Senin, 06 Oktober 2014

Memahami “Pro Bono Paralegal”


Bagi sebagian teman mungkin sangatlah asing dengan istilah Paralegal dan bagi sebagian lagi sudah mengenalnya dengan baik. Pengembangan keparalegalan inilah, yang sudah ataupun sedang dikembangkan oleh beberapa lembaga donor seperti Bank Dunia (Klik..more) yang bekerjasama dengan NGO lokal di beberapa daerah di Indonesia, melalui programnya yang bernama Revitalization of Legal Aid (RLA).
Paralegal diperkenalkan kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu dengan variasi yang cukup berbeda bila merujuk pada definisi paralegal yang secara umum sudah dikenal. Mungkin, ini terobosan cara berhukum terkini dari para perancang program tersebut.
Lembaga donor dan NGO lokal itu, memperkenalkan istilah paralegal kepada kelompok masyarakat yang memiliki kendala akses hukum dan keadilan yang cukup berarti, terutama yang disebabkan oleh dua hal:
  1. Lemahnya pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat; dan
  2. Lemahnya kelompok masyarakat tersebut ketika berhadapan dengan sistem hukum formal yang sering kali tidak memihak mereka.
Berangkat dari dua hal tersebut, munculah kelompok dampingan yaitu kelompok tani dan kelompok buruh. Paralegal dipilih dari anggota kelompok dampingan dengan kriteria: (1) sudah terbiasa dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum masyarakat; dan (2) memiliki pengalaman dalam advokasi kasus.
Dengan demikian meskipun menggunakan istilah yang sama yaitu Paralegal, namun pengertiannya menjadi lain dengan apa yang sudah dikenal lebih dulu dalam praktik kantor hukum atau keadvokatan. Untuk itu, bila memang serius untuk mengembangkan keparalegalan pada kelompok dampingan tersebut, menurut saya istilah Paralegalnya ditambah embel-embel “Pro Bono”, sehingga menjadi “Pro Bono Paralegal”. Hal ini untuk membedakan dengan istilah Paralegal yang biasa digunakan oleh kantor hukum yang memang sudah menjadi pekerjaan bahkan sudah menjadi profesi penunjang praktik keadvokatan.
Saya akan coba menguraikan wacana tersebut yang lebih lengkap sebagai berikut:
Istilah dan Pengertian Paralegal (Perbandingan)
Sekali lagi, istilah paralegal merupakan barang impor, yang kata padanannya yaitu“legal assistant”.  Saya merujuk pada definisi berikut ini:
Legal assistants, also known as paralegals, are a distinguishable group of persons who assist attorneys in the delivery of legal services. Through formal education, training and experience, legal assistants have knowledge and expertise regarding the legal system and substantive and procedural law which qualify them to do work of a legal nature under the supervision of an attorney.(klik)

Bila dari definisi tersebut diuraikan dan dibandingkan dengan konsep dan praktik paralegal dalam program RLA, maka saya dapat uraikan  sebagai berikut:
1. person who assist attorneys in the delivery of legal services
RLA: secara konseptual menurut saya kebalikannya, Paralegal yang aktif menangani perkara di tingkat masyarakat (legal service), sedangkan advokat sifatnya pasif selama perkara dimaksud belum masuk proses beracara dipengadilan, terkecuali di PHI wakil buruh (pengurus organisasi)/paralegal sudah dapat beracara.
Temuan: dengan konsep seperti itu, kita jangan menutup mata, bahwa dengan lemahnya peran aktif advokat/pendamping dalam penanganan perkara, paralegal dalam praktiknya menjadi semacam pekerjaan tambahan. Ada yang meminta imbalan, bahkan ada yang menjadi malas lagi bertani dan memilih menjadi paralegal kesana kemari aktif menyelesaikan kasus, bahkan sampai jauh diluar desa tempat tinggalnya.
Saran: (1) Advokat/Pendamping harus lebih aktif lagi dalam membantu menangani perkara yang muncul dan meningkatkan supervisi perkara, harus mengetahui dengan jelas apa-apa saja perkara yang sedang ditangani oleh paralegal. (2) paralegal dan advokat harus menjalin komunikasi yang baik dan efektif. (3) Untuk menghilangkan kesan bahwa paralegal bisa jadi pekerjaan tambahan, maka istilah paralegal di tambah embel-embel pro bono,,,jadi bisa “Probono Paralegal”.
Penggunaan kata pro bono tersebut untuk membedakannya dengan definisi impor yang sudah terlanjur diterapkan yaitu ada unsur “legal services”(jasa/pelayanan hukum) yang cenderung mengacu pada unsur imbalan, karena jasa. Sedangkan, bila ditambah embel-embel menjadi “Probono Paralegal”, maka jelas konsepsi dan penekanannya bahwa dia secara sukarela memberikan bantuan hukum kepada kelompok dampingan dan masyarakat sekitarnya tanpa harapan untuk mendapatkan imbalan.
2. Through formal education, training and experience,
RLA: Seseorang menjadi Probono Paralegal setelah sebelumnya menjalankan pelatihan secara bertahap dengan kurikulum hukum tertentu. Sebelumnya probono paralegal ini dipilih terutama yang telah memiliki pengalaman penanganan kasus.
Temuan: Masih Banyak Probono Paralegal dipilih jauh dari harapan. Padahal kalau mau serius banyak sekali yang berminat. Sebagai ex,Fasko, menurut saya kelemahannya terutama dalam mengkomunikasikan dengan calon Pro Bono Paralegal dan sosialisasi program, khususnya dalam memberikan penjelasan apa itu (probono) Paralegal.
Saran: Ya,,Fasko-nya di tranning ajah dulu yang bener. Buat buku panduan bersama tentang konsepsi yang mendasar dalam program.Kenapa? karena yang akan banyak menjelaskan RLA di lapangan adalah Fasko. Bagaimana Fasko bisa mendapat pemahaman dan menjelaskan kembali RLA secara baik,trainning faskonya ajah belum.
3. legal assistants have knowledge and expertise regarding the legal system and substantive and procedural law
RLA: Untuk mendapatkan pengetahuan hukum yang memadai praktik Probono Paralegal dikembangkan Kurikulum yang diberikan secara bertahap dalam pelatihan berjenjang selama program. Ada tiga materi yang penting: (1) Pengetahuan Sistem Hukum; (2) Pengetahuan Substansi Hukum;dan (3) Pengetahuan Hukum Acara. Dalam RLA saya liat mulai dikembangkan Pendokumentasian Hukum (ini adalah nilai plus-nya menurut saya).
Temuan: Ada pergantian Pro Bono Paralegal antar waktu. So, pengetahuan hukumnya dapetnya setengah-setengah.
Saran: (1) Pelaksanaan trainningnya bila memungkinkan untuk pelatihan I, II,di lokasi pro bono parelegal saja. Untuk memudahkan aksesibilitas, selama ini banyak calon probono paralegal mundur karena tempat pelatihannya so far,,so good,,,heheh. Jadi PAW (ParalegalAntar Waktu). Ya gimana diatur lah kemudahan aksesibilitasnya. Bahasanya mungkin seperti itu. (2) Tambahan Model Trainning dari kasus kutipan berita surat kabar lokal kemudiian dianalisis dan didiskusikan, dan ambil kesimpulannya. Kaya acara parodi ahli komunikasi politik itu lho,,,berita di koran dianalisa. Menurut saya hal ini merupakan  jalan untuk menumbuhkan ketertarikan belajar hukum masyarakat. Fasko/Pendamping harus bisa memberikan analisa hukum yang mudah dimengerti, sederhana, namun lengkap.
4. which qualify them (paralegal) to do work of a legal nature under the supervision of an attorney.
RLA: Desain RLA terlalu membebankan banyak tugas ke Fasko, saya inventarisasi dulu sekitar ada 18 tugas Fasko. Bila konsisten pada konsepsi paralegal yang impor itu, maka peran aktif juga seharusnya muncul dari Advokat. Advokat aktif melaksanakan fungsi supervisi minimal selama program. Klo setelah program selesai gimana ya? heheh,,,maaf kondisi riil-nya adalah mari kita lari sekuat tenaga!
Saran: (1) Tenaga Advokatnya ya tambah, klo tidak ya minta bantuan yang lain; (2) SOP-nya dibuat dan dijalankan, model komunikasinya diperbaiki.
Kedudukan dan Cara Pandang “Pro Bono” Paralegal
Mengenal istilah “Pro Bono” Paralegal, pikiran saya selalu nyangkut dan selalu mengkait-kaitkan dengan Fungsi, Peran dan Kedudukan pengemban hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Advokat dan Hakim). Mengapa? sebab “Pro Bono” Paralegal merupakan seseorang (person) yang ‘diciptakan’ untuk membantu menyelesaikan persoalan hukum yang muncul di masyarakat setempat. Artinya, secara konseptual, praktik keparalegalan akan langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan area tugas pengembangan hukum di lapangan terutama Advokat dan Polisi.
Pertanyaannya adalah adakah penjelasan teoritis yang sederhana mengenai relasi ini? sehingga ada penggangan perspektif yang kuat dan kokoh bagi seorang “Pro Bono Paralegal” dalam membantu menyelesaikan masalah hukum di masyarakat. Dari segi Ilmu sosial (sudut pandang sosiologis dan antropologi) saya pikir sudah dapat jawabannya. Namun dari sudut pandang Ilmu Hukum, saya rasa wacananya belum muncul.
Saya sudah memiliki jawaban sementara (mungkin) seperti ini:
  1. Secara konseptual, kedudukan Polisi dan Jaksa dalam menangani perkara berada pada sisi pemerintah (menjalankan kekuasaan Eksekutif), sehingga posisinya SUBJEKTIF. Sudut pandang yang digunakan juga SUBJEKTIF. Oleh karena itu, dalam menangani perkara, seorang Polisi dan Jaksa istilahnya menggunakan kaca mata kuda. Ada Pasal yang dilanggar (pidana), maka mereka masing-masing diberikan ruang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan. Mereka tidak akan pernah menyentuh pada kenapa/alasan-alasan pembenar seseorang melakukan TP, yang penting ada pasal yang dilanggar, memiliki bukti permulaan yang cukup,,,Ok jalan. Bahasa klisenya mungkin mereka ditugaskan sebagai penegak hukum (undang-undang), bukan penegak keadilan.
  2. Secara konseptual, kedudukan Hakim dalam menangani perkara yang diajukan kepadanya adalah OBJEKTIF. Hakim berkedudukan sebagai pengemban kekuasaan kehakiman dalam negara (Yudikatif). Fungsinya juga termasuk sebagai penyeimbang kekuatan kekuasaan negara (Eksekutif-Legislatif). Sudut pandang yang digunakan adalah OBJEKTIF, hakim akan menilai alat bukti, akan menimbang-nimbang hal-hal yang memberatkan dan meringankan suatu perkara. Inilah,makanya irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam setiap putusan hakim muncul. Tujuan putusan hakim adalah KEADILAN.
  3. Secara konseptual, kedudukan Advokat dalam menangani perkara adalah SUBJEKTIF. Advokat berkedudukan di pihak masyarakat (klien).  Advokat berdasarkan keahliannya akan sekuat tenaga memunculkan hal-hal yang meringankan kliennya. Namun, terdapat perbedaan sudut pandang dengan Polisi dan Jaksa. Seorang advokat meskipun kedudukannya SUBJEKTIF, namun sudut pandang dalam menangani perkara  seyogyanya OBJEKTIF. Advokat yang baik, akan memberikan penjelasan yang se-OBJEKTIF mungkin mengenai posisi klien dalam suatu perkara. Kata advokat senior, inilah yang membedakan advokat dengan klien, advokat meskipun kedudukannya membela Klien, tapi harus memiliki sudut pandang yang objektif dalam menangani perkara, memberikan penjelasan hukum berdasarkan keahliannya seobjektif mungkin kepada klien. Hal ini berbeda dengan klien, yang cenderung bersudut pandang subjektif, yang mungkin akan senantiasa  mencari  alasan-alasan pembenar dari perbuatannya.So,,seorang advokat akan melakukan fungsi kontrol sosial, kontrol terhadap sistem hukum, dan kontrol terhadap penegakan hukum.
Dengan bertitik tolak pada konsepsi tersebut, lalu bagaimanakah kedudukan dan cara pandang “Pro Bono Paralegal” dalam membantu menyelesaikan kasus hukum di masyarakat yang perlu dibangun dengan kokoh? Hal inilah yang sampai dengan saat ini saya belum dapatkan dalam Pelatihan “Probono” Paralegal. Padahal menurut saya inilah paradigma penggeraknya bagi seseorang menjalankan aktifitas probono paralegal. Bila hal ini kurang dipahami, maka yang terjadi adalah “kebingungan”, “obscure”, dkk, he.
Contoh: Ada “Pro Bono Paralegal” dilapangan yang menghadapi masalah seperti ini, dia melakukan sosialisasi ada paralegal di Desa A ke Polsek. Kemudian Polsek menyambut positif adanya Paralegal tersebut, dan mengajaknya merangkap sebagai Polmas (Polisi Masyarakat), sebab kebetulan di Institusi kepolisian ada juga dikembangkan yang mirip-mirip seperti itu.
Kemudian, Pro Bono Paralegal bertanya kepada saya, boleh tidak Paralegal merangkap sebagai kader Polmas? Pertanyaan ini setidaknya muncul 2 kali: pertama, di Posko Dipasena Lampung, dulu (RLA I), dan di Posko Cisewu Garut (RLA II). Agak ribet juga menjelaskannya, tapi saya jawab dengan titik tolak konsepsi kedudukan dan cara pandang pengemban hukum dalam menangani perkara di atas. Sehingga jawaban singkatnya adalah “Probono” Paralegal tidak boleh merangkap sebagai POLMAS. Harus pilih salah satu. Mengapa?
Secara konsep tidak nyambung. POLMAS diadakan oleh Institusi Kepolisian untuk membantu, setidak-tidaknya meringankan tugas-tugas kepolisian di masyarakat. Seorang POLMAS dilapangan berkordinasi dengan Polisi,yang nota bene secara konseptual berkedudukan di pihak eksekutif (pemerintah), dan memiliki sudut pandang yang Subjektif dalam menangani perkara. Sedangkan seorang “Pro Bono Paralegal” kedudukannya di pihak masyarakat dalam menangani perkara, dia akan menjalankan fungsi sosial kontrol bersama-sama masyarakat, melakukan kontrol terhadap penegakan hukum di tingkat lokal.
Begitupun dengan sudut pandang (paradigma) dalam membantu menyelesaikan masalah hukum juga akan berbeda. Seorang “Pro Bono Paralegal” harus memiliki sudut pandang yang OBJEKTIF dalam membantu menangani masalah hukum (mirip praktik keadvokatan). Objektif dalam pengertian mampu memberikan informasi dan analisa hukum sederhana, namun tepat. Mengapa? sederhana saja, seorang “Pro Bono Paralegal” diproyeksikan sebagai kader hukum masyarakat ke depan. “Pro Bono Paralegal” lah yang diharapkan menjadi sarana bertanya dan informasi awal bila ada masalah hukum di masyarakatnya. So,, keberadaan “Pro Bon Paralegal” bukan untuk memberikan informasi dan analisa hukum yang menyesatkan masyarakat. Untuk itu, sudut pandang Objektifitas harus dimunculkan dalam menginformasikan, menganalisa, dan membantu menyelesaikan masalah hukum setempat.
Menurut saya itulah jawaban saya terhadap pertanyaan teman-teman “Pro Bono Paralegal” tersebut. Mungkin bisa dikembangkan bila ada pertanyaan serupa seperti itu lagi.
Mudah-mudahan sharingannya bermanfaat. Hatur Nuhun,,,
Salam “Pro Bono Paralegal”
Budiyana
(http://budiyana.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar