Minggu, 25 Oktober 2015

Kasus Mantan Bupati Bolmong Dibuka Kembali



 
Kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong sempat dihentikan proses hukumnya. Kejari Kotamobagu berdalih tak cukup bukti. Tapi berkas perkaranya sudah terlanjur  P21 alias hasil penyidikannya telah lengkap. Salah prosedur atau ada faktor lain.   
================

Mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Marlina Moha Siahaan (MMS), boleh jadi merasa gusar dengan upaya yang dilakukan oleh LSM Forum Masyarakat Anti Korupsi (Formak) Sulut. Ia tidak bisa lagi tidur nyenyak. Ini lantaran kasus dugaan korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) yang sudah mengendap sekian tahun lamanya, kini dikuak lagi. LSM Formak Sulut mengajukan praperadilan dan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado memenangkannya.

Penasehat hukum LSM tersebut yakni Steven Wagiu SH, Zatosan Sancho Jacob SH dan Prima Harly Angkow SH, menyatakan kasus ini perlu dibuka kembali karena ada kejanggalan dalam prosedur penetapan hukum dari Kejari Kotamobagu terhadap Marlina Moha Siahaan yang sebelumnya berstatus tersangka. Faktor kejanggalan itu, menurut mereka, terkait berkas perkara Marlina yang mana pada tanggal 13 Desember 2013, Kejari Kotamobagu telah menetapkan status perkaranya telah (P21). Tapi, faktanya, Kejari Kotamobagu tak kunjung melimpahkan berkas perkara tersebut ke pengadilan agar bersangkutan bisa diproses secara hukum.  Belum tuntas masalah itu, pada tanggal 1 Juli 2015 Kejari Kotamobagu kembali menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) dengan alasan tidak cukup bukti.

“Ini kan aneh bin ajaib. Sudah jelas berkas perkaranya sudah (P21) tapi kenapa tidak dilimpahkan ke pengadilan. Kalau alasanya tidak cukup bukti, maka dari awal termohon (Kejari Kotamobagu) tidak melakukan (P21),” jelas Wagiu mendampingi kedua rekannya. Wagiu menambahkan bahwa tindakan Kejari Kotamobagu dalam mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan tersebut merupakan tindakan yang inprosedural dan sangat tidak sah secara hukum. Hal ini, menurutnya, sangat bertolak belakang dengan upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi.

Senada dengan itu Ketua Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (AMTI) Tommy Turangan menjelaskan bahwa pihaknya berharap Kejari Kotamobagu segera melanjutkan proses hukum dan berkomitmen untuk menuntaskan kasus TPAPD Bolmong. “Saya menilai hal ini sederhana saja. Artinya, jika memang kasus ini harus diproses secera hukum maka silakan saja. Apalagi gugatan praperadilan dari LSM Formak Sulut atas perkara ini  telah diluluskan oleh Pengadilan Negeri Manado. Berarti akan ada proses hukum selanjutnya,” tuturnya. Selain itu dia menyentil soal fungsi keterbukaan informasi dari Kejati Sulut dan jajarannya agar bisa lebih transparan menginformasikan penanganan setiap kasus korupsi kepada masyarakat. “Dengan iklim keterbukaan informasi saat ini, kejaksaan harus lebih terbuka sehingga masyarakat dapat mengetahui sudah sejauh mana penanganan kasus yang telah selesai atau sementara ditangani,” katanya.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan Wagiu bahwa kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong ini harus tuntas dan harus ada kepastian hukum terhadap tersangka Marlina Moha Sihaan. Terkait hal itu dia kemudian memberikan contoh bahwa sesuai surat edaran Jaksa Agung RI tertanggal 13 Januari 2010, pada angka 3, menerangkan bahwa perkara korupsi yang menarik perhatian masyarakat dan berdampak nasional atau internasional dan karena hal itu kemudian mendapat atensi pimpinan maka pengendalian perkara akan dilakukan oleh Kejagung. Dalam perkara a quo (tersebut), kata Wagiu, pihak Kejagung telah melakukan ekspos perkara sehingga menjadi atensi pimpinan.

Pembeberan Wagiu itu bukan tanpa alasan. Sebagai bukti tatkala Jaksa Agung M. Prasetyo berkunjung ke kantor Kejati Sulut, awal September lalu, Jaksa Agung sempat menyentil kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong sekaligus kebijakan yang telah diputuskan oleh Kejari Kotamobagu terkait penetapan P21 dan SKP2 atas perkara tersebut. “Sekarang kami lakukan penelitian dulu. Tahap pertama kami lakukan eksaminasi kasus. Hasilnya seperti apa nanti saya tunggu. Langkah lanjut akan ditentukan,” ujar Jaksa Agung kepada FORUM saat itu. Dia melanjutkan bahwa sudah ada rekomendasi dan belum final sekarang.

Terkait eksaminasi tersebut, menurut Jaksa Agung, tidak ada perbedaan kasus ini dengan kasus lain. Selama bukti dan fakta mendukung pihaknya tetap akan bersikap profesional untuk menegakkan supremasi hukum. “Intinya tidak ada disparitas. Tidak ada perbedasan satu sama lain. Sejauh bukti cukup, fakta serta data mendukung mengapa tidak,” terangnya.

Senada dengan Jaksa Agung, Kejati Sulut Teuku Muhammad Syahrizal juga menimpali bahwa tim Kejati Sulut tetap melakukan penelitian berkas perkara di semua tingkat penanganan. Dalam perkara ini pemeriksaan dikhususkan kepada kepala Kejari dan Kasi Pidsus, karena dinilai ada masalah dengan penghentian kasus. Bila ada temuan bukti secara jelas dan meyakinkan maka yang bersangkutan akan menjalani proses hukum.         

Sejak kasus ini dinilai ada kejanggalan dalam penetapan proses hukum, maka Kejati Sulut dalam beberapa bulan ini telah melakukan penelitian secara intensif. Menurut Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulut, Taufik Hidayat SH, menjelaskan bahwa Kepala Kejari Kotamobagu, Fien Ering SH, dan mantan Kasi Pidsus Ivan Baramuli, sampai kini masih tetap menjalankan pemeriksaan di Kejati Sulut. “Sampai kini kami masih terus mendalami sekaligus mencari di mana celahnya sehingga ada kebijakan lain. Kami masih terus mendalaminya,” katanya.

Dikatakan Taufik Hidayat, kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong hingga menyeret mantan Bupati Bolmong itu sebetulnya sudah bergulir di meja hukum pada 2012 silam. Saat itu Kejari Kotamobagu masih dijabat oleh Sherly Sumual. Selanjutnya kasus ini oleh Sumual dalam status P19 –berkas perkara dikembalikan untuk dilengkapi. Belum sempat menuntaskan perkara tersebut awal tahun 2013, Sumual mendapat roling jabatan dan posisinya ditempati oleh Fien Ering sebagai kepala Kejari Kotamobagu hingga kini. Kasus ini kemudian dipelajari kembali oleh Fien Ering selama beberapa bulan hingga pada 13 Desember 2013 lalu, status perkara tersebut ditetapkan menjadi (P21) yang notabene perkaranya seharusnya segera dilimpahkan ke pengadilan.

Namun tak kunjung dilimpahkan, justru pihak Kejari Kotamobagu pada 1 Juli 2015 menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2). Dua hal inlah kemudian menjadi masalah bagi Fien Ering, lantaran dengan begitu tersangka Marlina Moha Siahaan praktis akan lolos dari jeratan hukum. “Terkait kasus ini kami tentunya akan tetap fokus pada dua hal tersebut. Sejauh ini masih terus berproses pemeriksaannya. Bila nanti celah kesalahannya diketahui, maka hasilnya segera kami kabarkan ke Kejagung,” jelas Hidayat.

Saat disinggung apakah di balik kebijakan yang diambil oleh Kejari Kotamobagu itu karena ada faktor lain, jawab Hidayat, “Kalau soal itu yang ditanyakan saya tidak bersedia memberikan keterangan. Karena hal itu terlalu privasi. Dan saya tidak mau sampai ke ranah itu dengan mengira-ngira saja.” Dia menjelaskan lagi bahwa kasus ini menjadi kewenangan Kejagung apabila dalam hasil pemeriksaan terdapat unsur kelalaian dan kesalahan prosedur.
“Kewengan kami hanya melakukan pemeriksaan. Soal kalalaian atau kesalahan prosedur, itu menjadi kewenangan Kejagung untuk memberikan sanksi hukum terhadap yang bersangkutan,” jelasnya. Begitu pun dengan Marlina Moha Siahaan, tambahnya, karena gugatan praperadilan dari LSM Formak Sulut dikabulkan  PN Manado, maka proses hukum terhadapnya akan berlanjut di pengadilan. DIDI WONGSO (Manado)        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar