipimpin oleh dua orang Caretaker Ketua, yaitu Hoesein Wiriadinata, SH., LLM dan Fred BG Tumbuan, SH., LPh dengan dibantu oleh beberapa anggota AKHI lainnya. Kedua Caretaker tersebut terlibat aktif dalam Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Advokat (RUU Advokat) sejak akhir 1998 hingga disahkannya menjadi UU No.18/2003 tentang Advokat (UU Advokat).
            Keanggotaan AKHI bersifat sukarela dan tidak ada konsekuensi hukum bagi Konsultan Hukum yang tidak bergabung dengan AKHI. Konsultan Hukum yang bukan anggota AKHI tetap dapat menjalankan profesinya.
            Meski sebagai organisasi Konsultan Hukum non litigasi, namun beberapa orang pendiri AKHI tersebut sebelumnya telah berpraktek sebagai praktisi hukum litigasi. Karenanya, dalam rapat pendirian AKHI telah diputuskan bahwa setiap penanda tangan naskah pendirian dan peserta yang telah berpartisipasi sebelum dan saat penandatanganan naskah pendirian AKHI secara otomatis menjadi anggota AKHI. Itulah sebabnya, jangan heran kalau ada pendiri AKHI yang kini menjadi advokat litigasi ternama.
            AKHI bertujuan untuk (i) mengembangkan dan meningkatkan eksistensi profesi Konsultan Hukum, (ii) menumbuhkan dan memelihara integritas dan profesionalisme para Konsultan Hukum, dan (iii) berperan aktif dalam pembangunan hukum nasional –khususnya- dalam pembinaan profesi hukum.
            AKHI berfungsi sebagai satu-satunya wadah komunikasi dan koordinasi para anggotanya guna (i) menggalang persatuan dan kesatuan anggota, (ii) menegakkan norma profesi Konsultan Hukum yang luhur, berwibawa, dan terpercaya yang dilandasi kode etik profesi, (iii) membela dan melindungi para anggotanya, dan (iv) meningkatkan peran serta para anggota dalam pembangunan hukum nasional pada khususnya serta pembangunan negara dan bangsa pada umumnya.
            Untuk dapat diangkat menjadi anggota AKHI disyaratkan (i) warga negara Indonesia tamatan Fakultas Hukum dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta yang dipersamakan dengan PTN atau perguruan tinggi luar negeri yang ijazahnya diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, (ii) telah berpraktek sebagai Konsultan Hukum di Indonesia minimal 3 (tiga) tahun, dan (iii) rekomendasi dari minimal 2 (dua) orang anggota AKHI penandatangan naskah pendirian AKHI tertanggal 19 Desember 1988 atau 2 (dua) orang anggota AKHI dengan masa keanggotaan minimal 5 tahun.
            Sesungguhnya, negara telah mengakui eksistensi profesi Konsultan Hukum. Sebabnya, profesi ini dibutuhkan untuk menunjang berbagai transaksi komersial termasuk investasi perusahaan asing. Kualitas kelayakan mereka lebih ditentukan oleh masyarakat pengguna jasa Konsultan Hukum itu sendiri. 
            Menteri Kehakiman (Menkeh) telah mengatur penggunaan tenaga ahli hukum asing (khususnya di kantor Konsultan Hukum, karena untuk advokat litigasi sama sekali dilarang bagi ahli hukum asing) pertama kali melalui Surat Keputusan (SK) No.J.S.15/24/7 tanggal 6 Juli 1974 tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Ahli Hukum Warga Negara Asing (WNA) Pendatang Pada Usaha Pemberian Jasa Dalam Bidang Hukum (SK Menkeh 1974).
            SK Menkeh 1974 tersebut kemudian dilengkapi dengan SK Menkeh No.M.01-HT.04.02 tahun 1985 tentang Pembatasan Jangka Waktu Bekerja Ahli Hukum WNA Pada Usaha Pemberian Jasa Dalam Bidang Hukum (SK Menkeh 1985).
            Selanjutnya kedua SK Menkeh tersebut dicabut dan diganti dengan SK Menkeh No.M.01-HT.04.02 Tahun 1991 sebagaimana telah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan SK Menkeh No.M.01.HT.04.02 tahun 1997 tentang Penggunaan Ahli Hukum WNA oleh Kantor Konsultan Hukum Indonesia.
            Dalam sejarahnya, setiap proses pembuatan peraturan yang terkait dengan Konsultan Hukum termasuk penggunaan ahli hukum WNA, Menteri Kehakiman selalu meminta pandangan dari AKHI.
            Selain itu, pada Januari 1991, Menteri Kehakiman pernah membuat rancangan Peraturan Menteri Kehakiman tentang Konsultan Hukum (RPMK). Pada tahun 1999 AKHI juga pernah mengajukan rancangan UU tentang Pelayanan Hukum (RUUPH). Dalam RUUPH terdapat bab khsusus tentang Konsultan Hukum selain Advokat dan Pengacara Praktek.
            Dalam perkembangannya kedua rancangan (RUUPH dan RPMK) tidak terealisasi menjadi produk hukum (UU dan Permenkeh). Alasannya antara lain karena intervensi pemerintah kurang begitu dikehendaki oleh para Konsultan Hukum. Dalam kedua rancangan tersebut, seseorang yang akan menjalankan profesinya sebagai Konsultan Hukum harus diangkat oleh Menteri (Kehakiman) dan ini dianggap akan mengurangi kemandirian Konsultan Hukum dalam menjalankan profesinya.
            Setelah melalui perdebatan yang intens di Dewan Perwakilan Rakyat dan memperhatikan sejarah eksitensi Konsultan Hukum serta melihat praktek di negara lain, akhirnya definisi Advokat dalam UU Advokat melingkupi juga profesi Konsultan Hukum di dalamnya. Perjuangan yang tak sia-sia dari AKHI.
            Sebagai perbandingan, di Inggris dan negara-negara bekas koloninya dikenal terminologi solicitor (non litigasi) dan barister (litigasi) bagi praktisi hukum. Pada tanggal 4 April 1996 International Bar Association (IBA) telah mengeluarkan Proposal Pedoman IBA untuk Konsultan Hukum Asing (Foreign Legal Consultant). Di dalamnya dijelaskan lingkup praktek konsultan hukum asing yang tidak boleh berpraktek sebagai pembela di pengadilan atau sidang hukum lainnya dalam yurisdiksi negara yang dikunjungi. Artinya, IBA telah mengakui profesi Konsultan Hukum.
            UU Advokat mendefinisikan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan ketentuan UU Advokat. Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
            Selanjutnya, ketentuan peralihan UU Advokat mengatur bahwa Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku (5 April 2003), dinyatakan sebagai Advokat. Dengan demikian, UU Advokat telah mengakui profesi dan pekerjaan yang dilakukan Konsultan Hukum yang bersifat non litigasi.
            Persoalannya, bagaimanakah nasib para Konsultan Hukum yang telah lama menjalankan profesinya (diluar aktivitas di pasar modal), tapi tidak bergabung dalam AKHI? Sebab, berdasarkan UU Advokat pengangkatan Advokat (termasuk Konsultan Hukum) dilakukan oleh Organisasi Advokat. Salah satu organisasi Konsultan Hukum (selain Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal –HKHPM) yang diakui UU Advokat dalam masa peralihan adalah AKHI.
            Karenanya, Konsultan Hukum yang telah menjadi anggota AKHI sebelum tanggal 5 April 2003 secara otomatis berdasarkan UU Advokat diangkat menjadi Advokat. Bagi para Konsultan Hukum yang tidak tergabung dalam AKHI, apakah mereka tidak lagi dapat menjalankan profesinya selaku Konsultan Hukum?
            UU Advokat memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat (termasuk sebagai Konsultan Hukum) dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat (dalam hal ini sebagai Konsultan Hukum) akan diancam pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 50 juta.
            Padahal, sebelum diberlakukannya UU Advokat, keikutsertaan dalam organisasi Konsultan Hukum semacam AKHI adalah bersifat sukarela dan tidak diwajibkan oleh hukum yang berlaku.
            Ketentuan peralihan UU Advokat jangan ditafsirkan secara mutlak bahwa bagi Konsultan Hukum yang sebelum berlakunya UU Advokat tidak tergabung dalam AKHI, tidak lagi dapat menjalankan profesinya sama sekali tanpa penyelesaian masa transisi. Jika demikian, maka UU Advokat telah mengingkari kenyataan sosiologis sebagai suatu syarat terlaksananya hukum dengan baik.
            Karenanya, AKHI sebagai organisasi Konsultan Hukum -yang diakui oleh UU Advokat dalam masa transisi pembentukan Organisasi Advokat (baru)- sedang menyusun kebijakan yang dapat mengakomodasikan kepentingan para Konsultan Hukum yang tidak menjadi anggota AKHI sebelum berlakunya UU Advokat.
            Sebagaimana diamanatkan UU Advokat, ke delapan organisasi yang telah ada sebelum berlakunya UU Advokat yang terdiri dari AKHI, HKHPM, Ikatan Advokat Indonesia, Assosiasi Advokat Indonesia, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia, Serikat Pengacara Indonesia, dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia telah membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sebagai masa transisi terbentuknya Organisasi Advokat (baru) berdasarkan UUAdvokat. Saat ini, "penerus" dari KKAI adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan tetap mempertahankan keberadaan 8 organisasi advokat tersebut tetap ada. (www.mail-archive.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar