Senin, 08 Desember 2014

Jemmy Mokolensang SH, Berjuang dari Nol, Sukses Jadi Pengacara Handal di Jakarta

Jemmy Mokolensang, SH
Jemmy Mokolensang, SH
INILAH sosok pekerja keras nan cerdas yang berhasil mengembangkan profesinya di luar Sulut. Dan kini lelaki yang selalu ramah dengan siapa saja ini, terus berusaha memberikan sumbangsih besarnya bagi Sulut. Dialah Jemmy Mokolensang SH, yang berjuang dari nol. Jemmy pun sempat dipukul orang saat mencari pekerjaan, bahkan dia pernah tak makan seharian karena tak punya uang. Kini dia menjadi pengacara handal di Jakarta.
Iya, lelaki yang lulus SMAN 1 Manado dan kemudian kuliah di Fakultas Hukum Unsrat pada 1985 -1990, memang setelah meraih gelar Sarjana Hukum berjuang di kota metropolitan Jakarta. Banyak suka-duka yang dilalui selama masa perjuangannya dulu. Bahkan Jemmy Mokolensang pernah tak makan seharian karena tak punya uang. Atau sempat dipukul sekelompok orang ketika mencari pekerjaan.
Namun dengan tekad kuat dan kerja keras, semuanya dilalui Jemmy Mokolensang dengan baik. Lelaki kelahiran Kolongan (Minut) ini pernah menjual makanan catering dan membawa sendiri ke pelanggannya di kantor-kantor. Dia juga pernah jadi debt collector di suatu perusahaan.
Jemmy Mokolensang pun terus berjuang. Lalu berkesempatan bekerja di perusahaan asuransi sebagai sales. Bahkan kemudian dia dipercayakan sebagai Agency Area Maneger dan membidangi empat kepala cabang yang ada di Jakarta. ‘’Semuanya memang penuh perjuangan,’’ kata lelaki yang lahir pada 14 Januari 1966 ini.
Di sela-sela waktu bekerja pun, Jemmy Mokolensang  pun mengikusi pendidikan khusus profesi advokat. Dia pun semakin memperdalam ilmu hukumnya. Bahkan kemudian dia menjadi advokat dan konsultan hukum. Profesi sebagai pengacara ini terus ditekuni Jemmy Mokolensang hingga saat ini. Kantornya di Puri Imperium Blok G1 Kuningan Madya Kav 5-6 Jakarta pun kerap didatangi banyak klien. Berbagai kasus pun ditanganinya dengan baik, termasuk beberapa perkara yang cukup menarik perhatian publik.
Jemmy Mokolesang
Saat ini, jelang Pemilu 2014, suami dari Coinsco Grace Sumolang sering bolak-balik Jakarta-Manado terkait dengan persiapan dirinya sebagai calon legislatif. Melalui PDI-Perjuangan, Jemmy Mokolensang dicalonkan untuk DPR RI dari dapil Sulut.
Sejumlah program pun sudah disiapkan ayah dari Claudia Z.V. dan Clifford Mathew. Terutama lagi melalui pendidikan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Misalnya, dengan mengadakan rumah baca gratis bagi semua warga masyarakat. ‘’Ya, akan ada sejuta buku yang akan saya siapkan untuk masyarkat yang gemar membaca,’’ kata anggota Indonesia Lawyers Club ini ketika diwawancarai di salah satu hotel berbintang di Manado.
Tak lupa juga di saat menutup perbincangan, Jemmy memberi motivasi. ‘’Dengan kemauan dan kerja keras, serta takut akan Tuhan, itulah kunci keberhasilan kita,’’ tandas salah satu pengurus  PKKO Persekutuan Karyawan Kristen Oikumene di Jakarta. (http://sulutpromo.com)
Abang, Advokat Lokomotif Demokrasi

Dibaca: 10309 | Suara: 0 Favorit: 0 |
?
17.18%
Social URL: http://tokoh.in/555~qtokoh.in/555
?
Print Bio Kutip

zoom in
zoom out
font color
bold


Si Abang, Advokat Lokomotif Demokrasi
Adnan Buyung Nasution | TICOM | bs

Mantan jaksa yang menjadi advokat handal ini sejak kecil sudah kelihatan berbakat aktivis. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Sempat menganggur satu tahun sebelum membuka kantor pengacara (advokat) dan membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi.
Adnan Buyung Nasution Tambahkan untuk dibandingkan

[Kartu TI :: Adnan Buyung Nasution]
[Daftar Biografi Adnan Buyung Nasution]

Mantan Jaksa, Advokat/Konsultan Hukum
Lihat Curriculum Vitae (CV) Adnan Buyung Nasution

QR Code Halaman Biografi Adnan Buyung Nasution
Bio Lain
Click to view full article
Fariz RM
Click to view full article
Ichlasul Amal
Click to view full article
Syamsir Siregar
Click to view full article
Nya Abbas Akup
Click to view full article
Evie Tamala
Click to view full article
Djeno Harum Brodjo
Click to view full article
Zulkifli Nurdin
BERITA TERBARU

Agung dan Priyo klaim Munas Golkar di Ancol didukung JK
6 Dec 2014
Adnan Buyung Bantah Surat Protes Anas Hinaan Ke KPK
27 Nov 2014
Anas tak Boleh Dijenguk, Adnan Buyung: KPK Berlebihan
26 Nov 2014
Anas tak Boleh Dijenguk Keluarga, Buyung: Itu Bukan Main Kejamnya
26 Nov 2014
Sanksi Larangan Jenguk, Adnan Buyung Sambangi Anas Urbaningrum
26 Nov 2014

Index

Buyung lahir di Jakarta, 20 Juli 1934. Hidupnya cukup sarat dengan tantangan. Sejak kecil, umur dua belas tahun, Buyung bersama adik satu-satunya Samsi Nasution sudah harus menjadi pedagang kali lima menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta. Di pasar itu pula, ibunya, Ramlah Dougur Lubis berjualan cendol. Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda dalam Clash II pada 1947-1948. "Itu masa-masa sulit. Kami hanya makan tiwul, karena tak sanggup beli nasi," katanya seperti dikutip sebuah media cetak.

Sejak kecil, ia menjadikan ayahnya sebagai teladan. "Dia pejuang, caranya pun tidak pilih-pilih. Dia bergerilya membela Republik. Sikapnya jelas, antipenjajahan dalam bentuk apa pun," ujar Buyung tentang ayahnya. Kebanggaan Buyung tentu beralasan. Ayahnya memang sosok pejuang sejati: tidak hanya berjuang lewat gerilya, tetapi juga lewat informasi. Rahmad Nasution adalah salah seorang pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat. Dia pula yang merintis berdirnya harian berbahasa Inggris The Time of Indonesia. "Dia menjadi semacam tokoh buat saya," kata Buyung lagi.

Rupanya, Buyung juga tidak mau ketinggalan dari ayahnya dalam soal perjuangan. Ketika SMP di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta, ia ikut Mopel (Mobilisasi Pelajar) dan melakukan aksi protes pendirian sekolah NICA di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta. Ia ikut merusak sekolah dan melempari guru-guru sekolah tersebut.

Memang, sejak kecil, Buyung sudah kelihatan berbakat Lihat Daftar Aktivis
Aktivis. Saat bersekolah di SMA Negeri I Jakarta, ia pun sudah menjadi Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Kemudian, ia mengundurkan diri dan membubarkan organisasi itu karena mulai terkena bau-bau PKI dan membawa-bawa nama International Union of Student (IUS) yang kekiri-kirian.

Lulus SMA, Buyung hijrah ke Bandung dan mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan Teknik Sipil. Di sana ia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Tetapi ia hanya bertahan setahun di ITB, lalu pindah ke Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak lama di situ, pada 1957 ia pindah lagi ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Lulus sarjana muda, sambil meneruskan kuliah, ia bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Meski sudah menjadi jaksa, tetapi semangatnya sebagai Lihat Daftar Aktivis
Aktivis tidak pudar. Ketika itu ia sempat mendirikan sekaligus menjadi Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Selain itu, ia juga menjadi anggota Komando Aksi Penggayangan Gestapu. Bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia ikut turun ke jalan sehingga diinterogasi oleh atasannya. Bahkan sempat dirumahkan selama satu setengah tahun alias diskorsing dari pekerjaannya sebagai jaksa. Ia tidak diberi pekerjaan dan tidak diberi meja di kantor. Buyung dituduh antirevolusi, anti-Manipol-Usdek.

Kemudian ia mendapat surat pindah tugas ke Manado. Lucunya, ia ditempatkan di Medan. Entah bagaimana, Buyung tidak srek dengan pemindahan itu. Akhirnya, pada 1968, Buyung meninggalkan baju jaksa. Selain itu, ia juga di-recall dari DPR/MPR. Sekitar setahun ia menganggur kemudian membentuk Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta. Untuk mendukung kerja LBH, Buyung membuka kantor pengacara (advokat). Sekali jalan, dua-duanya berkembang. Kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia. Sementara itu, LBH--kemudian menjadi YLBHI dan membawahi LBH-LBH--pun tumbuh besar dan kemudian dikenal sebagai lokomotif demokrasi.

Soal pendirian LBH ini Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah saja menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. "Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang. Di situ saya berpikir, harus ada orang yang membela mereka," katanya.

Tetapi niat itu dipendamnya. Kemudian, saat buyung kuliah Universitas Melbourne, Australia, ia melihat bahwa di negara itu ada Lembaga Bantuan Hukum. Itu membuat ia sadar bahwa bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Kemudian ia menyampaikan ide itu kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi ia menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saati itu memang belum mendukung gagasan tersebut.

Ia baru bisa merealisaskani idenya membentuk LBH setelah ia keluar dari Kejaksaan. Mula-mula gagasan itu dilontarkan kepada Profesor Sumitro dan Mochtar Lubis. Rupanya, Sumitro dan Mochtar cukup antusias mendukung ide itu. Namun, Sumitro menyarankan supaya Buyung membuka kantor advokat karena bagaimana pun Buyung harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi sebelum Sumitro sempat membantu, dia keburu diangkat sebagai Lihat Daftar Menteri
Menteri perdagangan.

Selanjutnya, Buyung yang izin praktek advokatnya sempat dicabut itu menemui Lihat Daftar Menteri
Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adjie untuk mengkonsultasikan ide itu. Rupanya pak Lihat Daftar Menteri
Menteri ini juga mendukung tapi menyarankan Buyung jadi advokat dulu supaya punya legalitas. Tanpa proses yang rumit, Buyung pun mendapatkan izin advokat, dan membuka kantor law firm. Tak lupa, ia juga mengajak beberapa temannya menjadi staf, seperti Nono Anwar Makarim, Mari'e Muhammad (bekas Menteri Keuangan). Kantor itu kemudian berkembang.

Kemudian, mulailah Buyung menyiapkan pendirian LBH. Ia mulai melakukan pendekatan dengan sejumlah advokat untuk mensosialisasi ide itu. Buyung tidak mau ada ganjalan untuk mewujudkan gagasannya. Soalnya, menurut Buyung, di beberapa negara LBH dimusuhi oleh para advokat. Tetapi syukur, ia tidak punya ganjalan apa-apa. Peserta Kongres Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), terutama Yap Thiam Hien dan Lukman Wiryadinata (bekas Menteri Kehakiman), mendukung penuh gagasan itu.

Buyung juga melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah. Ia menemui Ali Moertopo yang waktu itu menjadi asisten pribadi Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Presiden Soeharto dan menjelaskan ide itu seraya meminta ide itu disampaikan kepada Presiden, apakah presiden setuju atau tidak. Rupanya tak lama, ia dipanggil dan mendapat kabar bahwa Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Soeharto setuju dengan gagasan itu. Malah, ketika pembukaan LBH ia mendapat 10 skuter dari pemerintah.

Selain pemerintah pusat, Buyung juga mendekati pemerintah daerah DKI Jakarta. Ia menemui Gubernur DKI Jakarta (1966-1977)
Ali Sadikin yang waktu itu menjadi gubernur. Rupanya, Ali juga satu suara dengan yang lain. Bahkan, yang mendukung bukan Ali sebagai pribadi, tetapi pemerintah daerah DKI Jakarta. Karena dukungan-dukungan itu, kemudian lahirlah LBH tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH pertama kali.

Namun, ada satu hal yang tidak banyak diketahui dari si Abang ini, tak lain adalah namanya. Ternyata nama Buyung sebenarnya Adnan Bahrum Nasution. "Nama asli saya dalam akta kelahiran memang Adnan Bahrum Nasution," kata Buyung suatu kali kepada Kompas. Semasa kuliah, bahkan ketika menikah namanya masih tertulis Adnan Bahrum Nasution. Cuma memang ia tidak menulis lengkap namanya: Adnan Bahrum Nasution, tetapi Adnan B. Nasution.

Tetapi kawan-kawannya suka memanggilnya Buyung. Perekatan nama Buyung di tengah namanya itu terjadi ketika menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1964. Waktu itu petugas administrasi disana yang kerap mendengar sapaan Buyung terhadap si Abang, langsung saja menulis lengkap nama Adnan B. Nasution sebagai Mantan Jaksa, Advokat/Konsultan Hukum
Adnan Buyung Nasution. Nama itulah yang kemudian dikenal banyak orang. Sumber Tempointeraktif TI
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/555-si-abang-advokat-lokomotif-demokrasi
Copyright © tokohindonesia.com
Abang, Advokat Lokomotif Demokrasi

Dibaca: 10309 | Suara: 0 Favorit: 0 |
?
17.18%
Social URL: http://tokoh.in/555~qtokoh.in/555
?
Print Bio Kutip

zoom in
zoom out
font color
bold


Si Abang, Advokat Lokomotif Demokrasi
Adnan Buyung Nasution | TICOM | bs

Mantan jaksa yang menjadi advokat handal ini sejak kecil sudah kelihatan berbakat aktivis. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Sempat menganggur satu tahun sebelum membuka kantor pengacara (advokat) dan membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi.
Adnan Buyung Nasution Tambahkan untuk dibandingkan

[Kartu TI :: Adnan Buyung Nasution]
[Daftar Biografi Adnan Buyung Nasution]

Mantan Jaksa, Advokat/Konsultan Hukum
Lihat Curriculum Vitae (CV) Adnan Buyung Nasution

QR Code Halaman Biografi Adnan Buyung Nasution
Bio Lain
Click to view full article
Fariz RM
Click to view full article
Ichlasul Amal
Click to view full article
Syamsir Siregar
Click to view full article
Nya Abbas Akup
Click to view full article
Evie Tamala
Click to view full article
Djeno Harum Brodjo
Click to view full article
Zulkifli Nurdin
BERITA TERBARU

Agung dan Priyo klaim Munas Golkar di Ancol didukung JK
6 Dec 2014
Adnan Buyung Bantah Surat Protes Anas Hinaan Ke KPK
27 Nov 2014
Anas tak Boleh Dijenguk, Adnan Buyung: KPK Berlebihan
26 Nov 2014
Anas tak Boleh Dijenguk Keluarga, Buyung: Itu Bukan Main Kejamnya
26 Nov 2014
Sanksi Larangan Jenguk, Adnan Buyung Sambangi Anas Urbaningrum
26 Nov 2014

Index

Buyung lahir di Jakarta, 20 Juli 1934. Hidupnya cukup sarat dengan tantangan. Sejak kecil, umur dua belas tahun, Buyung bersama adik satu-satunya Samsi Nasution sudah harus menjadi pedagang kali lima menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta. Di pasar itu pula, ibunya, Ramlah Dougur Lubis berjualan cendol. Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda dalam Clash II pada 1947-1948. "Itu masa-masa sulit. Kami hanya makan tiwul, karena tak sanggup beli nasi," katanya seperti dikutip sebuah media cetak.

Sejak kecil, ia menjadikan ayahnya sebagai teladan. "Dia pejuang, caranya pun tidak pilih-pilih. Dia bergerilya membela Republik. Sikapnya jelas, antipenjajahan dalam bentuk apa pun," ujar Buyung tentang ayahnya. Kebanggaan Buyung tentu beralasan. Ayahnya memang sosok pejuang sejati: tidak hanya berjuang lewat gerilya, tetapi juga lewat informasi. Rahmad Nasution adalah salah seorang pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat. Dia pula yang merintis berdirnya harian berbahasa Inggris The Time of Indonesia. "Dia menjadi semacam tokoh buat saya," kata Buyung lagi.

Rupanya, Buyung juga tidak mau ketinggalan dari ayahnya dalam soal perjuangan. Ketika SMP di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta, ia ikut Mopel (Mobilisasi Pelajar) dan melakukan aksi protes pendirian sekolah NICA di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta. Ia ikut merusak sekolah dan melempari guru-guru sekolah tersebut.

Memang, sejak kecil, Buyung sudah kelihatan berbakat Lihat Daftar Aktivis
Aktivis. Saat bersekolah di SMA Negeri I Jakarta, ia pun sudah menjadi Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Kemudian, ia mengundurkan diri dan membubarkan organisasi itu karena mulai terkena bau-bau PKI dan membawa-bawa nama International Union of Student (IUS) yang kekiri-kirian.

Lulus SMA, Buyung hijrah ke Bandung dan mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan Teknik Sipil. Di sana ia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Tetapi ia hanya bertahan setahun di ITB, lalu pindah ke Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak lama di situ, pada 1957 ia pindah lagi ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Lulus sarjana muda, sambil meneruskan kuliah, ia bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Meski sudah menjadi jaksa, tetapi semangatnya sebagai Lihat Daftar Aktivis
Aktivis tidak pudar. Ketika itu ia sempat mendirikan sekaligus menjadi Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Selain itu, ia juga menjadi anggota Komando Aksi Penggayangan Gestapu. Bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia ikut turun ke jalan sehingga diinterogasi oleh atasannya. Bahkan sempat dirumahkan selama satu setengah tahun alias diskorsing dari pekerjaannya sebagai jaksa. Ia tidak diberi pekerjaan dan tidak diberi meja di kantor. Buyung dituduh antirevolusi, anti-Manipol-Usdek.

Kemudian ia mendapat surat pindah tugas ke Manado. Lucunya, ia ditempatkan di Medan. Entah bagaimana, Buyung tidak srek dengan pemindahan itu. Akhirnya, pada 1968, Buyung meninggalkan baju jaksa. Selain itu, ia juga di-recall dari DPR/MPR. Sekitar setahun ia menganggur kemudian membentuk Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta. Untuk mendukung kerja LBH, Buyung membuka kantor pengacara (advokat). Sekali jalan, dua-duanya berkembang. Kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia. Sementara itu, LBH--kemudian menjadi YLBHI dan membawahi LBH-LBH--pun tumbuh besar dan kemudian dikenal sebagai lokomotif demokrasi.

Soal pendirian LBH ini Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah saja menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. "Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang. Di situ saya berpikir, harus ada orang yang membela mereka," katanya.

Tetapi niat itu dipendamnya. Kemudian, saat buyung kuliah Universitas Melbourne, Australia, ia melihat bahwa di negara itu ada Lembaga Bantuan Hukum. Itu membuat ia sadar bahwa bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Kemudian ia menyampaikan ide itu kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi ia menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saati itu memang belum mendukung gagasan tersebut.

Ia baru bisa merealisaskani idenya membentuk LBH setelah ia keluar dari Kejaksaan. Mula-mula gagasan itu dilontarkan kepada Profesor Sumitro dan Mochtar Lubis. Rupanya, Sumitro dan Mochtar cukup antusias mendukung ide itu. Namun, Sumitro menyarankan supaya Buyung membuka kantor advokat karena bagaimana pun Buyung harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi sebelum Sumitro sempat membantu, dia keburu diangkat sebagai Lihat Daftar Menteri
Menteri perdagangan.

Selanjutnya, Buyung yang izin praktek advokatnya sempat dicabut itu menemui Lihat Daftar Menteri
Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adjie untuk mengkonsultasikan ide itu. Rupanya pak Lihat Daftar Menteri
Menteri ini juga mendukung tapi menyarankan Buyung jadi advokat dulu supaya punya legalitas. Tanpa proses yang rumit, Buyung pun mendapatkan izin advokat, dan membuka kantor law firm. Tak lupa, ia juga mengajak beberapa temannya menjadi staf, seperti Nono Anwar Makarim, Mari'e Muhammad (bekas Menteri Keuangan). Kantor itu kemudian berkembang.

Kemudian, mulailah Buyung menyiapkan pendirian LBH. Ia mulai melakukan pendekatan dengan sejumlah advokat untuk mensosialisasi ide itu. Buyung tidak mau ada ganjalan untuk mewujudkan gagasannya. Soalnya, menurut Buyung, di beberapa negara LBH dimusuhi oleh para advokat. Tetapi syukur, ia tidak punya ganjalan apa-apa. Peserta Kongres Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), terutama Yap Thiam Hien dan Lukman Wiryadinata (bekas Menteri Kehakiman), mendukung penuh gagasan itu.

Buyung juga melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah. Ia menemui Ali Moertopo yang waktu itu menjadi asisten pribadi Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Presiden Soeharto dan menjelaskan ide itu seraya meminta ide itu disampaikan kepada Presiden, apakah presiden setuju atau tidak. Rupanya tak lama, ia dipanggil dan mendapat kabar bahwa Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Soeharto setuju dengan gagasan itu. Malah, ketika pembukaan LBH ia mendapat 10 skuter dari pemerintah.

Selain pemerintah pusat, Buyung juga mendekati pemerintah daerah DKI Jakarta. Ia menemui Gubernur DKI Jakarta (1966-1977)
Ali Sadikin yang waktu itu menjadi gubernur. Rupanya, Ali juga satu suara dengan yang lain. Bahkan, yang mendukung bukan Ali sebagai pribadi, tetapi pemerintah daerah DKI Jakarta. Karena dukungan-dukungan itu, kemudian lahirlah LBH tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH pertama kali.

Namun, ada satu hal yang tidak banyak diketahui dari si Abang ini, tak lain adalah namanya. Ternyata nama Buyung sebenarnya Adnan Bahrum Nasution. "Nama asli saya dalam akta kelahiran memang Adnan Bahrum Nasution," kata Buyung suatu kali kepada Kompas. Semasa kuliah, bahkan ketika menikah namanya masih tertulis Adnan Bahrum Nasution. Cuma memang ia tidak menulis lengkap namanya: Adnan Bahrum Nasution, tetapi Adnan B. Nasution.

Tetapi kawan-kawannya suka memanggilnya Buyung. Perekatan nama Buyung di tengah namanya itu terjadi ketika menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1964. Waktu itu petugas administrasi disana yang kerap mendengar sapaan Buyung terhadap si Abang, langsung saja menulis lengkap nama Adnan B. Nasution sebagai Mantan Jaksa, Advokat/Konsultan Hukum
Adnan Buyung Nasution. Nama itulah yang kemudian dikenal banyak orang. Sumber Tempointeraktif TI
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/555-si-abang-advokat-lokomotif-demokrasi
Copyright © tokohindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar