Kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong sempat dihentikan proses hukumnya. Kejari
Kotamobagu berdalih tak cukup bukti. Tapi berkas perkaranya sudah terlanjur P21 alias hasil penyidikannya telah lengkap. Salah
prosedur atau ada faktor lain.
================
Mantan
Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Marlina Moha Siahaan (MMS), boleh jadi merasa
gusar dengan upaya yang dilakukan oleh LSM Forum Masyarakat Anti Korupsi
(Formak) Sulut. Ia tidak bisa lagi tidur nyenyak. Ini lantaran kasus dugaan
korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) yang sudah
mengendap sekian tahun lamanya, kini dikuak lagi. LSM Formak Sulut mengajukan
praperadilan dan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado memenangkannya.
Penasehat
hukum LSM tersebut yakni Steven Wagiu SH, Zatosan Sancho Jacob SH dan Prima
Harly Angkow SH, menyatakan kasus ini perlu dibuka kembali karena ada
kejanggalan dalam prosedur penetapan hukum dari Kejari Kotamobagu terhadap
Marlina Moha Siahaan yang sebelumnya berstatus tersangka. Faktor kejanggalan
itu, menurut mereka, terkait berkas perkara Marlina yang mana pada tanggal 13
Desember 2013, Kejari Kotamobagu telah menetapkan status perkaranya telah
(P21). Tapi, faktanya, Kejari Kotamobagu tak kunjung melimpahkan berkas perkara
tersebut ke pengadilan agar bersangkutan bisa diproses secara hukum. Belum tuntas masalah itu, pada tanggal 1 Juli
2015 Kejari Kotamobagu kembali menerbitkan Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan (SKP2) dengan alasan tidak cukup bukti.
“Ini
kan aneh bin ajaib. Sudah jelas berkas perkaranya sudah (P21) tapi kenapa tidak
dilimpahkan ke pengadilan. Kalau alasanya tidak cukup bukti, maka dari awal
termohon (Kejari Kotamobagu) tidak melakukan (P21),” jelas Wagiu mendampingi
kedua rekannya. Wagiu menambahkan bahwa tindakan Kejari Kotamobagu dalam
mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan tersebut merupakan tindakan
yang inprosedural dan sangat tidak sah secara hukum. Hal ini, menurutnya,
sangat bertolak belakang dengan upaya pemerintah melakukan pemberantasan
korupsi.
Senada
dengan itu Ketua Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (AMTI) Tommy
Turangan menjelaskan bahwa pihaknya berharap Kejari Kotamobagu segera
melanjutkan proses hukum dan berkomitmen untuk menuntaskan kasus TPAPD Bolmong.
“Saya menilai hal ini sederhana saja. Artinya, jika memang kasus ini harus
diproses secera hukum maka silakan saja. Apalagi gugatan praperadilan dari LSM
Formak Sulut atas perkara ini telah
diluluskan oleh Pengadilan Negeri Manado. Berarti akan ada proses hukum
selanjutnya,” tuturnya. Selain itu dia menyentil soal fungsi keterbukaan
informasi dari Kejati Sulut dan jajarannya agar bisa lebih transparan
menginformasikan penanganan setiap kasus korupsi kepada masyarakat. “Dengan iklim
keterbukaan informasi saat ini, kejaksaan harus lebih terbuka sehingga
masyarakat dapat mengetahui sudah sejauh mana penanganan kasus yang telah
selesai atau sementara ditangani,” katanya.
Sebagaimana
yang sudah dijelaskan Wagiu bahwa kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong ini harus
tuntas dan harus ada kepastian hukum terhadap tersangka Marlina Moha Sihaan. Terkait
hal itu dia kemudian memberikan contoh bahwa sesuai surat edaran Jaksa Agung RI
tertanggal 13 Januari 2010, pada angka 3, menerangkan bahwa perkara korupsi
yang menarik perhatian masyarakat dan berdampak nasional atau internasional dan
karena hal itu kemudian mendapat atensi pimpinan maka pengendalian perkara akan
dilakukan oleh Kejagung. Dalam perkara a quo (tersebut), kata Wagiu,
pihak Kejagung telah melakukan ekspos perkara sehingga menjadi atensi pimpinan.
Pembeberan
Wagiu itu bukan tanpa alasan. Sebagai bukti tatkala Jaksa Agung M. Prasetyo
berkunjung ke kantor Kejati Sulut, awal September lalu, Jaksa Agung sempat
menyentil kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong sekaligus kebijakan yang telah
diputuskan oleh Kejari Kotamobagu terkait penetapan P21 dan SKP2 atas perkara
tersebut. “Sekarang kami lakukan penelitian dulu. Tahap pertama kami lakukan
eksaminasi kasus. Hasilnya seperti apa nanti saya tunggu. Langkah lanjut akan
ditentukan,” ujar Jaksa Agung kepada FORUM saat itu. Dia melanjutkan
bahwa sudah ada rekomendasi dan belum final sekarang.
Terkait
eksaminasi tersebut, menurut Jaksa Agung, tidak ada perbedaan kasus ini dengan
kasus lain. Selama bukti dan fakta mendukung pihaknya tetap akan bersikap
profesional untuk menegakkan supremasi hukum. “Intinya tidak ada disparitas.
Tidak ada perbedasan satu sama lain. Sejauh bukti cukup, fakta serta data
mendukung mengapa tidak,” terangnya.
Senada
dengan Jaksa Agung, Kejati Sulut Teuku Muhammad Syahrizal juga menimpali bahwa
tim Kejati Sulut tetap melakukan penelitian berkas perkara di semua tingkat penanganan.
Dalam perkara ini pemeriksaan dikhususkan kepada kepala Kejari dan Kasi Pidsus,
karena dinilai ada masalah dengan penghentian kasus. Bila ada temuan bukti
secara jelas dan meyakinkan maka yang bersangkutan akan menjalani proses hukum.
Sejak
kasus ini dinilai ada kejanggalan dalam penetapan proses hukum, maka Kejati
Sulut dalam beberapa bulan ini telah melakukan penelitian secara intensif.
Menurut Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulut, Taufik Hidayat SH, menjelaskan
bahwa Kepala Kejari Kotamobagu, Fien Ering SH, dan mantan Kasi Pidsus Ivan
Baramuli, sampai kini masih tetap menjalankan pemeriksaan di Kejati Sulut.
“Sampai kini kami masih terus mendalami sekaligus mencari di mana celahnya
sehingga ada kebijakan lain. Kami masih terus mendalaminya,” katanya.
Dikatakan
Taufik Hidayat, kasus dugaan korupsi TPAPD Bolmong hingga menyeret mantan
Bupati Bolmong itu sebetulnya sudah bergulir di meja hukum pada 2012 silam.
Saat itu Kejari Kotamobagu masih dijabat oleh Sherly Sumual. Selanjutnya kasus
ini oleh Sumual dalam status P19 –berkas perkara dikembalikan untuk dilengkapi.
Belum sempat menuntaskan perkara tersebut awal tahun 2013, Sumual mendapat
roling jabatan dan posisinya ditempati oleh Fien Ering sebagai kepala Kejari
Kotamobagu hingga kini. Kasus ini kemudian dipelajari kembali oleh Fien Ering selama
beberapa bulan hingga pada 13 Desember 2013 lalu, status perkara tersebut
ditetapkan menjadi (P21) yang notabene perkaranya seharusnya segera dilimpahkan
ke pengadilan.
Namun
tak kunjung dilimpahkan, justru pihak Kejari Kotamobagu pada 1 Juli 2015
menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2). Dua hal inlah
kemudian menjadi masalah bagi Fien Ering, lantaran dengan begitu tersangka
Marlina Moha Siahaan praktis akan lolos dari jeratan hukum. “Terkait kasus ini
kami tentunya akan tetap fokus pada dua hal tersebut. Sejauh ini masih terus
berproses pemeriksaannya. Bila nanti celah kesalahannya diketahui, maka
hasilnya segera kami kabarkan ke Kejagung,” jelas Hidayat.
Saat
disinggung apakah di balik kebijakan yang diambil oleh Kejari Kotamobagu itu
karena ada faktor lain, jawab Hidayat, “Kalau soal itu yang ditanyakan saya
tidak bersedia memberikan keterangan. Karena hal itu terlalu privasi. Dan saya
tidak mau sampai ke ranah itu dengan mengira-ngira saja.” Dia menjelaskan lagi
bahwa kasus ini menjadi kewenangan Kejagung apabila dalam hasil pemeriksaan
terdapat unsur kelalaian dan kesalahan prosedur.
“Kewengan
kami hanya melakukan pemeriksaan. Soal kalalaian atau kesalahan prosedur, itu
menjadi kewenangan Kejagung untuk memberikan sanksi hukum terhadap yang
bersangkutan,” jelasnya. Begitu pun dengan Marlina Moha Siahaan, tambahnya,
karena gugatan praperadilan dari LSM Formak Sulut dikabulkan PN Manado, maka proses hukum terhadapnya akan
berlanjut di pengadilan. DIDI WONGSO (Manado)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar